Membakar Hantu di Bulan Ramadan

Bulan Ramadan disebut sebagai bulan yang panas, barangkali dapat diartikan akan membakar kepalsuan hidup kita di dunia ini. Apa yang palsu dari hidup kita? Adalah menciptakan hantu di antara kemanusiaan dan kebinatangan kita. Hantu itu menyebabkan kemanusiaan kita melihat kebinatangan kita sebagai hantu dan kebinatangan kita melihat kemanusiaan kita juga sebagai hantu. Hantu itu menyebabkan timbulnya rasa takut terhadap diri kita sendiri. Dengan takut terhadap diri sendiri kita akan takut terhadapa diri-diri yang lain (orang lain). Orang yang takut dengan sesamanya akan menjalin hubungan dominasi. Maksudnya hubungan itu dijalin untuk saling menguasai satu sama lain.

Manusia dikaruniai akal budi yang membuatnya senantiasa bertanya akan kehidupan sekaligus sadar bahwa di sini dan sekarang ia sedang menjalani kehidupan. Akal budi ini membuat kita sadar akan sebuah kebebasan sekaligus keteraturan yang menjamin kebebasan itu. Manusia bebas tetapi akan mati. Akal budi yang sadar akan kematian itu membuat kita cemas dalam menjalani kebebasan sebagai anugerah dari ke-ada-an kita di dunia ini. Karena kecemasan akan kematian itu, kita tercabik oleh kebebasan kita sendiri. Agama mesti mendidik subjek tak sadar diri dengan menggambarkan kehidupan setelah mati dengan “kata bersayap” untuk mengatasi kecemasan manusia. Tetapi “kata bersayap” dunia setelah mati itu malah menggoda manusia untuk terbang meninggalkan kehidupannya di dunia fana ini. manusia memanfaatkan kebebasannya dengan tunduk kepada aturan agama. Kebebasan itu menjadi palsu. Orang menjalani hidup dalam ketakutan yang lebih canggih, seperti menjadikan “Tuhan” sebagai “hantu” yang lebih menakutkan, karena kehidupan setelah mati, kita lupa akan ke-ada-an kita di sini dan sekarang. Kebebasan yang seharusnya di manfaatkan untuk menjadi subjek sadar diri( menjadi diri sendiri) malah berubah menjadi kebebasan bebek yang bebas mengekor ke mana sang induk pergi.

Manusia pasti akan mati, dan fakta manusia akan mati adalah salah satu kehidupan manusia yang asli. Kematian membuat kita sadar berada dalam sebuah eksistensi, di mana kita sedang mengada dan sedang dijadikan. Kecemasan adalah keaslian manusia bahwa ia sadar tak tahu dari mana dan akan ke mana, tetapi menempuh eksistensi sebagai cara mengetahui. Untuk itu kebebasan diperlukan dalam bereksistensi. sang “Penjadi” tidak begitu saja melempar manusia ke dalam dunia untuk mengada dan hilang ingatan, tetapi “Sang Pengada” memberi kebebasan sebagai penjamin eksistensi manusia di dalam Dunia serba gerak.

Berpuasa di bulan Ramadan adalah syariat Islam yang bertujuan untuk mengajarkan manusia bercakap dengan dirinya sendiri, dengan kebinatangannya dan dengan kemanusiaanya. Kebinatangan manusia adalah tubuhnya dan kemanusiaan manusia adalah akal budinya. Kebinatangan tubuh bukan berarti bahwa tubuh adalah parasit (pengganggu) dari ke-ada-an kita, tetapi justru karena tubuhlah kita mampu untuk menjadi subjek sadar diri. Dengan segala komponen tubuh, kita mampu berada di sini dan sekarang dalam dunia yang terus mengada. Tubuh yang membuat kita mampu merasakan tubuh lain secara universal. Puasa juga di tempuh oleh tubuh orang-orang terdahulu untuk menahan diri dalam waktu yang ditentukan. Dengan menahan itu kita mampu untuk bercakap dengan tubuh kita sendiri dan bila bermanja-manja dengan percakapan itu, kita mampu bercakap dengan tubuh orang lain dan tubuh -tubuh orang sebelum kita. Percakapan ini akan membuat kita sadar akan sebuah relasi eksistensi pada kehidupan sosial. Relasi horizontal yang melampaui spesies kita sendiri sebagai binatang yang berpikir di sini dan sekarang, maksudnya, percakapan bersama kebinatangan. kita menjadi mampu melihat gerak-gerak materi di kosmos ini yang menampak kepada tubuh kita. Sehingga kita dapat bijak hidup di alam semesta.

Bagaimana dengan percakapan dengan kemanusiaan kita? Percakapan dengan kemanusian kita adalah percakapan vertikal. Percakapan vertikal adalah percakapan lanjut dari subjek yang telah bercakap secara horizontal dengan ke binatangannya. Yang asli dari manusia adalah dia yang sadar akan daya penjamin eksistensi. Daya penjamin itu adalah daya yang mengayomi mengadanya manusia dalam gerak durasi. Subjek yang sadar diri tahu betul keadaan di mana ia bergerak sekarang sebagai keadaan mengada di dalam Ada yang mengada melalui dirinya sendiri. Ada yang mengada itu selalu nampak sebagai objek, objek yang menampak melalui keutuhan yang dimengerti oleh akal budi. Maka dari itu percakapan terhadap kemanusiaan kita adalah percakapan dengan Ada yang mengada melalui dirinya sendiri. Sebuah percakapan horizontal ke dalam vertikal yang mengatasi kepalsuan hidup kita.

Dengan berpuasa di bulan Ramadan kita berkesempatan untuk menjadi subjek sadar diri. Subjek yang senantiasa bercakap dengan kebinatangannya dan kemanusiaannya. Sebuah percakapan yang membuat ke-aku-an kita jadi asli sehingga “Tuhan” tidak lagi menjadi “hantu”. Dan rasa takut terhadap hantu akan membuat relasi eksistensi aku dan dia( sebagai tubuh lain) akan menjadi kita.

Sebulan penuh percakapan itu dapat dimanja-manjakan, barangkali bila kita beruntung, percakapan itu akan menampakkan Ada kepada kita di malam Lailatul qadar. Dan bila tidak beruntung, kita setidaknya dalam sebulan akan meraih kemenangan terhadap hantu yang kita ciptakan sendiri di hari raya.

Selamat berpuasa, selamat bercakap dengan diri sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *