Helai-helai malam dianyam oleh sepasang tangan seputih pualam milik seorang perempuan. Ia duduk tekun di atas anyaman bambu yang hampir selesai, sesekali tangannya yang kanan membenturkan batang besi pipih untuk merapatkan anyaman. Sinar lampu minyak tanah bercahaya, membuat wajah perempuan itu bersinar bagai purnama.
Adalah Nur, yang sejak kepergian suaminya beberapa jam lalu memutuskan untuk menghabiskan sisa malam menanti sang suami pulang dengan menyelesaikan anyaman gamacca (anyaman yang terbuat dari serat bambu, biasa dibuat dinding) yang telah dimulai suaminya. Nyaris saban malam Nur menghabiskan waktunya menekuri anyaman demi anyaman sembari menunggu sang suami, sedang suaminya sendiri baru pulang lewat tengah malam dengan bau tuak menyeruak dari seluruh tubuh, dan mulut yang sudah tidak jelas lagi menggumamkan apa.
Suaminya Karna memang pemabuk kelas berat seantero dusun. Bergelas-gelas tuak bisa ia habiskan dalam semalam, membuat kawan-kawannya menyerah kalah dan bersorak untuk kemenangannya.
Berkali-kali saudara perempuan dan sepupu-sepupu Nur menganjurkan agar ia berpisah saja dengan suaminya. Tapi Nur hanya tersenyum, lantas bilang bahwa suaminya minum tuak dan mabuk-mabukan hanya untuk bergaul dengan kawan-kawannya. Lagipula sang suami tidak pernah berkata kasar apalagi memukul. Hari itu mekar dalam hatinya yang bening, kelak suaminya akan berubah menjadi semakin baik. Bersama dengan itu makin mekar pula cintanya pada Karna.
Bulan demi bulan berlalu. Akhirnya tiba juga kabar bahagia yang dinantikan keduanya. Nur hamil anak pertama mereka. Maka dimulailah episode bahagia dalam keluarga kecil itu. Karna berlipat-lipat perhatiannya. Tidak pernah ia membiarkan Nur bekerja terlalu banyak. Mencuci pakaian dan mengangkat air menjadi tanggungjawabnya setelah pulang dari sawah. Karna juga tidak pernah keluar malam lagi dengan kawan sepeminumannya.
Malam-malam mereka lewati saling bercengkerama, merencanakan hal-hal sederhana namun indah bagi mereka berdua dan Si Kecil yang sedang tumbuh dalam perut Nur. Di luar para jangkrik berebutan mengaminkan, sedang langit dan bintang-bintang berkelipan mencatat kenangan manis mereka berdua.
Kadang mereka juga menganyam gamacca bersama, merampungkan sudut-sudut bagian masing-masing. Berdua mereka mengerjakannya dalam diam, hanya suara besi pipih beradu dengan helai-helai serat bambu terdengar sekali dua kali. Di atas sinar lampu minyak makin purnamalah wajah Nur, dan Karna adalah bintang-bintang yang sedang jatuh cinta.
Malam itu ingin Nur bertanya, apakah Karna telah menyiapkan sebuah nama yang bagus bagi si bayi kelak. Namun segera ia urung, Nur ingat pesan Mamaknya, pamali memberikan nama bagi jabang bayi sebelum ia lahir ke dunia.
***
Angka pada lembaran almanak berganti. Lahirlah Si Bayi mungil dengan kulit merah berseri. Karna segera menggendong anaknya disertai rasa gugup, ia gembira sekaligus takut dekapannya membuat Si Bayi kesakitan. Karna melantunkan azan di telinga putrinya dengan khidmat. Membuat Karna merasa sebagai laki-laki paling terberkati di dunia.
Nur tersenyum di atas ranjang rumah bersalin. Masih sakit seluruh tubuhnya, masih serasa remuk tulang-tulangnya. Namun menyaksikan kedua belahan jiwanya berdekapan, sungguh tiada artinya seluruh penderitaan itu. Nur merasa sebagai perempuan paling terberkati di dunia.
“Siapakah namanya?’ Buncah juga pertanyaan yang ditahan-tahannya berbulan-bulan.
“Purnama. Lihatlah! Wajahnya bundar dan bersinar seperti purnama penuh.” Sahut Karna bangga.
Sejak saat itu Purnama menjadi sinar kebahagiaan bagi kedua orangtuanya. Setiap hari ia tumbuh, bergerak dengan lincah, berlari-lari kecil, bertanya apa saja yang ia temukan. Purnama telah tumbuh menjadi gadis cilik yang menggemaskan.
