Op een gegeven moment in Soppeng (Kelelawar, Burung Kakatua, dan Villa Yulliana)

Ketika mengunjungi Kabupaten Soppeng, sempatkanlah bertandang di daerah ketinggian. Daerah itu dikenal sebagai ibu kota dari Kabupaten Soppeng. Dahulu, orang-orang Belanda menjulukinya Bandoeng van Celebes, julukan itu tersematkan lantaran keindahan alam dan suasana sejuk yang selalu ditemukan kala bertandang ke tempat itu. Tak sampai di situ, para gadis-gadis belia dan lelaki-lelaki belia nya juga berparas menawan dan rupawan (untuk bagian terakhir cenderung subjektif). Tempat itu bernama Wattansoppeng.

Berada di Kota Watansoppeng, pandangan mata tak akan jemu-jemu menyisir setiap sudut wajah kota. Mulai dari gerbang kota yang sudah membawa rasa penasaran, pepohonan yang dihinggapi kelelawar, masjid yang berdiri megah, suasana jalan yang begitu bersih, hingga sebuah bangunan beraksitektur Belanda berdiri megah di atas ketinggian.

Ada tiga hal yang begitu menarik perhatianku tatkala bersua kembali dengan kota ini (baca Watansoppeng). Pertama, gerbang kota. Kedua, kelelawar yang hinggap di pohon. Ketiga, sebuah bangunan bergaya Belanda di daerah ketinggian, bangunan itu dikenal sebagai Villa Yuliana.

***

Seperti pada umumnya di kabupaten kota yang derdapat di Sulawesi Selatan, akan selalu dijumpai sebuah gapura atau gerbang yang menyambut para pelancong atau handai tauladan. Di gapura atau gerbang itu akan ditemui lambang kota atau kabupaten—biasanya menyerupai perisai atau prisma segi lima. Tetapi berbeda halnya dengan daerah lain, yang akan ditemui adalah sebuah gapura yang menampakkan sepasang burung Kakatua Jambul Kuning. Usut punya usut, menurut penuturan tetua dan beragai literatur pendukung, menyatakan bahwa Kakatua Jambul Kuning merupakan fauna resmi Kabupaten Soppeng, di sisi lain lambang kabupaten ini adalah Burung Kakatua Jambul Kuning.

Menurut catatan sejarah yang saya kutip dari buku Abd. Rahman Rahim, disebutkan bahwa pembentukan Kerajaan Soppeng—yang kelak menjadi Kabupaten Soppeng—tak dapat dilepaskan dari kehadiran dua ekor burung Kakatua Jambul Kuning atau Cakkelle dalam bahasa setempat. Diriwayatkan, daerah yang dikenal sebagai Soppeng dilanda krisis pangan, padi tak merunduk nan kuning, maka para Matoa—pemimpin kampung-kampung yang terdapat di Soppeng—mengadakan tudang sipulung atau musyawarah. Di tengah musyawarah itu nampak di langit dua pasang burung Kakatua Jambul Kuning beterbangan, memperebutkan setangkai padi. Melihat gelagat yang mencurigakan dari kedua burung tersebut—yang berasal dari Ordo Psittaciformes—maka para Matoa bersepakat mengikuti kemana gerangan burung yang berasal dari Famili Cacatuidae, Genus Cacatua itu. Walhasil, di suatu tempat di Soppeng ditemukan sebuah hamparan sawah yang menguning nan merunduk. Di dekat sawah itu nampak pula seorang yang “berkharisma”. Dalam riwayat orang itu kemudian dikenal sebagai MannurungngE ri Sekkanyilli’ yang dipercaya sebagai raja di Soppeng, memerintah bersama-sama dengan saudaranya yang bernama MannurungngE ri GoariE.

***

Selain pada gerbang kota, terdapat suatu hal yang unik di Kota Wattansoppeng, yakni pemandangan di kala matahari terbenam. Ketika hari mulai gelap, dan kepala didongakkan menghadap langit, maka akan ditemukan sebuah pemandangan segerombolan kelelawar yang mengangkasa. Mungkin bagi orang awam kehadiran kelelawar itu akan membuat bulu kuduk sedikit merinding, tetapi bagi warga Kabupaten Soppeng dan khususnya Kota Wattansoppeng, kelelawar itu adalah sebuah ikonik tersendiri, sebuah penciri.

Di satu sisi yang lain, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak mitos atau kepercayaan yang di luar nalar beredar seputaran kelelawar itu. Dipercayai jika kelelawar yang hinggap di pepohonan kota dianggap sebagai penjaga kota dan pemberi pesan tersirat. Menurut kolega yang bermukim di sekitaran kota, menyatakan bahwa: kelelawar itu jikalau tetiba saja beterbangan pada siang hari secara bergerombol, maka dipercaya akan ada kejadian yang menimpa; bisa berupa bencana kebakaran, gagal panen, atau bahkan—paling parah—huru-hara. Selain itu, katanya! Jikalau secara tak sengaja berdiri di bawah pohon yang dihinggapi kelelawar dan terkena pup, maka diyakini orang itu akan berjodoh dengan orang Soppeng.

Entahlah?! Apakah pernyataan ini benar adanya ataukah sekadar kelakar, yang pastinya warga begitu menghormati keberadaan kelelawar tersebut. Tetapi, sekiranya jangan pernah mencoba atau terbersit di benakmu untuk menembak kelelawar itu dengan senapan angin atau ketapel, warga akan memarahimu!

***

Rasanya, tak sah jika ke Kabupaten Soppeng belum pernah mengunjungi Villa Yuliana—selain pemandian air panas Lejja, tentunya—sebuah bangunan beraksitektur campuran antara Belanda dan Bugis. Bangunan ini terletak di daerah ketinggian di pusat kota.

Kehadiran bangunan ini sesungguhnya memiliki cerita tersendiri, menurut penuturan Pak Ahmadi—beliau adalah juru rawat Villa Yuliana yang pernah saya wawancarai pada tanggal 10 Desember 2016 di beranda Villa Yuliana—menyatakan bahwa bangunan ini, dalam sejarahnya pertama kali didirikan tahun 1905 atas prakarsa Mr. CA. Kroesen dan selesai setahun kemudian. Villa ini kemudian dinamakan sebagai Villa Yuliana. Sematan nama Yuliana sebagai bentuk penghargaan dan rasa syukur pemerintah kolonial atas kelahiran Ratu Juliana (J dibaca Y) putri dari Ratu Wilhelmia van Oranje-Nassau. (Sekadar catatan, Juliana lahir di Den Haag, pada 30 April 1909).

Awalnya Villa Yulliana diperuntukkan untuk tempat peristirahatan pejabat Belanda yang bermukim di Soppeng. Tempat peristirahatan itu—maksudnya Villa Yulliana—dikenal sebagai mess tinggi, lantaran tempatnya yang berada di ketinggian. Kiwari ini, Villa Yuliana berfungsi sebagai museum yang merekam jejak kehadiran Kabupaten Soppeng, mulai dari perkembangan peradaban lembah Sungai Walanae hingga masa awal kemerdekaan.

Di dalam Villa Yulliana, akan ditemukan uang kuno, kapak genggam, fosil tengkorak dan taring babi serta fosil gading gajah purba hasil eskavasi G.J. Bartstra tahun 1993 yang kesemuanya tertata rapi pada peti-kaca yang berada di atas meja. Selain itu, pada selasar Villa Yulliana—di bagian dindingnya—terpampang foto-foto tua yang menampilkan wajah Kabupaten Soppeng tempoe doloe dan prosesi pelantikan A. Made Alie sebagai Bupati Soppeng pertama. Pun akan disaksikan sebuah bingkai foto besar yang ukurannya hampir semeter. Dalam bingkai itu menyajikan silsilah raja-raja Soppeng yang pernah memerintah.

Di satu sisi yang lain, kehadiran Villa Yuliana juga sebagai bukti bahwa Belanda pernah bercokol di wilayah ini.

***

Seyogyanya, Burung Kakaktua, Kelelawar, dan Villa Yulliana di daerah ini merupakan suatu monumen ingatan. Monumen ingatan yang tercipta ketika bertandang ke Kota Wattansoppeng, ibu negeri Kabupaten Soppeng. Monumen ingatan inilah yang merekam bagaimana perjalanan panjang sejarah, kebudayaan, dan pesona Kabupaten Soppeng—yang tak kalah dengan wilayah lain di Sulawesi Selatan.

Selain itu, berkunjung ke wilayah yang dijuluki Bandoeng van Celebes tentunya akan memanjakan mata para pelancong dan handai tauladan sekalian. Cobalah Tuan dan Puan kongkow-kongkow di café yang ada di sekitaran Kota Wattansoppeng, atawa saksikanlah para gadis belia dan lelaki muda desa yang sedang asyik mager di pematang sawah. Tuan dan Puan akan terkesima. Sudah menjadi suatu rahasia umum bahwa lelaki dan gadis di daerah ini memiliki paras yang tamvan (pakai “v” bukan “p”), cantik, menawan, dan sedap dipandang. Tak percaya atas pernyataanku ini?!

Maka pandangilah sebuah foto profil penulis di laman ini, Puan akan menemukan lelaki yang begitu tamvan—lelaki itu tak lain adalah diriku, pria single bermartabat! Blesteran Bugis Wajo-Soppeng.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *