Semua penduduk Desa Qahwe tahu bahwa pantangan keras untuk memasuki hutan yang berada di sebelah timur desa. Bahkan raja pun melalui Tumabicara-nya menyampaikan maklumat kepada penduduk desa untuk tidak memasuki hutan itu. “Kenapa kita dilarang memasuki hutan itu?” Tanya Syahbannara kepada salah satu pemuda desa yang begitu khidmat mendengarkan maklumat raja.
“Kenapa kita dilarang memasuki hutan itu?” Syahbannara kembali mempertanyakan permasalahan yang sama, pria itu tetap tak bergeming hingga ketiga kalinya Syahbannara mempertanyakan ikhwal maklumat itu.
“Kenapa kita dilarang memasuki hutan itu?”
“Pokoknya jangan Tuan, itu sudah menjadi satu keputusan dari Raja Yang Dipertuankan Agung Negeri Seberang yang tidak bisa digugat,” sahut pemuda desa itu kemudian berpaling mendengarkan sekali lagi maklumat raja.
“Tuan-tuan dan nyonya-nyonya penduduk Desa Qahwe, raja telah bertitah kepada kalian untuk tidak memasuki hutan di sebalah timur desa. Barang siapa penduduk desa yang melanggar titah ini, maka tiang gantung akan menunggumu. Titah ini berlaku bagi mereka para pendatang dan pedagang.” Begitulah isi titah raja yang disampaikan Tumabicara.
***
Banyak cerita-cerita aneh tentang hutan di sebelah timur desa, cerita-cerita itu sering didengar Syahbannara di kedai-kedai minuman yang terletak di depan gerbang desa sebelah barat, tempat para pengembara beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan mencari sutra di sebelah utara desa—wilayah kekuasaan Adipati Mancanegara.
“Kau tahu kenapa Raja Yang Dipertuankan Agung Negeri Seberang melarang kita menginjakkan kaki ke hutan di sebelah timur desa?” tanya salah satu pengembara yang pakaiannya mirip pedagang dari Senrijawa.
“Tidak tahu,” sahut pengembara yang satunya lagi—pakaiannya mirip pedagang dari Polimpang.
“Konon katanya hutan di sebelah timur desa itu angker, banyak hantunya.”
“Ahh, kamu terlalu sering dengar bualan kosong, mana ada hantu di dunia ini?”
“Walah, ini serius. Kamu tidak dengar berita tentang pedagang dari Tarumanegara yang nekat ke hutan itu? Kabarnya ia tewas dimakan hantu. Kemarin kepalanya ditemukan mengambang di dekat sungai.” Pedagang dari Senrijawa itu sejenak menghentikan ceritanya, diteguknya anggur merah yang dijual di kedai itu. Anggur nikmat yang diimpor langsung dari wilayah kekuasaan Adipati Mancanegara.
“Warga desa geger ketika menemukan kepala pedagang Tarumanegara itu, dicarinya bagian tubuh sepanjang sungai yang menjadi pembatas antara Desa Qahwe dan hutan. Tapi hasilnya nihil. Ini pasti ulah hantu hutan!”
Pedagang dari Polimpang itu tidak percaya apa yang dikatakan pedagang dari Senrijawa itu, baginya apa yang diceritakannya hanyalah bualan belaka untuk menakut-nakuti warga desa dan dirinya. “Palingan pedagang Tarumanegara itu mati dieksekusi oleh menteri-menteri raja karena melanggar titah.”
“Mungkin saja,” sahut Pedagang Senrijawa itu. “Barang siapa penduduk desa yang melanggar titah ini, maka tiang gantung akan menunggumu.” Pedagang Senrijawa itu kemudian menirukan suara Tumabicara beberapa hari lalu.
“Saya tetap tidak percaya rumor itu, mungkin saja di hutan seberang desa ini ada harta karunnya sehingga raja tidak mengijinkan kita ke sana.”
Pedagang Senrijawa itu termenung sejenak mendengarkan penuturan Pedagang dari Polimpang itu. “Bagaimana kalau malam ini kita ke sana menyibak tanya, apakah perkataanku yang benar atau perkataanmu yang tepat?”
***
Ketika malam telah menyelimuti Desa Qahwe, obor-obor jalanan telah padam, dan burung-burung gagak berkeok-keok dengan mengerikan seperti keokan memanggil penghuni hutan di seberang timur desa. Para pedagang dari Senrijawa dan Polimpang itu mengendap-ngendap menuju hutan. Pedagang dari Polimpang itu tampak bersemangat, mereka akan membuktikan bahwa apa yang didengar oleh pedagang dari Senrijawa itu hanyalah bualan belaka dan akal-akalan raja yang mencoba menyembunyikan sesuatu. Demikian pula sebaliknya pedagang dari Senrijawa, ia akan membuktikan apa yang didengarnya bahwa hutan di seberang timur Desa Qahwe berhantu bukanlah suatu isapan jempol belaka.
