Tak banyak orang yang menikahkan anaknya, beberapa hari setelah lebaran Idul Fitri. Bahkan, belum cukup sepekan. Lazimnya, justru sepekan sebelum Ramadan tiba, acara pernikahan marak dilaksanakan. Utamanya di masyarakat Bugis-Makassar, bila jelang bulan puasa, bersiaplah dengan berondongan undangan yang bertubi-tubi. Sebab, dalam sehari, bisa sampai tiga undangan yang bertandang ke mukim. Setidaknya, itulah yang saya alami, yang lahir dan bertumbuh, serta bermukim di lingkungan Bugis-Makassar.
Tersebutlah salah seorang senior saya, pasutri Abdul Rasyid Idris dan Rusnawaty Tahir, yang menikahkan putrinya, Ishlah Rasyid dengan Farid Akbar Mochtar, pada pucuk liburan lebaran, Sabtu, 1 Juli 2017, bertempat di Gedung Graha Pena Makassar. Ada rasa sesal, yang belum saya mampu ungkapkan, atas ketidakhadiran saya di perhelatan ini. Saya masih di kampung, Bantaeng, menuntaskan hajatan keluarga, yang tingkat kepentingannya sama. Saya dan beberapa saudara, mengkonkritkan niatan yang tertunda, menembok kuburan kedua orang tua kami, abba dan amma, tepat di hari yang sama. Bertepatannya, karena hari itu, dianggap hari yang baik, buat mewujudkan niatan. Dan, sebagai pelapis ketidakmaujudan saya, pasangan sayalah yang hadir.
Mungkin, bagi banyak orang, ini pernikahan biasa saja, seperti pada umumnya acara perkawinan. Tapi, bagi saya, ini acara pernikahan yang amat garib, mewah, dan akbar, bila ditilik dari sudut bidikan gerakan literasi. Setidaknya, saya yang mustahakkannya selaku pegiat literasi. Betapa tidak, atas kehadiran istri saya, dan juga para penghadir lainnya, diberi cendera mata, berupa sebuah buku, hasil anggitan sang pengantin, Ishlah Rasyid, serupa buku sehimpun cerpen, yang berjudul, Cinta Selalu Menang. Karenanya, pun, saya langsung menyimpaikan simpulan pendapat, bahwa acara pernikahan ini bernuansa literasi, yang bertempat pada sebuah gedung, yang saya kira tidak kebetulan, Graha Pena. Bukankah gedung yang mengambil kata pena ini, menyimbolkan salah satu perangkat paling purba dari tradisi literasi? Maka, tandaslah sudah, pena telah dipakai oleh Ishlah, buat mengikat makna cintanya, yang ia persembahkan kepada para penghadirnya, yang memantik panjatan doa dan ucapan selamat.
***
Tak banyak orang yang meneguhkan cintanya pada sebuah buku. Hanyalah insan pilihan, yang punya kesadaran literasi yang berdimensi jangka panjang. Ini sebentuk cara mencicil kehidupan yang lebih baik, peradaban yang dilapikkan pada tradisi baca tulis, peradaban buku. Ikatan pernikahan, yang membentuk unit terkecil dari suatu masyarakat, keluarga, manakala sejak mulanya sudah disandarkan pada kecintaan atas ilmu, maka bukan saja doa Nabi Muhammad, tatkala menikahkan putrinya, Fatimah Azzahra dan Ali bin Abi Thalib, seperti yang banyak tertera diundangan pernikahan, melainkan akan benar-benar mengaktuil, ungkapan indah dari Ali bin Abi Thalib, ilmu bila dibagi takkan hilang, ilmu jika dimiliki akan menjaga setiap pemiliknya.
Pilihan tema cinta dari buku Ishlah, yang ingin mengabadikan momen penting hidupnya, adalah tema yang tak pernah lekang oleh zaman. Ibarat sumur yang tidak akan kering airnya untuk ditimba, guna memenuhi rasa haus akan indahnya hidup dan kehidupan. Berderet para filosof bicara cinta, berjubel kaum sufi bertutur cinta. Menyemut seniman menimang cinta. Mengular anak muda mengumbar cinta. Dan, diatas segalanya, tiadalah yang menandingi Sang Maha Cinta, yang memanifestasikan dirinya dalam sifat rahman dan rahim-Nya. Serta Sang Nabi, utusan-Nya yang tiada putus cintanya pada umatnya, hingga ajal menemputnya. Bahkan, kita cukup melantunkan shalawat pada Nabi, syafaatnya akan segera menghidu kekinian di sini dan kekekalan di sana. Sekotahnya karena cinta.
Mendedahkan cinta pada perjamuan keberlanjutan hidup dan kehidupan, kurang afdal rasanya, kalau melewatkan kisah klasik, percintaan antara Qais dan Laila. Kisah ini adalah metafor yang bisa diadaptasi pada kadar cinta yang ingin diraih. Bagaimana kegilaan cinta, melanda sepasang muda mudi, hingga kecintaan seorang hamba pada khalik-Nya, dapat dirujukkan pada karya penulis Persia, Nezami, Laila Majnun. Pun, seorang penulis buku daras paling awal tentang cinta, Al-Hujwiri, dalam kitabnya, Kasyful Mahjub, menabalkan ungkapan, “cinta adalah benih kehidupan”. Maka, amat dahsyatlah, ketika Ishlah menyuguhkan kemenangan cinta, dengan cara mengikatkan diri pada tali cinta kasih pernikahan. Sebuah perjalanan cinta, yang semula peristiwa biologis menuju arena perlagaan spiritualitas.
***
Tak banyak orang yang mengapresiasi, atau memilih jalan pernikahan, yang penuh dengan luapan cinta bernuansa literasi. Apatahlagi di lingkungan masyarakat Bugis-Makassar, yang diterungku oleh begitu banyak tradisi yang perlu ditafsir ulang. Mulai dari soal uang panai (uang pesta), yang begitu banyak memicu silariang (kawin lari), tuntutan kesederajatan status sosial, dan kepantasan pendapatan ekonomi, serta gengsi di mata masyarakat yang masih menjadi rujukan utama. Seharusnya, malulah kita pada Sang Nabi, yang tanpa beban mengutip doa untuk pernikahan putrinya, lalu dicantumkan pada undangan pernikahan, namun abai dalam merujukkan diri pada substansinya, yang begitu sederhana, bersahaja.
Pasutri Abdul Rasyid dan Rusnawaty Tahir, dengan segenap ketundukan sang anak, Ishlah Rasyid, telah memilih salah satu peristiwa penting dalam musafirnya seorang insan, pernikahan, menautkannya dengan menambatkan tali hidup pada pacak literasi. Wajarlah persembahan penggalan puisi, sang bapak, Abdul Rasyid, yang disertakan pada buku tanda mata pernikahan anggitan Ishlah ini, berjudul , “Sepucuk Cinta Dari Ayah”, saya nukilkan:
Hingga tiba di suatu musim//Seorang pangeran menyuntingmu//Membawakanmu puisi di senyumnya//Engkau menyambutnya sumringah
Aku terhenyak sejenak//Meneteskan haru di jiwaku//Aku terbayang di pucuk matahari//Semakin riuh doa dan harap kita
Sebab sehimpun doa datang menyapa//Bergabung di keriuhan doa-doa kita//Semoga mereka yang datang mafhum//Bila harap kita hanya senyum dan cinta
Kuberikan sepucuk cinta untukmu//Menemanimu jejakkan hidup baru//Jangan kau saku tapi semaikan//Temanimu arungi hidup selanjutnya
Yah, cinta selalu menang, bila disepadankan dengan benih tetanaman. Sebab, cinta yang menang adalah cinta yang menghidupkan.
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.