Adalah Wahyuddin Halim, sesosok schoolar, yang lagi moncer aura keilmuannya, yang menampik aurat sahwat kasat kusut kuasa akademik. Kini, bersama sekaum anak muda di kampus Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), menenggelamkankan diri dalam satu danau pengetahuan, bernama Pukistek. Sesarinya, institusi itu, merupakan akronim dari Pusat Kajian Islam, Sains dan Teknologi. Mereka secara periodik, paling tidak sekali sebulan, menyelenggarakan pengkajian, tepatnya, diskusi yang mendatangkan pembicara tamu, sebagai pemantik persamuhan. Kemudian dibahas oleh orang dalam, persisnya, Wahyuddin selaku pembahas. Dan, salah seorang tamunya adalah saya, yang hadir membincang seputar gerakan literasi.
Adalah Wahyuddin Halim, selaku Kepala, serupa dengan Direktur Pukistek, yang mengontak saya, jauh-jauh hari, sebelum Ramadan. Prihal yang dimintakan, agar berkenan menjadi narasumber. Pertimbangannya, sebab saya didakukan sebagai pegiat literasi, dan juga representasi komunitas literasi, Paradigma Institute. Setelah saya menanyakan lebih rinci maksudnya, saya pun mengiyakan. Bersedialah saya menjadi pemantik diskusi, yang wujud pelaksanaannya, bersetuju dengan hari Senin malam, 24 Juli 2017, bertempat di Cafe Dialektika, Wesabbe-Tamalanrea, Makassar. Adapun tema yang digelar, bertajuk, “Gerakan Literasi Berbasis Komunitas-Mahasiswa”. Saya sendiri membuat esai sebagai bahan pengantar pemikiran. Dan, esai itu pun telah ditayangkan pada media ini, dengan judul yang sama. (Baca: http://kalaliterasi.com/gerakan-literasi-berbasis-komunitas-mahasiswa/)
Adalah Wahyuddin Halim, sebagai pembahas atas umpan-umpan pikiran saya, mendedahkan poin-poin penguat atas sodoran pantikan saya. Diajukannya sepenggal tanya, “dari mana tradisi literasi itu bisa muncul?” Wahyuddin pun memetakan jawabannya sendiri, yang setidaknya ada tiga muasal. Pertama, jalur individual. Maksudnya, dibutuhkan insan-insan yang selalu menginspirasi, sekaligus sebagai teladan. Individu-individu yang dikenal dengan tradisi baca tulisnya, tradisi literasinya, mestilah dikenalkan secara persisten dan konsisten.
Adalah Wahyuddin Halim, sang pemeta muasal, menguarkan poin kedua, jalan kultural. Dibutuhkan komunitas-komunitas, yang senantiasa menjadi kanal untuk berkumpulnya sekaum anak bangsa. Pada komunitas inilah, di mana tradisi literasi dikembangbiakkan, sehingga komunitas literasi menemukan peran aktualnya. Wahyuddin mengunci pandangannya yang ketiga, lewat struktural. Pemerintah wajib terlibat dalam program pengembangan literasi. Melalui seluruh pipa kuasanya, air literasi mengalir, hingga batas wilayah jangkauan.
Adalah Wahyuddin Halim, berlaku seperti penghubung, yang mengharapkan saya hadir di perlagaan pikiran, yang pada sesi pengantarnya selaku Direktur Pukistek, mengenalkan saya, seolah memberi gelar, dengan menyebut saya sebagai Syeikhul Qira’ah wal Qalam. Terus terang, saya agak terpesona dengan penyebutan itu, apatah lagi berbahasa Arab. Soalnya, garib sekali saya dilabeli dengan panggilan berbau Arab, kecuali, istilah Akhi atau Ikhwan, serta Antum. Eh, lupa, adalagi, Ustadz. Panggilan kali ini, benar-benar melangit. Bahkan hingga akhir persamuhan yang memangsa waktu sekira tiga jam, saya pun belum tau jua maksud panggilan itu.
Adalah Wahyuddin Halim, sekarib lama, telah bersahabat dengan saya sejak mahasiswa. Sekitar tahun 1996, saya pernah mendaulatnya untuk menjadi pembedah dalam sebuah diskusi buku berjudul, Ilmu Hidhuri, anggitan Haeri Yazdi di Paradigma Institute. Jadi perkawanan saya dengannya, sudah amat jauh ke belakang. Sejak masih mahasiswa S1 di Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin, S2 di Kanada, sampai kini, telah selesai S3 di Australia. Dan, tatkala saling menyapa, saya selalu memanggilnya kiyai. Ajaibnya, sapaan balasannya, Wahyuddin selalu memanggil syeikh. Bagi saya, tak mengapalah, sebab ini hanya menjadi rahasia bersama. Toh, tidak mengganggu konstalasi per-kiyai-an dan per-syeikh-an. Apatah lagi, saya memaksudkannya dengan huruf “K” dan “S” kecil. Pastilah itu dimaklumkan sebagai imitasi belaka.
Adalah Wahyuddin Halim, si penggoda pikiran, telah menggundahkan saya dengan penyebutan syeikh qira’ah wal qalam. Sesarinya, pemanggilan ini sifatnya rahasia, tapi Wahyuddin menyabdakannya secara terbuka di forum, meski saya juga tidak yakin para penghadir menyimpannya di benak, sebagai sebuah kesan yang mesti dipahat dalam ingatan. Karenanya, saya pun menabalkannya secara terbuka, menyebutnya sebagai kiyai, setidaknya, kiyai literasi. Bukanlah jalan hidup Wahyuddin sudah mencerminkan jalan dan makam literasi personal tingkat paripurna?
Adalah Wahyuddin Halim, laksana penggelisah jiwa, paling tidak, ulah panggelarannya pada saya. Selaku orang yang gelisah jiwanya, gara-gara panggilan itu, tetiba saja saya teringat dengan seorang kerabat, sekaligus mitra diskusi seputaran soal-soal keagamaan, seorang schoolar pula, jebolan S3 bidang Tafsir dan Hadis, Ahmad Mujahid. Padanyalah saya curhat, meminta penerang jelas akan istilah, syeikh qira’ah wal qalam. Menurutnya, sebagai suatu istilah, qira’ah, berselaras dengan ilmu-ilmu AlQur’an, sedang qalam berujuk pada ilmu kalam, teologi. Tapi dari sudut bahasa, qira’ah, sepadan dengan baca, sementara qalam, sejalan dengan pena, menulis. Adapun syeikh, bermakna guru-ahli. Bila demikian, syeikhul qira’ah wal qalam, dapat diartikan sebentuk guru yang ahli dalam baca-tulis.
Adalah Wahyuddin Halim, bak pemberi gelar yang otoritatif. Jadi, merujuk pada uraian Ahmad Mujahid, saya simpaikan simpulan, bahwa syeikhul qira’ah wal qalam, dari sudut bahasa, sama dan sebangun dengan guru-ahli di bidang baca tulis, mungkin semirip pegiat literasi. Adakah maksud kiyai Wahyuddin, pun demikian adanya?