Narasi Nirwan Ahmad Arsuka

Bagaimana mungkin dunia pada hakikatnya adalah narasi?

Tapi, begitulah yang dibilangkan Nirwan Arsuka di suatu diskusi menjelang ramadan di Cafe Dialektika yang digelar Paradigma Institute Makassar. Dunia jika dikuak intinya, tiada lain adalah narasi.  Segala sistem pengetahuan manusia, entah itu filsafat, kosmologi, atau bahkan sastra, dibangun di atas sebuah narasi. Melalui “lidah” manusia, alam semesta mewujudkan dirinya melalui kisah.

Atau dengan kata lain, sepanjang manusia menciptakan narasi tentang hidupnya, maka sebenaranya itu adalah cara alam semesta mengungkapkan dirinya di hadapan manusia.

Suatu puitika-kah ini?

Meminjam kategori waktu Heidegger tentang destitute time, manusia di sepanjang sejarahnya selalu berusaha untuk menemukan orisinalitas dirinya di hadapan alam semesta yang melingkupinya. Segala upaya ilmu pengetahuan, yang juga dikatakan Nirwan sebagai percakapan dengan semesta, merupakan bentuk dasariah manusia menemukan relasi eksistensial antara dirinya dengan seluruh eksistensi yang mengitarinya.

Sesungguhnya apa yang dikatakan Nirwan sebagai percakapan dengan semesta merupakan pemapatan atas sejarah panjang manusia ketika mengekspresikan dirinya. Di dalam waktu, dengan waktu, dan melalui waktu, manusia “menyelam” di antara dan di dalamnya. Mencari hubungan kebermaknaan di antara relasi yang mereka ciptakan sendiri melalui konfirmasi dan afirmasi terhadap alam semesta demi menunjang kehidupannya.

Diperantai imajinasi, dimulai dari pemikir paling awal, sejarah kebudayaan manusia bergerak di antara pemahaman bahwa alam semesta memiliki archetype berupa air, udara, api, atom, hingga kebudayaan modern menyebutnya gelombang, demi mencari hakikat alam semesta di dalam kebudayaannya.

Dengan kata lain, percakapan dengan semesta adalah pekerjaan yang sudah dan sedang berlangsung hingga kini.

Kekuatan imajinasi, belakangan banyak ditemukan di setiap kebudayaan-kebudayaan masyarakat. Dimulai dari peradaban kuno Sumeria hingga abad modern, imajinasi adalah kekuatan paling fondasional yang membentuk kehidupan bersama.

Kaitannya imajinasi dalam narasi, dikatakan Nirwan juga dimiliki oleh masyarakat Sulawesi Selatan dengan epos I la Galigo-nya. I la Galigo dalam konteks masyarakat Sulawesi Selatan merupakan satuan pengetahuan kosmologi manusia Bugis untuk mengidentifikasikan dirinya dengan alam semesta. Melalui I la Galigo, alam semesta diimajinasikan dan diposisikan sebagai sistem penjelas bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat Bugis-Makassar.

Itulah sebabnya, Nirwan mengatakan, peradaban yang tidak ditopang dengan narasi lambat laun akan berbalik punah. Tidak ada peradaban di mana pun tanpa narasi sebagai inti fondasionalnya.

Kebudayaan yang ditopang dengan pendidikan jika mesti direvolusi, dikatakan Nirwan juga mesti menempatkan narasi sebagai faktor utama agar manusia dapat bergerak maju. Bahkan Nirwan menyatakan bahwa kemampuan membuat dan memahami narasilah yang mesti dikembangkan di dalam sistem pendidikan. Melalui narasi, manusia diberikan peluang untuk mengembangkan imajinasinya. Bahkan, melalui imajinasi, manusia mampu menemukan dan menciptakan kenyataan baru demi mengatasi hambatan-hambatan yang dialaminya.

***

Malam itu, diskusi yang dikemas untuk memberikan apresiasi terhadap bukunya yang terbit beberapa tempo yang lalu, banyak menarik perhatian anak-anak muda Makassar yang banyak berkiprah dalam dunia literasi dan filsafat.

Salah satu yang menarik dari pokok diskusi Nirwan adalah konsep tiga dunia (Three Words) yang diperkenalkan Karl Popper di tahun 1978. Pidato yang dibacakan di Universitas Michigan itu membentangkan tiga tingkatan tatanan dunia secara ontologis berkenaan dengan dunia pengalaman manusia.

Berdasarkan pemahaman Karl Popper, dunia pertama adalah dunia fisik manusia yang terbentang di dalam medium ruang dan waktu. Segala apa yang tampak secara fisik merupakan bagian dari dunia pertama. Dunia kedua adalah dunia mental yang dimiliki manusia dalam perasaan dan dan proses berpikirnya. Sementara dunia ketiga adalah dunia objektif segala hasil pemikirian manusia berupa tamsil dari dunia seni, teknologi, filsafat dan agama.

Ketiga dunia ini disebutkan Popper saling berinteraksi dan saling memediasi sebagaimana misalnya dunia pertama hanya bisa berinteraksi dengan dunia ketiga melalui dunia kedua. Itu artinya, peran mediasi bahasa, yang dinyatakan sebagai objektifikasi mental manusia dari dunia kedua dan dunia objektif dunia ketiga sangatlah mendasar.

Itulah sebabnya Nirwan sangat menekankan betapa pentingnya sastrawan, atau orang yang bergerak dalam dunia bahasa banyak-banyak menggunakan pendekatan dunia ketiga ketika mengeksplorasi karya-karya pemikirannya. Dengan mengeksplorasi dunia ketiga, akan banyak memungkinkan bahasa selain menjadi medium pemaknaan, juga mampu memberikan kesan lahiriah yang bukan saja retoris estetis, tetapi juga mengandung kedalaman makna yang berbobot.

Hubungan dialektis, menurut Nirwan adalah kunci dari interaksi antara kategori-kategori yang bersifat fisikal dengan dunia imajinasi ketika ingin menghasilkan dunia ketiga, dunia objektif dalam pemikiran Karl Popper. Dengan kata lain, Nirwan mengatakan dunia yang baik adalah dunia yang senantiasa dibangun dengan imajinasi yang senantiasa berkembang untuk jauh lebih luas dari kenyataan.

Dari hubungan semacam inilah, yakni ketika setiap imajinasi berkembang lebih jauh dari kenyataan yang terjadi, maka perubahan dimungkinkan terjadi.

Gairah untuk menaklukkan kenyataan melalui imajinasi, dinarasikan Nirwan sebagaimana Karaeng Pattingalloang di beberapa abad lalu ketika ingin memesan bola dunia dari Keluarga Bleau di tahun 1644 dari dataran Eropa yang tidak pernah dibayangkan pembuatnya sekalipun. Dalam kasus Karaeng Pattingalloang, imajinasi tentang bola dunia yang belum pernah dipikirkan menduduki posisi yang sentral ketika “mengintervensi” dan “menciptakan” kenyataan baru.

Dengan kata lain, imajinasi yang dipercakapkan Nirwan bukan sekadar sekumpulan gambaran konseptual tentang sesuatu yang dipunyai manusia tentang kenyataan tertentu, melainkan upaya pelampauan kenyataan untuk mendorong terjadinya kenyataan baru dengan cara memperkarakan batasan-batasan yang selama ini diciptakan sendiri oleh umat manusia.

Artinya, kalau bisa dikatakan tidak ada yang tidak mungkin selama itu mampu dimajinasikan sejauh alam pikiran manusia. Bukankah kenyataan selalu dimulai dari narasi?

 


sumber gambar: darahbiru.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *