Gerakan Pemuda Pasca Reformasi

Cinta adalah memberi, bukan mengambil atau kompensasi. Cinta adalah memilih dirinya mati agar yang lain dapat hidup, agar suatu cita-cita menang, agar suatu impian menjadi kenyataan. (Ali syariati)

Sekarang adalah zaman di mana kran demokrasi dibuka pasca reformasi.  Hal ini menandai era baru pada segala tatanan di negeri ini. Walaupun demikian, masih banyak polemik yang bermunculan mengenai demokrasi. Yang menimbulkan pertanyaan,  model demokrasi seperti apa yang ingin dicapai? Atau sistem demokrasi yang ideal bagaimanakah yang diinginkan dan diaplikasikan terhadap cara berbangsa dan bernegara?

Demokrasi merupakan perwujudan yang dilandasi tatanan yang ideal dalam menjalankan roda kenegaraan. Maraknya aksi unjukrasa di pelbagai lapisan masayakat telah menjadi pemandangan yang umum. Dengan berbagai isu pulalah mereka turun ke jalan menyuarakan aspirasinya yang tidak puas dengan kinerja dan peraturan yang ada, yang bagi mereka tidak sesuai dengan keinginan dan harapan. Tak terkecuali para pemuda dengan semangat yang tinggi dan menggebu-gebu.

Para pemuda  hadir sebagai barisan terdepan dalam menyampaikan ketidakpuasan mereka dalam berdemokrasi. Elemen-elemen pemuda terlibat langsung maupun tidak langsung bagaimana mengoreksi kesalahan-kesalahan pemerintah yang tidak pro terhadap demokrasi.

Elemen para pemudalah yang dalam sejarah perjalanan bangsa merupakan elanvital dalam perjuangan bangsa . Di mana para pemuda merupakan penggerak yang utama sebagai perlawanan terhadap kolonialisme imperalis di masa kemerdekaan. Dengan pelbagai latar belakang, tentunya para pemuda tadi membawa harapan, pandangan, dan idealisme tentang negara Indonesia Raya yang adil dan sejahtera.

Dengan pelbagai latar belakang yang beragam tentunya para pemuda memiliki tujuan yang tak terlepas dari gagasan kelompoknya. Baik itu dari kelompok nasionalis, sosialis, agama, maupun bersifat kedaerahan. Namun perlu dilihat bahwa gerakan para pemuda, atau manuver yang dilakukannya menimbulkan pertanyaan besar. Apakah yang dilakukannya merupakan kegiatan yang dilandasi idealisme mereka demi rakyat, atau hanya berkamuflase dari tujuan sebenarnya yaitu kepentingan golongannya?

Inilah yang terjadi pada masa kemerdekaan pra dan pasca kemerdekaan. Yang membentuk Indonesia modern hingga saat ini. Terkait dalam ini bagaimana para pemuda yang dari golongan berbeda-beda berusaha menarik massa dalam tiap tujuannya yaitu berdemonstrasi menuntun tuntutannya demi suatu perjuangan dalam perubahan sosial.

Terkait perubahan sosial, Ali Syariati, pemikir asal Iran mengamati bahwa ada tiga paradigma mainstream yang berkembang dalam masyarakat. Pandangan pertama adalah pandangan yang mengatakan bahwa perubahan sosial: kemajuan, kemerosotan, dan revolusi, terjadi karena kebetulan belaka. Kedua, pandangan materialisme dan determinisme sejarah yang melihat perubahan sosial mengikuti hukum alam. Manusia perseorangan tidak mampu memengaruhi masyarakatnya, karena masyarakat gejala alam yang berkembang sesuai hukum tersebut. Dan yang ketiga, berpandangan bahwa perubahan sosial sangat bergantung pada kekuatan personal. Pandangan heroisme orang “besar” memahami bahwa faktor satu-satunya yang menyebabkan perubahan dalam masyarakat adalah pribadi besar. Nasib masyarakat dan umat manusia berada di tangan orang-orang besar bertindak sebagai pemimpin masyarakat.

Namun, dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingannya, sebagian gerakan pemuda ingin menghegemoni lewat tujuan golongannya. Yang ingin menguasai dalam hal politik telah banyak memanfaatkan isu-isu yang bersingguhan terhadap rakyat. Urgensinya jelas, demi kekuasaan dan jabatan golongannya. Segala cara dilakukan demi tujuan-tujuan tadi. Banyak dari mereka hanya bermodalkan orasi dan kedekatan orang-orang elit di belakangnya. Paling tidak sebagai sesama atau berasal dari golongan yang sama. Apakah itu dari sayap partai ataupun didikan dari para senior yang memegang  jabatan di organisasi pemuda atau pun dalam dunia pendidikan. Dengan model pemuda yang mengikuti pengkaderan dan sering bertemu dengan para elit, mereka mulai menjadi bak pahlawan sebagai pejuang ataupun aktivis yang di baliknya penuh kepentingan kekuasaan. Setelah itu meninggalkan nilai-nilai apa yang diperjuangkannya.

Bagi Michel Foucault, kekuasaan itu tersebar, terdistribusi, bukan hanya represif dan negatif, melainkan juga positif dan berguna. Kekuasaan juga beroperasi melalui mekanisme-mekanisme sosial yang dibangun untuk menjamin kesehatan, pengetahuan, dan kesejahteraan. Bagi Foucault, kekuasaan bukan hubungan subyektif searah; kemampuan seseorang/kelompok untuk memaksakan kehendak orang lain. Kekuasaan merupakan strategi kompleks suatu masyarakat dengan perlengkapan, manuver, teknik, dan mekanisme tertentu. Oleh karena itu, lebih jauh, menafsirkan pemikiran kuasa Foucault adalah kekuasaan melahirkan anti kekuasaan, bahwa perlawanan terhadap kekuasaan tidak diartikan di luar mainstream kekuasaan itu sendiri. Inilah yang terjadi pada pemuda yang masuk dalam lingkaran kekuasaan.

Maka dari itu komitmen adalah suatu pertanyaan besar bagi para pemuda dalam memperjuangkan atau dalam suatu garis perlawanan dalam menegakkan keadilan dan kebenaran. Inilah yang harus diperhatikan sejauh mana keterlibatan pemuda dalam rangka menjaga, mengawal demokrasi dan kuasa pemerintahan dalam hal bernegara dan berbangsa. Apakah ikut arus dalam lingkaran kekuasaan demi kepentingan golongannya atau harus mengambil sikap dan memegang teguh idealismenya sebagai pemuda indonesia yang dalam istilah Soe Hok Gie sebagai manusia baru indonesia.

 


sumber gambar: pustakadigitalindonesia.blogspot.co.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *