Tunabudaya dan Satu Pertanyaan

“Seorang pemimpin, sebelum ia menjadi seorang yang mampu mengatasi sebuah negara (stateman) alias negarawan, haruslah terlebih dahulu mengatasi kebudayaannya, menjadi budayawan (man of culture).”  (Radhar Panca Dahana)

Tetiba saja, saya mengajukan pertanyaan balik, “mengapa mesti saya, dan apa subjek pengetahuan profesional yang akan saya representasikan?” Pertanyaan itu, saya ajukan ketika salah seorang panita Desk Pilbub Partai Demokrat Bantaeng, meminta saya untuk menjadi panelis, dalam rangkaian tahapan penjaringan calon bupati Bantaeng. Bersetuju dengan hari Ahad, 30 Juli 2017. Tajuk acaranya berbunyi, “Expose Public Bakal Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.”

Pasal yang menyeret saya sehingga didapuk jadi panelis,  menurut  penyelenggara, saya adalah orang independen. Bukan orang partai, bukan pula anggota tim sukses calon tertentu. Pun, saya bukanlah pemain politik praktis. Kalaupun berurusan dengan politik, lebih tepat disematkan sebagai high politics. Lebih dari itu, penghajat acara, memandang saya layak jadi panelis, sebab didakukannya mengerti jagat Bantaeng, dalam sudut pandang kebudayaan. Rupanya, dibutuhkan panelis budaya, untuk menguatkan penjaringan calon bupati. Bahkan, terasa berlebihan, tatkala moderator mengenalkan saya sebagai seorang budayawan.

Sesarinya, acara public  expose itu menghadirkan tiga orang panelis, yang sekotahnya, bukanlah elemen Partai Demokrat. Tersebutlah, Jayadi Nas, sebagai seorang akademisi, yang bakal menilai para calon dari sudut pandang pemerintahan. Ada juga Arsyad Hakim, wakil pemimpin redaksi harian Fajar, mewakili praktisi media, yang akan menyorot kapasitas para calon dari bidikan perkembangan tekonologi informasi. Dan, saya sendiri, sebagai orang Bantaeng, sedapat mungkin berlaku sebagai seorang budayawan, yang akan menangkap visi dan misi para calon, dari kacamata kebudayaan. Oleh pemandat panelis, setiap panelis hanya boleh mengajukan satu pertanyaan.

Maka duduk berderetlah para calon bupati yang terjaring oleh Partai Demokrat Bantaeng. Sejatinya, ada 11 calon yang memdaftar, 9 mengembalikan formulir, 1 tidak lengkap berkasnya. Jadi, 8 calon yang siap mengikuti expose public. Namun, hanya 6 calon yang hadir. Keenam calon itu, Muhammad Alwi, Amri Pakkanna, Arfandi Idris, Ilham Azikin, Sirajuddin Sewang, dan A. Sugiarti Mangun Karim. Calon yang tidak hadir, Abdul Wahab, yang menurut penyelenggara, karena sakit. Sementara Muhammad Yasin, hingga acara berlangsung, belum mengemukakan konfirmasi alasan ketidakhadiran.

Mengajukan tema kebudayaan pada setiap perbincangan, kadang lebih banyak abainya. Sekadar pemanis perbincangan dan janji, semisal janji politik dari para pemain politik, politisi. Terutama ketika ada perhelatan politik; pilpres, pilgub,pilbup,pileg, hingga pildes. Sekotah “pil” itu, persis seperti pil sungguhan, rasanya pahit di ujung lidah. Syukur bila menyembuhkan, walau tidak sedikit menambah parahnya rasa sakit sosial, akibat salah raba gejala sakit, atau keliru dosis. Lahirlah malpraktik kebudayaan. Pucuknya, menjadilah tunabudaya.

Sebagai panelis yang didapuk memberikan tanggapan dan pertanyaan, saya memulainya dengan rujukan pernyataan dari seorang budayawan, Radhar Panca Dahana, sebagaimana saya kutipkan di mula tulisan ini. Kalimat-kalimat  Radhar, yang saya petik dari bukunya, Kebudayaan dalam Politik, setidaknya, menjadi imaji saya dalam mengamati perjalanan kebudayaan negeri. Dan, meluncurlah pertanyaan saya, dalam bentuk rumusan berikut:

“Salah satu masalah vital dalam kehidupan bermasyarakat adalah soal budaya. Namun sering diabaikan, walau sering disebut sebagai pemanis, termasuk dalam janji kampanye seorang calon pemimpin. Padahal, kebudayaan sebagai hasil akal budi, mewujud dalam ranah publik (public sphere), dan ruang publik (public space).

Bantaeng, persisnya, kebudayaan Bantaeng, meliputi ranah publik (public sphere), sebagai alam pikiran masyarakat Bantaeng, perlu diterjemahkan menjadi kenyataan di ruang publik (public space), wujudnya dalam pembangunan.

Bagaimana visi dan misi bapak/ibu sebagai calon bupati Bantaeng menerjemahkan itu?

Kemudian, faktor penunjang eksisnya, atau lestarinya ranah publik dan ruang publik kebudayaan Bantaeng, mestilah memerhatikan pentingnya menumbuhkembangkan tradisi literasi, tepatnya, literasi budaya. Apa yang bapak/ibu  pikirkan dan ingin lakukan tentang gerakan literasi budaya Bantaeng?”

Sengaja saya bertanya dengan pola pertanyaan model facebook, “Apa yang anda pikirkan?” Sebab, dengan pola itu, semua bakal calon akan mampu menjawab, seperti halnya setiap orang dengan mudah membuat status di facebook, sebagai respon. Selebihnya, dengan pola ini pula, akan mendapatkan penilaian terbuka dari publik, sehingga publik boleh berkomentar sebebasnya, dan juga boleh memberi tanda stiker: suka, cinta, lucu, sedih, kaget, dkknya. Syukur-syukur, jikalau publik ikut membagikan jawaban-jawaban, sebentuk kampanye penguat, sekaligus pelemah setiap calon bupati.

Sesungguhnya, pertanyaan selaku panelis yang saya ajukan, mendapatkan jawaban yang beragam. Dan, setiap calon berusaha memberikan jawaban terbaiknya. Dikarenakan sebagai panelis mesti memberikan catatan penilaian, maka dengan segenap kemampuan yang saya miliki, catatan ini saya ajukan, sebagai bentuk tanggung jawab akan mandat. Bahwasanya, dari keenam calon, tentulah menjawab secara spontan. Dari jawaban spontan itulah, mencerminkan alam pikiran setiap calon.

Lalu bagaimana penilaian saya atas jawaban para calon bupati itu? Tak boleh saya beberkan di sini. Soalnya, nilai atas jawaban itu tidak boleh diekspose, sebab menjadi rahasia internal penyelenggara. Dan, saya ikut menjaga rahasia itu. Namun, yang lebih penting dari semuanya, bagi saya, apa yang diselenggarakan oleh Partai Demokrat Bantaeng mesti diapresiasi. Poin positifnya, Partai Demokrat Bantaeng, telah berkontribusi, melenturkan kekakuan di antara para calon bupati dan pendukungnya, setidaknya, yang hadir di perlagaan visi dan misi ini.

Sayangnya, disebabkan oleh banyaknya batasan, sehingga semuanya menjadi terbatas, termasuk menggali lebih jauh pandangan setiap calon bupati, terhadap budaya Bantaeng. Yang pasti, teragendakannya tema budaya dalam ekspose publik ini, paling tidak, sedapat mungkin, membukakan mata budaya para calon, akan pentingnya dimensi kebudayaan dalam mengelola negeri. Sulit rasanya, seorang pemimpin mengelola negerinya, tapi tidak mengerti kebudayaannya, tunabudaya. Dan, satu pertanyaan dari panelis, yang saya ajukan itu, mungkin bisa menjadi pintu masuk dalam kesadaran berkebudayaan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *