Salah satu masalah yang menurungku bangsa Indonesia, adalah rendahnya tingkat tradisi literasinya. Baik literasi yang paling awal, berupa kebiasaan baca-tulis, maupun perkembangan yang paling mutakhir, dari rambahan literasi untuk berbagai lahan hidup dan kehidupan. Itu pun kalau bangsa ini mempersoalkannya. Pasalnya, tidak banyak anak bangsa, yang tertarik untuk menganggap masalah literasi, sebagai masalah serius, tinimbang masalah politik, ekonomi, dan lainnya. Cobalah tengok, banyakkah yang terkejut dengan hasil-hasil publikasi, tentang rendahnya tingkat literasi Indonesia?
Bermula dari rilis yang dikeluarkan oleh Central Connecticut State University AS, yang menempatkan Indonesia pada peringkat 60 dari 61 negara yang diteliti tingkat literasi warganya. Indonesia hanya berada di atas Botswana, peringkat 61 dan di bawah Thailand sebagai peringkat 59. Jadi, ini soal peringkat literasi dari suatu bangsa. Atau, simaklah pula penabalan Najwa Shihab di Kompas, Agustus 2016, yang menyajikan data dari The Organisation for Economic Co-operatin and Development (OECD) bahwa “Budaya membaca masyarakat Indonesia berada pada peringkat terendah di antara 52 negara di Asia. UNESCO melaporkan bahwa kemampuan membaca anak-anak di Eropa dalam setahun rata-rata menghabiskan 25 buku, sedangkan Indonesia mencapai titik terendah yaitu 0 %, tepatnya 0,001 %.”
Selaku pegiat literasi, saya setuju seribu persen dengan apa yang dipendapatkan oleh harian Kompas (20/04/2016), lewat tajuknya, bahwa, “ pengumuman hasil pemeringkatan literasi (melek huruf) dari 61 negara dan Indonesia duduk di peringkat ke-60 jangan membuat kita putus asa. Tidak berguna kita protes, lebih baik berpikir dengan kepala dingin… sebagai bahan mawas diri. Budaya membaca kita, faktor penyebab utama literasi rendah. Standar UNESCO, waktu membaca 4-6 jam sehari, sementara kita 2-4 jam sehari, padahal negara maju 6-8 jam sehari.”
Dari tajuk di atas, secara pribadi mari kita mengevaluasi diri, dengan menohokkan satu tanya, berapa jam waktu yang kita habiskan untuk membaca dalam sehari? Jangan-jangan, kita pun belum tergolong insan yang membaca 2-4 jam sehari. Atawa, tengoklah lingkungan sekitar kita, termasuk di ruang terdekat kita, tempat mukim kita masing-masing, adakah aktivitas membaca minimal 2-4 jam dalam sehari itu? Bukankah yang lebih menonjol adalah kegiatan menonton berjamaah, berlama-lama larut dalam ocehan khutbah kotak ajaib, TV? Atau sibuk dengan utak-atik, heran bin takjub di gawai masing-masing?
Penabalan tersebut, barulah salah satu sisi belahan literasi, yakni membaca. Lalu bagaimana kemampuan menulis anak bangsa ini? Saya membayangkan pasti lebih parah lagi. Sebab, asumsinya sederhana saja, seorang yang menulis, mestilah membaca terlebih dahulu. Bahkan salah satu diktum pokok dalam kepenulisan, sering dilontarkan sebagai penegasan, bahwa seorang penulis yang baik, pastilah pembaca yang baik. Sangat sulit dipercayai, kemampuan menulis menjadi tradisi, jikalau saja tradisi bacanya amat rendah.
Menjadi menarik jikalau saya ajukan perspektif dari Gola Gong, ketika memetakan tradisi literasi seseorang atau komunitas, maupun sebagai masyarakat. Bahwasanya, pertama, tradisi literasi yang paling awal, hanyalah sekadar mengentaskan diri dari buta huruf dan tunatulis. Berikutnya, yang kedua, tradisi literasi itu berlangsung dikarenakan oleh tuntutan profesi. Demi keperluan pekerjaan, maka baca-tulis mengemuka sebagai upaya untuk memudahkan pekerjaan. Selanjutnya, yang ketiga, paripurna, tatkala tradisi literasi berlangsung karena tuntutan kebutuhan jiwa.
Bukan itu saja, penting pula saya kedepankan pengkalsifikasian yang dilakukan oleh Gola Gong, tatkala mempertegas gerakan literasi dalam mewujudkan tradisi literasi. Dalam bukunya, Gempa Literasi, akan peta gelombang gerakan literasi, yang sementara berlangsung hingga masa kiwari ini. Pertama, gelombang gerakan komunitas literasi yang memaknainya sebagai kegiatan baca-tulis saja, yang diwujudkan dalam bentuk adanya perpustakaan, taman baca, ataupun bentuk-bentuk yang sejenis. Pada intinya dari aktifitas yang berlangsung pada komunitas ini, sekadar meminjam dan mengembalikan buku.
Kedua, gelombang gerakan komunitas literasi yang lebih variatif. Di dalamnya sudah ada aktifitas diskusi, penerbitan, launching buku, pelatihan, lomba yang kesemuanya bermuara pada aspek literasi. Ketiga, menggunakan ikon budaya pop – musik, film, nonton, hacking, jalan-jalan, fotografi, ngobrol– sebagai pintu masuk untuk mendorong spirit literasi.
Pada konteks ini, menarik untuk menyeret beberapa komunitas literasi, yang lapik gerakannya berbasis di Makassar. Sebutlah sebagai misal, Paradigma Institute, Kata Kerja, Kampung Buku, Kedai Buku Jeni, Literasi Makassar, Pecandu Aksara, dll. Sekaum anak muda yang menceburkan dirinya pada berbagai komunitas tersebut. Dari publikasi-publikasi yang diumbarkan, saya bisa memastikan, bahwa sekotah komunitas itu, paling tidak sudah berada pada tingkatan gerakan literasi yang kedua menuju ketiga. Dan, lebih dari itu, tradisi literasi dari sekumpulan anak muda ini, sudah berada pada yang paripurna, membaca lalu menulis dengan motif memenuhi kebutuhan jiwa.
Pilihan sekelompok kaum muda mahasiswa ini, untuk bergabung dalam komunitas literasi, bagi orang banyak, mungkin tergolong sebagai keanehan, atau ketidaknormalan. Pasalnya, di masa kini, menjerumuskan diri dalam sebuah komunitas yang melawan arus utama, terkadang dianggap sebagai kesia-sian, kalau bukan buang-buang waktu. Sehingga, dapat dipastikan, kelompok seperti ini, pastilah jumlah pegiatnya tidak massal. Hanya segelintir saja yang mau bergabung. Untunglah ada sejenis penghibur dari Seth Godin, seorang penulis tiga belas buku laris, kolumnis, blogger dan entrepreneur sukses.
Pada salah satu bukunya, We Are All Weird, Godin menulis, “Dalam manifesto ini, saya tidak berbicara tentang aneh bawaan lahir, saya sedang berbicara tentang orang-orang yang membuat pilihan alternatif untuk menjadi aneh. Kebanyakan orang yang membuat pilihan itu secara paradoks berusaha untuk dapat diterima. Tidak oleh semua orang, tentu saja, tetapi oleh kelompok mereka, oleh orang-orang yang mereka kagumi dan berharap untuk dihormati oleh mereka. Orang aneh tidak penyendiri. Mereka juga tidak sendirian. Yang aneh adalah aneh karena mereka meninggalkan kenyamanan dan efesiensi massa, dan sebagai gantinya mereka membentuk kelompok-kelompok yang lebih kecil, kelompok di mana keanehan mereka benar-benar diharapkan. Elemen kunci untuk menjadi aneh adalah ini: Anda bersikeras untuk membuat pilihan.”
Lebih khusyuk lagi, Godin membabarkan, “Karena Anda dapat menemukan orang lain yang memiliki minat sama dengan Anda, yang aneh justru menjadi lebih normal, setidaknya di komunitas kecil yang sekarang menjadi tempat kita berkumpul. Komunitas yang Anda pilih dapat menjadi cermin dan penguat, memajukan kepentingan Anda dan menyemangati Anda untuk mendorong lebih jauh lagi. Internet menghubungkan dan meleindungi yang aneh dengan menghubungkan dan memperkuat komunitas mereka.”
Jadi, singkatnya, jalan yang dipilih oleh sekaum anak muda mahasiswa di berbagai komunitas ini, adalah sebentuk kesadaran akan pilihan, yang mungkin saja amat kecil pengaruhnya pada pembebasan dari terungku rendahnya peringkat literasi bangsa ini. Namun, satu hal yang ingin saya tabalkan kembali, dengan menguarkan lagi sederet kata bijak, “Berhentilah mengutuk kegelapan, mari nyalakan sebatang lilin.” Dengan begitu, komunitas-komunitas literasi serupa dengan sebatang lilin, yang senantiasa akan dijaga apinya, agar terangnya menerangkan komunitasnya, lalu mungkin dari sini ada secercah cahaya yang menerangi alam sekitar.
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.
One thought on “Gerakan Literasi Berbasis Komunitas-Mahasiswa”