Kesuksesan harusnya seiring sejalan dengan usaha yang kita kerahkan. Karena langka terjadi sukses yang diraih tanpa kerja keras atau usaha yang sungguh-sungguh. Tetapi begitulah kita manusia, yang memiliki tabiat ingin segalanya terwujud tanpa usaha yang sungguh-sungguh. Sehingga tidak heran jika banyak yang doyan menempuh cara-cara instan untuk meraih suatu keberhasilan. Dan itu sudah jamak terjadi di negeri ini. Mulai cara masuk sekolah setingkat TK hingga skala perguruan tinggi. Demi mencapai keinginannya banyak yang rela menempuh jalan pintas meski secara kualitas hasilnya mengkhawatirkan.
Menjadi jujur dan tetap berjalan di garis lurus adalah hal yang asing. Maka bersiaplah untuk disoroti oleh lingkungan sekitar. Banyak yang bertahan di jalur ini, banyak pula yang gugur. Jika keberhasilan tersebut sifatnya semu, hanya berupa cetakan tinta hitam di atas putih, imbasnya pun hanya pada diri pribadi, mungkin tidak mengapa. Lain halnya jika keberhasilan yang diraih itu ternyata berdampak buruk pada orang lain dan lingkungan sekitar. Kompetensi di bidangnya tidak sesuai dengan laporan di atas kertas. Maka tentu bukan kesuksesan namanya, melainkan manipulasi data.
Mendidik manusia tidak bisa dilakukan secara instan. Ia perlu ilmu dan keahlian yang didapatkan dari banyak sumber referensi seperti dari buku, seminar, pelatihan, dan praktik langsung di lapangan. Ia pun butuh pengulangan secara sabar dan terus-menerus. Juga sesekali dievaluasi. Agar hasilnya bisa memuaskan. Olehnya itu guru, maupun orangtua kiranya perlu menyadari hal ini. Jangan pernah memimpikan anak didik akan berubah dalam sebulan, seminggu, atau bahkan sehari. Karena mengubah manusia tidak seperti mengutak-atik benda tak bernyawa, yang bisa berubah dalam hanya hitungan jam saja setelah diservis.
Makanya saya sering skeptis dan pesimistis jika ada orangtua yang bernafsu ingin mengubah perilaku anaknya dalam hanya hitungan hari. Tanpa teladan dan tanpa pendampingan, mustahil ia bisa melewati proses tersebut dengan mulus dan instan. Saya pernah membaca di sebuah buku yang menyatakan, perubahan kebiasaan itu perlu dilakukan selama satu bulan penuh agar ia bisa melekat dalam pikiran dan menjelma dalam tindakan yang permanen.
Tanpa proses yang cukup lama kecil kemungkinan bisa menuai hasil yang memuaskan. Godaan manusia era digital saat ini sungguh berat. Banyak pekerjaan yang antri berderet untuk diselesaikan, sementara waktu yang tersedia singkat saja. Akhirnya pekerjaan tersebut tidak berhasil dituntaskan sesuai dengan tenggat waktu yang diperkirakan, sementara masalah-masalah lain bermunculan terus-menerus tanpa mampu kita cegah. Harapan menjadi kompeten di suatu bidang pun menjadi muskil. Pikiran-pikiran dan perhatian kita bercabang kesana-kemari. Jika tidak melakukan pengurutan skala prioritas, maka bersiaplah menuai ketidakberesan dan kekecewaan yang tak berkesudahan.
Terkait mendidik manusia, bukan perkara main-main. Ia tidak bisa dilakukan sambil lalu apalagi hanya menunggu waktu luang. Jika kondisi ini kita paksakan, janganlah terperangah dengan hasilnya. Model mendidik cara begini sifatnya hanya sementara dan keropos. Dari luar kelihatan baik-baik saja, di dalamnya ternyata hanya berisi ruang hampa. Berurusan dengan watak dan kepribadian manusia perlu dilakukan dengan serius, jika tidak, gangguan-gangguan perilaku dan kejiwaan akan mudah mencuat ke permukaan meski hanya untuk urusan yang nampak sepele. Itulah mengapa saya perlu menekankan hal ini berulang-ulang.
Tak terhitung banyaknya orang yang ingin berubah hidupnya, mengubah perilaku anaknya, atau mengubah hal-hal yang tidak menyenangkan dalam relasinya dengan pasangan. Akan tetapi seberapa banyak yang mau menempuh proses perjalanannya yang panjang dan berat? Semua bermula dari perspektif yang benar diiringi kemauan kuat untuk mulai melakukannya. Karena berpikir semua bisa ditempuh dengan cara instan adalah hal yang sia-sia.
Ingin berhasil? Mari berproses…
Pegiat literasi dan parenting di Paradigma Institute. Telah menulis buku “Dari Rumah untuk Dunia” (2013) dan “Metamorfosis Ibu” (2018).