Ketika sampai di daerah paling timur Desa Qahwe, kedua pedagang itu sejenak menyembunyikan diri dibalik rimbunnya semak belukar menunggu waktu yang tepat untuk menyeberangi sungai. “Kita harus seberangi sungai ini sebelum masuk ke dalam hutan,” sahut pedagang dari Polimpang itu. “Tapi kita harus tunggu waktu yang tepat, kamu lihatkan penjagaan hutan ini cukup ketat.” Pedagang dari Senrijawa itu menunjuk Hulubalang yang mengenakan zirah, di belakang Hulubalang itu ikut beberapa laskar-laskar yang bertugas menjaga hutan.
Kedua pedagang itu cukup lama menunggu, hingga suasana sudah terasa aman. “Inilah kesempatan kita,” sahut pedagang Senrijawa kemudian berlari kecil menuju sungai dan menyeberangi sungai itu setelah sebelumnya melangkahkan kakinya melompati satu per satu bebatuan yang menyembul dari dasar sungai. Hal itu pula diikuti oleh pedagang dari Polimpang.
“Akhirnya kita berhasil,” sahut mereka berdua dengan terengah-engah. Tetapi mereka tidak mengetahui bahwa seseorang sedari tadi mengikutinya.
***
Sedari siang hingga malam semakin gelap, Syahbannara diliputi rasa penasaran, di dalam kepalanya berkebelat cerita hutan di seberang timur desa dan pembicaraan antara pedagang Senrijawa dan Polimpang. Hingga ia memutuskan untuk jalan-jalan menyusuri setapak desa, sekadar penawar kegundahan. Ketika kakinya melangkah ke arah timur, secara tak sengaja ia melihat kedua pedagang itu berjalan sembari mengendap-ngendap. “Apa gerangan yang mereka lakukan di tengah malam begini?” tanyanya pada dirinya sendiri, hingga kemudian ia memutuskan untuk mengikuti secara diam-diam kedua pedagang itu.
Ia begitu terkejut ketika mengikuti kedua pedagang itu hingga sampai di perbatasan paling timur desa. “Jangan katakan mereka berdua akan menyelinap masuk ke hutan?”
Sejenak kedua pedagang itu menghentikan langkahnya dan bersembunyi dari semak belukar. Syahbannara sendiri mencari lokasi yang cukup aman dan berjarak dari kedua pedagang itu. Cukup lama menunggu hingga kedua pedagang itu telah berada di seberang sungai dan memasuki hutan di sebelah timur desa.
Syahbannara menimbang-nimbang apakah ia harus mengikuti lebih jauh para pedagang itu dengan segala risikonya atau berbalik menuju rumah dengan ranjang yang menunggu untuk ditiduri? Tapi insting dan rasa penasaran Syahbannara menuntun hatinya untuk mengambil keputusan. Mengikuti kedua pedagang itu!
***
Setelah kedua pedagang itu dan Syahbannara berhasil memasuki hutan, mereka berjalan menyusuri setapak-setapak hutan yang rimbun, walaupun demikian cahaya rembulan masih dapat menembus melalui celah dedaunan. Namun yang unik, semakin mereka berjalan ke dalam hutan semakin mereka merasakan suatu aura yang menenangkan dan damai. Belum pernah mereka merasakan kedamaian dan ketenangan seperti ini, seolah-olah jiwanya telah diisi oleh satu zat yang entah apa namanya. “Hutan ini kenapa begitu menenangkan jiwa,” sahut pedagang dari Senrijawa itu, pedagang dari Polimpang itu mengangguk pertanda setuju. Baru kali ini ia merasakan kedamaian. Sama halnya yang dirasakan Syahbannara yang berjalan mengendap-ngendap di belakang kedua pedagang itu.
Semakin dalam berjalan ke hutan semakin banyak pula keanehan yang mereka rasakan, setelah keanehan perasaan jiwa yang tenang, kini mereka melihat sebuah cahaya bersinar bewarna yang beterbangan di sisi sebelah kanan-kiri pepohonan yang rimbun, suatu pemandangan yang menakjubkan. “Apa itu yang bersinar-sinar?” tanya Pedagang dari Polimpang kepada pedagang dari Senrijawa. Pedagang dari Senrijawa itu menggeleng pertanda tak tahu, baru kali ini ia melihat cahaya bersinar beterbangan. Tetapi keterkejutan kedua pedagang itu tak berlaku bagi Syahbannara, ia memang tertegun melihat cahaya beterbangan itu, tapi ia tahu bahwa cahaya beterbangan itu bernama kunang-kunang. Setidaknya ia pernah membaca ikhwal kunang-kunang pada gulungan yang dibelinya seharga tiga shilling dari pedagan Siam. Gulungan itu menyebutkan bahwa kunang-kunang adalah perwujudan janin dalam rahim yang keguguran.
Ketika langkahnya semakin dalam, mereka terheran-heran bin takjub mendapati satu bangunan besar dan megah, terbuat dari batu yang tersusun apik. Berdiri kokoh di tengah hutan. “Lihat itu! Bagaimana bisa ada kastil berdiri megah di tengah hutan?” tanya pedagang Senrijawa kepada pedagang Polimpang. Pedagang Polimpang pun hanya terheran-heran entah apa yang harus dijawabnya. “Luar biasa kastil ini, di negeriku Polimpang kastil Sang Maratua tak semegah ini,” sahut pedagang Polimpang dengan takjub. “Mungkin ini alasannya kenapa raja penguasa Desa Qahwe melarang penduduknya memasuki hutan,” tambahnya.
***
Kastil di tengah hutan itu begitu mengangumkan, terdapat empat menara yang menjulang di setiap sisi-sisinya, atapnya begitu kokoh melindungi kastil itu. Dinding dan temboknya pun nampak kuat. Meriam Portugis pun diyakini tidak dapat menembus dinding kastil ini. Gerbang utama kastil ini tinggi menjulang, pintunya terbuat dari kayu cemara yang mungkin nilainya setara dengan seratus keping real. Pedagang dari Polimpang dan pedagang dari Senrijawa itu semakin takjub ketika memasuki kastil itu, namun yang aneh ia mencium sebauh aroma. “Bukankah ini…?!” sejenak kedua pedagang itu saling memandang dan mengangguk. “Aroma Roti Batavia!!!” seru Syahbannara tanpa sadar. Kedua pedagang itu kaget bukan kepalang, mereka menghunuskan pedangnya kearah Syahbannara. “Siapa kamu?” tanya pedagang dari Polimpang itu, ia sudah mengambil kuda-kuda untuk menyerang.
“Jangan-jangan kamu salah satu dari anak buah Hulubalang itu?” belum sempat Syahbannara menjawab pertanyaan pedagang dari Senrijawa itu, pedagang itu telah mengambil ancang-ancang dan menyerang Syahbannara, Syahbannara hanya menghindar sebisa mungkin. “Kenapa kamu tak melawan?” tanya pedagang Senrijawa di tengah-tengah perkelahian itu. “Saya tidak melawan karena saya bukan musuhmu,” sahut Syahbannara sembari menghindari serangan-serangan pedagang Senrijawa.
Syahbannara melompat kebelakang dan berdiri dalam posisi siaga, belum sempat pedang itu menekak leher Syahbannara, buru-buru pedagang dari Polimpang itu menghentikan serangan kawannya. “Sudah hentikan! Dia bukan musuh, pemuda itu adalah Syahbannara, kepala pelabuhan negeri ini.”
Setelah insiden itu, mereka bertiga kemudian terlibat suatu pembicaraan. Pedagang Senrijawa lebih banyak mendengar dari pada berbicara, berbeda halnya dengan pedagang dari Polimpang dan Syahbannara mereka lebih mendominasi pembicaraan. Tapi pembicaraan mereka bertiga bermuara pada satu hal. Ada suatu hal yang disembunyikan raja!
***
Mereka bertiga kemudian memutuskan untuk menulusuri setiap seluk-beluk kastil, mulai dari ruang bawah tanah, selasar istana, hingga ke menara. Namun yang didapatkannya nihil. Tapi selama penulusuran itu Syahbannara menaruh suatu kecurigaan terhadap lukisan-lukisan yang terpajang di selsar kastil. Seolah ada satu teka-teki di dalam lukisan-lukisan itu. sebuah lukisan yang terjejer rapi, ada wajah yang menggambarkan ekspresi kesedihan, ekspresi datar, hingga ekspresi penuh kegetiran. Tapi lukisan-lukisan itu memiliki satu kesamaan. Bola matanya menjeling ke arah bawah.
“Hei tunggu,” sahut Syahbannara kepada kedua pedagang itu, ia menunjukkan kedua pedagang itu mengenai lukisan-lukisan yang berjejer rapi di dinding selasar istana. Dan kemudian menunjuk kearah bawah lukisan itu sesuai arah jelingan mata lukisan itu. Mereka bertiga kemudian menemukan suatu simbol-simbol aneh, mirip satu aksara kuno.
“Tunggu dulu Syahbannara, saat saya ke ruang bawah tanah saya juga melihat simbol-simbol aneh ini tertempel di dinding,” sahut pedagang dari Senrijawa. Sesaat pedagang dari Polimpang memerhatikan dengan saksama simbol-smbol itu dan entah kenapa pupil matanya tiba-tiba membesar. “Bukankah ini simbol aksara Kerajaan Samboppe?!”
“Kerajaan Samboppe?” tanya Syahbannara dengan heran. Selama perkelanaannya ia tidak pernah menemukan satu Kerajaan bernama Samboppe, mendengar kisahnya pun ia tak pernah.
“Kerajaan Samboppe itu adalah kerajaan tua yang terletak di sebelah paling timur pulau Sondonesia. Kerajaan ini telah punah karena letusan gunung beberapa ratus tahun lalu. Buyutku pernah menceritakan sekilas tentang kerajaan ini.” Pedagang dari Polimpang itu kemudian mengambil sebuah gulungan dari tas kecilnya yang tersembunyi dari balik jubahnya. Dengan saksama ia membaca gulungan itu kemudian sesekali melihat simbol-simbol itu.
Syahbannara dan pedagang dari Senrijawa hanya melihat dengan heran gerangan apa yang dilakukan oleh pedagang dari Polimpang itu, ia seperti menyalin simbol-simbol itu pada gulungan yang kosong. “Kita harus ke ruang bawah tanah segera.”
Mereka bertiga kemudian ke ruang bawah tanah, pedagang dari Polimpang menanyakan kepada Pedagang dari Senrijawa di mana lokasi ia melihat simbol-simbol yang sama dengan simbol-simbol yang mereka temukan di selasar istana. “Di situ!” sahut mantap pedagang dari Senrijawa itu.
Mereka bertiga sejenak memerhatikan dinding yang cukup lebar, di dinding itu berjejer sebuah simbol-simbol, pedagang dari Polimpang kemudian meraba sejenak simbol-simbol itu dan menekan satu-persatu simbol-simbol itu, menyatu dengan dinding. Sedangkan simbol-simbol yang tak menyatu dengan dinding membentuk suatu rangkaian kata.
“Hei kamu tahu apa maksud dari simbol-simbol ini?” tanya Syahbannara. Pedagang Polimpang itu mengangguk mantap. “Tidak percuma saya mempelajari simbol-simbol ini, tak salah lagi, ini mantra kutukan!” seru pedagang dari Polimpang itu. sejenak keheningan menyelimuti mereka bertiga dan tiba-tiba terasa suatu getaran, dinding di depan mereka roboh. Seolah mereka secara tak sengaja membuka suatu pintu rahasia, seperti lorong menuju ketempat yang entah apa namanya.
“Kita sudah telanjur, ayo kita masuk,” sahut Syahbannara. Mereka berjalan sembari memegang obor di tangan masing-masing. Syahbannara memerhatikan raut wajah pedagang dari Polimpang itu sedikit pucat. Semakin dalam ia melangkah semakin mereka merasakan suatu aroma yang teramat busuk. Seperti bangkai. Tak lama mereka melangkah tibalah pada satu ruangan yang cukup besar. Di tengah ruangan itu terdapat sebuah peti mati. “Apakah ini peti mati?” sahut Syahbannara kemudian memberikan obornya kepada pedagang dari Polimpang itu. Syahbananra memberanikan diri membuka peti mati itu. Dan nampaklah sesosok perempuan muda berambut perak nan cantik dalam balutan gaun hijau, di lehernya terdapat rosario yang terbuat dari emas. Namun ada hal yang aneh, aroma di ruangan itu tiba-tiba menjadi harum.
“Aneh kenapa aroma dari ruangan ini tiba-tiba menjadi harum, dan jasad ini mengapa masih utuh?” sahut pedagang dari Polimpang. Pedagang dari Senrijawa kemudian memberanikan diri mendekati peti mati itu dan meraih rosario emas itu.
“Lihat rosario emasnya, jika kita mengambilnya dan menjualnya serta dibagi rata kita akan kaya raya.” Sejenak Syahbannara menggenggam pergelangan tangan pedagang dari Senrijawa itu menatapnya dengan tajam. “Jangan!”
