Pendidikan Ketakutan dan Akhir Semester

“Pendidikan adalah senjata ampuh bagi peradaban”.

Persoalan pendidikan kita hari ini adalah persoalan ketakutan. Pendidikan kita hari ini adalah pendidikan ketakutan. Naluri keberanian dan kehausan ilmu pengetahuan generasi penuntut ilmu dikebiri oleh mereka, pengajar-pengajar penakut. Sehingga yang tersisa hanyalah gumpalan ketakutan. Propaganda ketakutan inilah yang membuat kita lupa bahwa kita punya keberanian sehingga kita pun takut berlaku berani. Setidaknya seperti itulah hipotesa awal saya sebagai pelajar di Jurusan Aqidah Filsafat.

Keberanian paling penting yang seharusnya dimiliki oleh seorang pelajar adalah keberanian bertanya. Karena bertanya merupakan sebuah kunci agar kita bisa menemukan hal-hal baru. Tidak sedikit penemuan dan pemikiran yang inovatif lahir dari sebuah pertanyaan, tentunya karena berani bertanya. Masih ingatkah kita pada pertanyaan “Mengapa sebuah apel bisa jatuh dari pohon sedangkan bulan tidak jatuh ke bumi?” Ya, itulah pertanyaan awal seorang filsuf alam yang bernama Sir Isaac Newton sehingga dapat merumuskan Teori Gravitasi. Selain penemuan itu, terdapat berbagai penemuan-penemuan besar lainnya yang lahir karena sebuah pertanyaan.

Namun sayangnya, budaya bertanya dalam pendidikan kita sudah semakin melarat. Dalam suasana pendidikan kita, baik itu di sekolah maupun di kampus, jika terdapat seorang pelajar yang selalu bertanya akan dicap sebagai pelajar yang bodoh dan bahkan kadang ditertawakan. Dan tidak jarang pula kita dapati pengajar yang merasa takut dan terancam dengan pertanyaan-pertanyaan pelajar yang seharusnya ditumbuhkan. Sehingga dengan penuh rasa ketakutan ia pun melarang dan membunuh benih pertanyaan pada pelajarnya dengan memberikan nilai Error atau ancaman tidak lulus dalam mata kuliahnya. Sehingga tugas pengajar yang seharusnya untuk menghidupkan pengetahuan beralih menjadi menghidupkan dogma yang penuh dengan ketakutan. Yah, menjadikan pelajar jadi penakut, takut bertanya, takut tidak mendapatkan nilai baik. Sehingga pada satu titik, pelajar pun berani melakukan kejahatan karena ketakutan. Ia berani melakukan plagiasi sebab ia takut mendapatkan nilai yang tidak memuaskan. Tradisi pembelajaran seperti inilah yang menciptakan pendidikan penakut meskipun tidak semua praktik pendidikan kita demikian.

Sedangkan dalam Jurusan Filsafat, model pembelajaran penakut juga hadir dalam beberapa mata kuliah. Misalnya, pembelajaran pada mata kuliah filsafat yang hanya mengungkap persoalan sejarah dan produk pemikiran. Padahal, filsafat—setidaknya menurut saya—bukanlah persoalan sejarah dan produk pemikirannya, tapi bagaimana filsafat menjadi metodologi pembelajaran dan dijadikan sebagai sandal dalam menapaki jalan kehidupan. Tapi karena model pembelajaran demikian sudah menjadi lazim dalam dunia pendidikan maka kita—pelajar dan pengajar—tidak lagi merasakan itu sebagai hal yang asing dan tidak memberikan manfaat besar.

Jadi, sangat dilematis jika tujuan kita belajar untuk meluaskan pengetahuan namun pada praktiknya kita hanya disuguhkan dengan berbagai tugas makalah yang bahkan tanpa prioritas penguasaannya. Yang ada hanyalah formalitas pembelajaran namun miskin ilmu. Nilai A yang ada pada kartu hasil studi hanyalah formalitas semu yang tidak mewakili capaian intelektual. Kita hanya diajar untuk menyelesaikan mata kuliah namun tidak diajar untuk mengambil manfaat dari pembelajaran, pelajar tidak lagi mengeksplorasi hasil pembelajaran karena pertanyaan dan rasa ingin tahu tidak dapat dimunculkan dalam model pembelajaran demikian dan bahkan pambelajaran menjadi sepi dari nilai-nilai filosofis.

Pembelajaran jenis ini hanya akan melahirkan para praktisi yang bermental hafalan, bukan menghasilkan benih filsuf baru. Karena mental kritis telah dikebiri oleh mereka, para pengajar yang penakut. Mereka menjadi pengajar yang penakut, karena rasa berani yang pernah ia miliki juga telah dikebiri oleh pengajarnya dulu. Yah, tentunya pada sistem pembelajaran yang sama. Sehingga persoalan ini sebenarnya sangatlah akut. Kita hidup dalam tradisi pembelajaran yang butuh revolusi.

Inikah pendidikan yang salah kaprah? Jika ya, maka kita tidak perlu banyak bertanya, jika fenomena seperti ini semakin berkembang: “semakin banyak pelajar dan pecinta filsafat malah semakin sedikit menghasilkan filsuf dan pemikir”. Selain demikian, tentu pendidikan semacam ini juga hanya akan menghasilkan generasi bermental penakut yang memiliki rasa takut yang akut, sehingga perkembangan intelektual bangsa ini pun tersangkut. Oleh karena itu, kita butuh keberanian. Bukan hanya keberanian bertanya namun keberanian untuk mengkritisi.

Bukankah dalam tradisi manusia yang berintelektual selalu ada keberanian mengkritisi, selalu ada keberanian untuk menciptakan hal yang bernilai antitesis? Di bawah ini saya tulis beberapa contoh keberanian kritik intelektual dalam tradisi Filsafat Islam. Misalnya yang dilakukan oleh Ibnu Sina. Ibnu Sina hadir dengan kritikan intelektualnya terhadap para filsuf sebelumnya dengan buku yang berjudul “Tahafut Al-Falasifah”.

Paripatetisme dalam filsafat Islam juga misalnya. Paripatetisme ini diawali oleh banyak filsuf terkemuka di antaranya al-Kindi, al-Farabi, dan filsuf lainnya yang tentunya sangat berjasa dalam mengembangkan intelektualitas dalam Islam. Namun setelah itu, muncul sosok yang bernama Ibn Rusyd. Ia mengkritik paripatetisme Islam yang sebelumnya terdistorsi oleh Neo-Platonisme. Bukan hanya itu, Ibn Rusyd juga mengkritik balik terhadap buku Ibnu Sina tentang “Tahafut Al-Falasifah” dengan menulis buku “Tahafut Al-Tahafut”.

Semua ini—contoh dialektika intelektual di atas—memberikan indikasi bahwa tradisi intelektual tidak pernah lepas dari proses dialektika. Namun bagaimana mungkin dialektika bisa hadir dalam tradisi intelektual kita hari ini, jika dalam dunia pendidikan rasa berani dan kritis telah dikebiri oleh mereka para pengajar? Bagaimana mungkin dialetika intelektual akan hidup dalam tradisi intelektual kita, jika dalam dunia pendidikan rasa terampil dibunuh dengan tugas-tugas mematikan? Bagaimana mungkin dialektika intelektual akan bertumbuh dalam diri generasi jika pendidikan kita masih tentang pendidikan ketakutan? Yah, pendidikan yang menjadikan kami semua sebagai penakut. Dan sekarang, kami mencoba untuk bangkit.

Narasi tentang pendidikan penakut lahir dari pengamatan saya terhadap dunia kampus yang penuh dengan suasana ketakutan. Apalagi fenomena ini semakin diperkuat dan semakin jelas di mata saya dengan hadirnya masa akhir semester. Yah, kita tiba di masa akhir semester. Masa di mana kita bisa melihat para pengajar yang penakut menakut-nakuti mahasiswanya, masa di mana kita bisa melihat para mahasiswa yang penakut menakut-nakuti dirinya. Yah, masa yang selalu tentang ketakutan—takut tidak dapat nilai A.

Namun pengamatan saya secara pelan-pelan menemukan sosok pengajar yang tidak memiliki rasa ketakutan dalam kepribadian dan cara mengajarnya, sosok pengajar yang menumbuhkan semangat intelektual, sosok pengajar yang memupuk kehausan pengetahuan mahasiswanya. Yah itulah dia, pengajar yang dikenal dengan nama Wahyuddin Halim.

Di akhir semester ini, pada beberapa pengajar mata kuliah yang telah menyajikan ujian akhir semester, belum pernah saya dapatkan penyajian ujian dengan soal-soal sebagaimana yang beliau sajikan. Jika pun boleh saya ungkap, tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap pengajar yang lain. Yakni: pada ujian semester hanya beliaulah yang menyajikan soal-soal merdeka buat mahasiswanya, bukan soal-soal penakut yang membutuhkan jawaban buku teks, bukan soal-soal yang memaksa mahasiswanya harus menghafal.

Selain di ujian semester, dalam metode pengajarannya pun beliau sangat menekankan pencapaian dan pemahaman filosofis mahasiswanya. Ia sangat menekankan apa yang harus kita capai dengan penuh kebebasan, bagaimana kita bisa mengambil manfaat tanpa rasa takut bertentang pada beliau. Bukankah tidak sedikit kita dapatkan pengajar yang dalam dirinya beranggapan ilmunya adalah kebenaran absolut? Selain kebebasan-kebebasan seperti itu, juga masih segar dalam ingatan kala saya masih di semester satu bahwa beliau pernah dengan tegas, kurang lebih menyampaikan pesan seperti ini: “Jika kalian tak mampu melihat sisi baik dan manfaat jurusan Filsafat dalam diri kalian maka kalian harus mencari jurusan menurut pribadi kalian tepat, bangkit dan berkaryalah di sana”.

Segala tindakan dan cara pengajaran yang beliau berikan adalah pendidikan berkarakter. Pendidikan seperti inilah yang menurut saya mesti ditiru sebagai pengajar, pendidikan merdeka yang bebas dari ketakutan. Sehingga mahasiswa pun bebas dari kata penakut dan merdeka dalam ranah intelektualitas kita. Kita bebas memilih di mana letak kecerdasan kita. Bukankah indikasi atau jenis kecerdasan manusia bukan hanya satu? Sebagaimana Teori Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence) yang saya pahami dari Howard Gardner bahwa jenis kecerdasan tidak hanya satu. Tidak hanya orang yang mampu matematika yang dikatakan cerdas, bukan hanya orang bisa menghafal yang dikatakan cerdas. Tapi sebagaimana pandangan Gardner jenis kecerdasan itu majemuk, sehingga pendidikan kita seharusnya memberikan kemerdekaan, kebebasan bagi generasi pelajar bukan malah mematikan potensi kecerdasan dengan propaganda ketakutan.

Sebagai penutup tulisan ini saya mengutip kalimat bijak dari sosok Najwa Shihab. Dalam acara TV Ia mengatakan bahwa “Tugas guru bukan menjejalkan pelajaran, guru harus menghidupkan pengetahuan. Kebenaran guru bukan hal yang absolut, karena murid bukan kerbau yang serba menurut. Kelas bukan untuk menyucikan diktat penuh angka, pengetahuan bukan ayat-ayat penuh dogma. Ilmu jangan hanya obyek hafalan, ilmu untuk memahami dan menuntaskan persoalan. Sekolah perlu terus membuka diri pada perubahan, guru jangan segan beradaptasi dengan kebaruan. Agar belajar menjadi proses menyenangkan, agar kreatifitas terus ditumbuh kembangkan. Siswa niscaya akan haus pengetahuan, ijazah takkan mengakhiri proses pembelajaran. Inilah pengajaran yang memanusiakan manusia, bukan pendidikan yang mengkerdilkan siswa. Tinggal tunggu waktu lahirnya generasi pencipta, mereka yang akan mengharumkan Indonesia dengan karya. Hanya pendidikan yang bisa menyelamatkan masa depan, tanpa pendidikan Indonesia tak mungkin bertahan.”

Untuk kawan-kawan saya—mahasiswa di Jurusan Filsafat, semoga dengan tulisan ini sedikitnya dapat menyirami rasa ketakutan yang kian semakin gersang dalam diri kita. Mari buktikan bahwa kita bukan lagi penakut dengan semakin giat membaca buku. Dan untuk dosen-dosenku tercinta mari ciptakan pendidikan yang merdeka, pendidikan yang berkarakter. Hingga pada satu titik ketika matahari keilmuan semakin terpancar di pojok semesta, rembulan ketakutan semakin tertutup, embun keharmonisan kembali tampak, dan lahirlah kehidupan semesta yang cerah dan humanis. Selamat menikmati akhir semester, semoga menyenangkan.

2 thoughts on “Pendidikan Ketakutan dan Akhir Semester”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *