Memanusiawikan Niat(an) dalam Menulis

Sihir Kekuasaan,

Racun apa kau sebarkan,

Membuat mabuk dan lupa daratan.

Bait terakhir, dalam Puisi Aspar Paturusi yang berjudul Sihir Kekuasaan

***

Aktivitas menulis adalah aktivitas kebudayaan, sebab pada tulisanlah sisi manusiawi dari seseorang itu dipertaruhkan dan sekaligus dipertunjukkan. Drama tulisan di pelbagai pelosok ruang budaya, juga memamerkan niatan dalam sebuah tulisan yang dipertontongkan. Niat, menjadi landasan paling utama dalam memulai segala aktivitas, termasuk menulis. Pada niat, kita menyandarkan identitas dan kesadaran dan padanya pula, kita siap kehilangan keidentitasan dan kesadaran diri.

Perihal tulis menulis, sungguh menjadi suatu kewajiban untuk melestarikan fenomena peradaban. Tanpa menulis kita akan melupa dan tanpa tulisan kita akan ingkar pada pembangunan keberaksaraan. Antonio Gramsci, jika tidak menulis dan tidak mengerti akan kehebatan dari sebuah tulisan, tentu kita tidak akan menikmati Prison Note Book sampai sekarang, karya besarnya yang ditulis di dalam sebuah penjara. Selain Gramsci, Niccolo Machiavelli juga melakukan hal yang sama dengan menerbitkan tulisannya berjudul Il Principe, di mana tulisan ini merupakan hadiah untuk Lorenzo “The magnificent” Putra Piero di Medici. Di Indonesia sendiri, Pramoedya Ananta Toer, mengajarkan kita pada pelik dan sukarnya sebuah sejarah Indonesia, dalam Tetralogi Pulau Buruh.

Kiranya tepat ketika kita mengatakan bahwa menulis adalah kerja-kerja pengabadian, sebab yang abadi adalah ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan abadi dalam sebuah tulisan. Menulis dengan niat yang manusiawi, tentu akan melahirkan tulisan yang manusiawi pula. Namun, terkadang tulisan sebagai suatu produk kebudayaan, juga bisa saja lahir dalam niatan yang tidak manusiawi yang tentunya juga melahirkan tulisan yang tidak bermanusiawi.

Tulisan bisa saja menjadi alat “mendamaikan”, bisa juga sebagai alat untuk “menghancurkan”, keduanya ini merupakan keniscayaan dalam sebuah tulisan. Tulisan sebagai alat untuk menghancurkan, ketika tulisan ini terpenjarakan dalam sistem kekuasaan dan ekonomi-politik. Nalar kritis dan kejujuran sebuah tulisan akan beku ditelan oleh produk-produk kekuasaan. Jika sudah begini, tulisan yang sejatinya memiliki agenda kemanusiaan akan terperangkap dan berubah menjadi sihir kekuasaan, yang siap menghipnotis indra dan mental berpikir tubuh individu maupun tubuh sosial.

Terlepas dari itu semua, kita jelas membutuhkan tulisan, sebagai penyambung hidup di tengah-tengah ketidakpedulian dan ketidakinginan kita untuk mengenal yang namanya sebuah tulisan. Menulis dan membaca adalah pasangan yang serasi dalam menjalani hidup dan kehidupan, memisahkan salah satunya, sama saja jika kita menolak kisah cinta Romeo dan Juliet ataukah kisah cinta Adam dan Hawa. Pada menulis dan membaca juga, kita menemukan keindahan ilmu pengetahuan yang tentunya tidak bisa digantikan dengan apapun. Ini lah keindahan yang berkebudayaan dan berilmu pengetahuan itu.

Menulis tulisan ini, penulis juga teringat dengan salah satu novel yang berjudul “Lapar” Karya Knut Hamsun. Karya ini menceritakan bagaimana tokoh Aku menyandarkan hidupnya dalam sebuah tulisan. Tokoh Aku ini, rela ditempa oleh alam dengan berbagai pahit getirnya kehidupan, hanya untuk mempertahankan nilai hidup dan tekad yang tinggi akan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.

Tentu bukan perihal yang mudah, untuk berpijak pada tokoh Aku dalam Novel berjudul Lapar ini, ataukah pada seorang Pramoedya, Gramsci, dan juga Machiavelli dalam memandang sebuah tulisan. Ini bukan juga perkara, menulis untuk mengabadikan, tetapi ini perkara Niat(an) kita dalam menulis. Niat menulis, bisa saja mempengaruhi “Ke-diri-an” seseorang, sebab pada niat, kita menyandarkan “Identitas” dan “Kesadaran” diri kita pada pengetahuan.

Sekali lagi, niat yang manusiawi dalam menulis, tentu melahirkan sebuah tulisan yang manusiawi dan sebaliknya niat yang tidak manusiawi dalam menulis, tentu juga akan melahirkan sebuah tulisan yang tidak manusiawi, bagai sihir Kekuasaan yang mengobrak-abrik kehidupan dan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Maka lahir sebuah Tanya, di benak pembaca.

Apakah tulisan ini memiliki niat(an) yang manusiawi atau tidak.

Manusiawi atau tidaknya sebuah tulisan, termasuk tulisan ini, tentu penilaian itu ada pada pembaca, karena pada pembacalah sebuah tulisan akan menemukan ruangnya. Tanpa pembaca, tulisan akan kehilangan ruang. Baik itu ruang untuk memanusiakan atau ruang untuk tidak memanusiakan.

Hormatku pada Pembaca, dari Saya yang menulis tulisan ini…..

Ilustrasi: http://saragray.deviantart.com/art/The-Power-Of-Writing-redo-583618924

Visited 9 times, 1 visit(s) today
  • Views: 254 REFLEKSI ATAS PERTEMUAN DENGAN TEMAN DAN GURU KEHIDUPAN Penderitaan dalam kajian filsafat didistingsikan dalam tiga perspektif. Perspektif pertama memandang penderitaan sebagai sebuah kondisi yang sebisa mungkin dihindari. Hal ini dapat ditemui dalam filsafat hedonisme oleh penjelasan Epikurus. Perspektif kedua memandang penderitaan sebagai hal yang harus dihindari dan berada di luar kendali manusia. Filsafat […]

  • Views: 753 (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak […]

  • Views: 641 Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang […]

  • Views: 241 “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi […]

  • Views: 247 “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan […]


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221