“Kenapa?” balasnya dengan tatapan tajam pula.
Belum lepas rosario dari genggaman pedagang Senrijawa, tiba-tiba tercium kembali aroma yang sangat busuk, bahkan lebih busuk dari bangkai. “Kawan-kawan sepertinya kita harus keluar dari tempat ini!” Seru pedagang dari Polimpang.
Syahbannara dan pedagang dari Senrijawa itu kemudian memandangi pedagang dari Polimpang, ekspresinya telah menunjukkan suatu ketakutan yang teramat sangat. Kemudian pandangannya beralih ke jasad itu. Syahbannara tertegun, jasad itu bangkit, tersenyum, matanya berbinar merah. Jasad itu spontan mencekik orang yang menggenggam Rosarionya, sontak Syahbannara melompat mundur. Pedagang dari Senrijawa itu berusaha melepaskan diri dari cekikakan kuat, kuku-kuku tajamnya menancap di lehernya. “Gawat jika terus begini pedagang dari Senrijawa itu akan mati,” sahut Syahbannara kemudian menghunuskan pedangnya, dipotongnya lengan jasad itu. Pedagang dari Senrijawa itu terhuyung kebelakang. Namun tangan dari Jasad berambut perak itu masih mencekiknya. Syahbannara bersusah payah melepaskan tangan jasad itu.
“Untunglah saya selamat,” sahut pedagang dari Senrijawa kemudian bangkit berdiri. Mereka bertiga kembali melihat jasad yang sudah tanpa lengan, matanya menatap dengan tatapan tajam. Ia mengacungkan ke depan lengannya yang bersimbah darah, namun bukan darah merah melainkan hitam pekat. Yang lebih aneh tangannya bergerak sendiri dan terlontar, kemudian menyambung dengan lengan yang putus itu. Kini jasad perempuan cantik berambut perak itu telah utuh kembali.
“Hahahahahaha…..!!!” ia tertawa seolah menertawakan kematian. Lantai-lantai dari ruangan itu kemudian bergetar, dan tiba-tiba muncul mayat-mayat hidup. Seperti korban peperangan. Mayat-mayat itu kemudian menghunuskan pedangnya dan menyerang Syahbannara dan kedua pedagang itu.
Mereka bertarung dengan sengit, memainkan pedang, ditebasnya mayat-mayat itu, namun setiap ditebas mayat-mayat itu kembali bangkit. “Kalau begini kita akan mati!” seru Syahbannara, kedua pedagang itu mengangguk. “Sebaiknya kita keluar sesegera mungkin,” sahut kedua pedagang itu secara bersamaan.
Mereka berlari sekencang-kencangnya, berlari dari kejaran mayat-mayat hidup yang dikendalikan oleh Perempuan Berambut Perak. “Itu dia gerbangnya,” sahut Syahbannara, mereka bertiga menambah kecepatan untuk sesegera mungkin keluar dari kastil megah yang ternyata kastil yang terkutuk. Mereka bertiga akhirnya berhasil keluar dari kastil itu, buru-buru ditutupnya gerbang. “Semoga ini membuat mereka tertahan sejenak,” sahut Syahbannara. “Akhirnya kita selamat juga,” sahut pedagang dari Senrijawa. Mereka berdua kemudian duduk bersimpuh mencoba mengatur nafas. Namun berbeda dengan pedagang dari Polimpang ia berdiri tertegun. “Sepertinya kita belum selamat.” Pedagang Polimpang menunjuk segerombolan mayat hidup yang berjalan kearahnya. Bukan satu, bukan sepuluh atau dua puluh. Melainkan gerombolan mayat hidup yang begitu banyaknya, tak terhitung!!!
***
Di Istana Raja Dipertuankan Agung Negeri Seberang geger! Seluruh menteri-menteri, dan hulubalang berjejal berlari menuju ruang Balairung Istana, mereka menghadap kepada junujungannya. Membawa satu berita yang teramat buruk. Tumabicara bersimpuh di depan Raja. “Gawat Junjunganku! Seseorang mungkin secara tak sengaja membangkitkan Iblis Perak!”
Tompobalang, 4 Agustus 2016
Ilyas Ibrahim Husain adalah nama pena dari Adil Akbar. Alumni S1 dan S2 Pendidikan Sejarah UNM. Pernah menjadi guru di SMAN 1 GOWA dan SMAN 3 MAKASSAR. Pun mengajar di SMAN 2 MAKASSAR dan SMKN 10 MAKASSAR