Karna juga semakin hari semakin bahagia dan semangat bekerja. Hingga suatu waktu kawannya pulang dari rantau. Ia dan kawan-kawannya di dusun menyiapkan acara penyambutan kecil-kecilan, acara minum tuak bersama-sama. Katanya kawan yang baru pulang itu rindu minum tuak dari kampung mereka.
Mulailah sejak saat itu kebiasaan Karna pulang malam kambuh lagi. Meninggalkan Nur menganyam sendirian dan si kecil Purnama yang pulas tanpa tepukan lembut dari Bapaknya.
Nur masih diam di awal-awal, tetapi ia tidak bisa terus diam ketika Purnama selalu bertanya kemana perginya sang Bapak saban malam. Si Kecil yang mulai beranjak enam tahun itu mulai curiga pada Bapaknaya, apalagi ia sering mendengar sepupu-sepupu Mamaknya bilang tentang mendengar Karna agar tidak terlalu banyak minum, tentang Mamaknya yang sudah punya anak, atau tentang Karna yang mulai sering membentak dan berteriak kasar pada Nur.
“Lebih baik kau ancam saja dia dengan perpisahan.” Salah satu sepupu Nur memberi saran. Bertiga. Nur dan kedua sepupunya sedang berbincang di bale-bale depan rumah, di bawah rimbun pohon bambu. Si Kecil Purnama sedang bermain rumah-rumahan.
Nur diam, tidak setuju. “Suatu saat Karna pasti akan berubah. Kalau tidak demi aku, boleh jadi demi Purnama.” Tegas Nur sore itu.
***
Bulan-bulan berlalu begitu cepat. Almanak berganti tanpa disadari, Purnama tumbuh semakin jelita. Kini gadis cilik itu duduk di bangku taman kanak-kanak. Bila sore menjelang ia mengaji di kolong rumah Pak Imam bersama kawan-kawannya. Sementara Karna semakin kuat minum, tidak hanya pada malam hari. Tetapi juga siang hari, selepas duhur dia sudah menghabiskan empat gelas tuak di rumah tetangga.
Nur resah, tertekan batinnya. Ia kehabisan cara menasihati sang suami. Percuma menasihati saat Karna pulang di waktu malam. Orang mabuk tidak bisa mendengar penjelasan. Malah Nur dibentak bila bersuara. Menegur di siang hari juga tak patut ia lakukan. Nur tidak ingin Purnama melihat kedua orangtuanya bertengkar. Ia semakin kurus memikirkannya.
Suatu hari Nur berkunjung ke rumah Mamaknya. Tidak ada maksud lain. Nur hanya ingin meminta nasihat.
Maka mengeluhlah Nur mengenai kesusahannya, bahwa dia kehabisan cara menghadapi sang suami.
“Nur, masihkah kau mencintai Karna?” Mamak Nur bertanya sungguh-sungguh.
“Kalau begitu, cara terbaik mencintai suamimu adalah tetap berada di sampingnya. Jangan berkurang perhatianmu padanya, jangan patah kepatuhanmu padanya kecuali bila Karna menyuruhmu berbuat dosa, jangan benci pada suamimu walau sebesar biji sawi. Kelak Gusti Allah akan mendengar doa-doamu. Kita tidak akan pernah mengira dari mana datangnya pertolongan itu. Maka bersabarlah Nur, sesungguhnya sabar adalah atap dari sebuah bangunan cinta.”
Didengarnya sungguh-sungguh nasihat sang Mamak, diresapinya dalam-dalam. Kelak sejak hari itu Nur tidak pernah lagi mengeluh. Semakin Karna membentaknya, makin telaten Nur mengurusnya. Ia yakin suatu saat Karna akan luluh.
***
Jumat adalah hari yang sempurna bagi Purnama. Anak itu sekarang naik tingkat ke jilid lima. Ia senang sekali, sebab itu berarti sisa satu jilid lagi ia taklukkan untuk bisa mendaras surah-surah pendek. Anak itu tidak sabar ingin segera pulang. Berita baik ini harus segera disampaikan pada Mamak dan Bapak.
Selepas majelis ditutup, Purnama segera bergegas pulang. Tidak dihiraukannya seruan Guntur yang menantangnya bermain kelereng. Anak itu berlari-lari kecil sepanjang jalan setapak menuju rumah saking girangnya.
Tiba di depan pintu rumah anak itu mengucap salam, membuka pintu, lantas melipir menuju dapur tempat Mamaknya berada setiap ia pulang mengaji.
“Mak, hari ini Purnama sudah jilid lima. Sebentar lagi sudah bisa baca jus’amma. Hebat kan?!” Serunya bersemangat.
Tidak ada yang bisa membuat seorang Ibu lebih bahagia selain melihat buah hatinya tumbuh dengan baik dan bangga atas kerja kerasnya sendiri, “Wah, hebat sekali anak Mamak.” Nur tersenyum dengan lebarnya.
“Bapak mana Bu? Purnama juga mau memberitahu Bapak,” lehernya menoleh ke setiap sudut rumah mencari sosok sang Bapak.
Nur gamang, tetapi ia tidak tega melihat semangat Purnama yang letup. “Tadi Bapakmu pamit ke rumah Kirana.”
Purnama segera meraih tas mengajinya lantas pamit tanpa mengganti baju. Ia tahu rumah Kirana. Teman sepengajiannya itu tinggal tidak jauh dari rumahnya.
Purnama tiba dengan napas tersengal dan mendapati Kirana sedang bermain di halama, “Bapakku ada di dalam, Rana?”
Kirana mengiyakan, lantas mengikuti langkah Purnama dari belakang.”
Ruang tamu rumah Kirana penuh. Karpet merah digelar di lantai dan orang-orang laki-laki duduk melingkar. Di tengah lingkaran terhidang berpiring-piring ikan bakar sebesar telapak tangan dan bergelas-gelas minuman berwarna putih pekat, mirip air tajin. Baunya kecut dan menyengat.
Purnama tahu itu minuman apa. Anak itu menajamkan mata mencari sang Bapak. Lihatlah Bapaknya, duduk diapit dua laki-laki kawannya sedang berseur panjang setelah menghabiskan segelas. Entah gelas yang keberapa.
Purnama tidak peduli, ia merangsek menuju Bapaknya duduk. Merengek, meminta perhatian.
“Pak. Pak hari ini Purnama sudah jilid lima. Sebentar lagi sudah bisa membaca jus’amma.” Karna hanya mengangguk-angguk antara sadar dan tidak, sementara Purnama terus memeluk lengan Bapaknya.
“Bapak, Purnama sudah jilid lima. Ayo kita pulang,” ajaknya lirih. Suara anak itu serak dan mengiba. Dua mata beningnya siap menganak sungai.
Wahai.. gadis kecil yang lugu itu. Ia kebingungan. Apakah gerangan yang membuat air matanya tumpah? Padahal sang Bapak begitu gembira tertawa-tawa di antara riuh kawan-kawannya.
Lalu kelabat baying Ibunya melintas dalam benak. Ibunya dengan wajah bersinar oleh pelita, Ibunya yang sedang tekun melengkapi anyaman demi anyaman serat bamboo hingga jauh malam sendirian. Alangkah elok wajah itu. Namun setegar apapun perempuan itu terlihat, matanya sungguh tidak dapat berdusta. Bahwa ada kesedihan panjang dan dalam mendekam di kedalaman hati. Bahwa ada harap yang tak putus-putus yang perempuan itu sendiri tidak tahu di mana ujungnya.
Karna, bagaimanapun bebalnya seorang peminum saat mabuk. Ia tetap tidak bisa menghindar dari tali kasih sayang antaranya dengan Purnama. Gadis kecil berkerudung hijau lembut itu anaknya. Anaknya yang tersayang. Yang mewakili wajah bundar milik istrinya.
“Bapak, ayo kita pulang.” Rengek Purnama dengan sisa-sisa suara.
Itu siang dengan pemandangan mengharukan si seluruh kampong. Seorang gadis kecil berwajah purnama, sisa-sisa tangis membekas di pipi, tangannya lekat pada lengan sang Bapak yang menggendongnya dalam keadaan setengah mabuk.
Purnama yang lain leleh di ambang jendela demi menyaksikan pemandangan mengharukan itu. Wahai, benarlah seluruh nasihat itu. Bersabar adalah cara terbaik untuk mencintai.
Makassar, Mei-Juni 2017
Fatmawati Liliasari lahir pada 11 Juni 1995. Menulis baginya adalah sebuah kebutuhan, seperti bernapas, sebab setiap kali ia melakukannya rasanya seperti pulang ke rumah. Ia juga menjadikan menulis sebagai sarana baginya menebar kebaikan, bermanfaat bagi sesama. Selain membaca dan menulis, gadis yang menyukai tantangan ini juga senang sekali bertualang. Mengunjungi tempat-tempat jauh, bertemu orang-orang baru, cara hidup tak biasa, nilai-nilai hidup yang baru, juga bahan untuk menulis lagi. Di samping itu ia juga sering sekali melamun. Ia sangat terilhami pada salah satu kalimat Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi, bahwa hidup tentang memberi sebanyak-banyaknya bukan menerima sebanyak-banyaknya. Bukunya yang pernah terbit ialah kumpulan puisi Dari Galesong Kepada Indonesia (2016). Ia bisa dihubungi lewat email fatmalilia5@gmail.com atau nomor ponsel 085146373850.