Calabai dan Muara Bissu

Calabai adalah sisi lain dari “wajah masyarakat”. Ia merupakan identitas yang dilekatkan kepada laki-laki maupun perempuan yang memiliki perilaku, sikap, yang berbeda dan tidak sejalan dengan wujud fisiknya sebagai perempuan atau laki-laki pada umumnya. Pun sebagaimana teori gender mengkonstruksikan kedua jenis kelamin ini. Calabai melabrak konstruksi tersebut. Sosok Calabai, sebagaimana Pepi Al-Bayquni telah mengemasnya dengan begitu apik dalam sebuah novelnya yang berjudul Calabai; Perempuan dalam Tubuh Lelaki, atau dalam kalimatnya yang lebih menohok, jiwa perempuan yang terperangkap dalam tubuh lelaki. Novel tersebut dengan detail menggambarkan lika liku kehidupan para calabai, terkhusus kepada mereka yang berada di kampung Segeri, Pangkep Sulawesi Selatan.

Sebagai identitas kedirian, calabai bisa merujuk secara personal maupun kelompok, di mana kehadirannya tidak jarang menimbulkan asap bumerang bagi penganut agama Islam tertentu. Betapa tidak, kehadiran mereka kerap dipahami sebagai orang yang melanggar fitrah ciptaan Tuhan, yang hanya menciptakan dua jenis kelamin yakni lelaki dan perempuan, dengan sifat dan ciri khas yang berbeda. Lalu, bagaimana mungkin kehadiran seseorang di luar dari jalur ini bisa ada dan diterima? Setidaknya pertanyaan inilah yang menjadi awal pro dan kontra penerimaan atas eksistensi calabai. Hal ini juga menjadi bagian penting yang disinggung Pepi dalam alur cerita novelnya, di mana Kiyai Kusen dihadirkan sebagai sosok tokoh Islam dalam novel tersebut. Kiyai Kusen memberikan penjelasan berbeda dari apa yang selama ini didapatkan oleh para calabai, melalui ceramah agama tentang diri mereka yang kerap menimbulkan angkara murka.

Melalui Kiyai Kusen, para calabai mendapatkan angin segar dan ceramah meneduhkan. Sebuah penjelasan yang akan membuka cakrawala berfikir para pembaca, melalui metode dialog yang produktif dan argumentasi rasional. Dalam dialog tersebut tidak ada kesan penghakiman secara sepihak, tapi justru tuntunan yang mencerahkan dengan meletakkan pandangan Islam yang ramah, yang mampu mendialogkan situasi dengan sifat merangkul. Demikian, Kiyai Kusen menjadi representasi tokoh Islam yang bijaksana dan mencerahkan, dengan meletakkan persoalan calabai dari sudut pandang yang berbeda. Output yang diperoleh pun berupa respon positif dalam menanggapi eksistensi calabai.  Pada perbincangan calabai ini, agama dihadirkan melalui pandangan yang terbelah. Maka benarlah analisa sang sosiolog kontemporer, Robert K.Merton melalui analisa fungsionalnya tentang agama. Merton mengemukakan agama mampu mempertinggi tingkat kohesi suatu masyarakat, dan di lain sisi agama memiliki konsekuensi disintegratif.

Calabai dalam pandangan sebagian penganut agama Islam, di satu sisi menganggapkannya sebagai makhluk yang dilaknat Tuhan, sehingga kehadirannya hanya akan mendatangkan musibah. Pandangan ini memiliki kecenderungan dalam penarikan kesimpulan yang tergesa-gesa, dengan menyandarkan dalil-dalil penafsiran ayat al-quran dan hadis secara tekstual. Jika ditilik pandangan ini memiliki konsekuensi disintegratif. Di sisi lain, sebagian penganut agama Islam pula memandang calabai melalui penelaahan yang lebih mendalam akan seluk beluknya, dan tidak hanya menyandarkan penelaahan secara tekstual pada tafsiran ayat-ayat al-quran dan hadis. Sehingga pandangan berbeda pun timbul terkait keberadaan calabai. Melalui pandangan ini kran kemungkinan diberikannya apresiasi dan penghargaan akan eksistensinya sebagai ciptaan Tuhan terbuka lebar, bagi calabai yang pada dasarnya sejak lahir telah diberikan kecenderungan naluri atau jiwa yang berbeda dari manusia pada umumnya. Karena pada dasarnya kecenderungan naluri dan kejiwaan yang dibawa sejak lahir adalah di luar dari kehendak mereka. Pandangan ini, memiliki tingkat kehati-hatian yang tinggi dalam menarik kesimpulan serta penelusuran yang mendalam terhadap kehadiran calabai. Pada posisi ini, pandangan penganut agama Islam tentang kehadiran calabai sangat potensial menciptakan kohesi suatu masyarakat.

Kehati-hatian dan penelusuran mendalam tersebut ditunjukkan dalam penjelasan Kiyai Kusen. Kiyai Kusen tidak hanya menyandarkan sudut pandangnya pada dalil-dalil penafsiran agama dan kekuatan penalarannya, tetapi juga mengawalinya dengan meluruskan pemahaman kita terlebih dahulu tentang calabai itu sendiri. Kiyai Kusen dalam dialognya membagi dua calabai atau waria, yakni ada yang dikenal banci tulen dan banci bikin-bikinan, sebagaimana Pepi pada alur cerita, sebelum tokoh Kiyai Kusen dihadirkan dalam novelnya, juga dengan terang mengungkapkan tiga tingkatan calabai, pertama disebut Calabai Tungkena Lino, mereka adalah laki-laki yang sejak kecil bersifat perempuan, tapi tidak genit. Kedua, Paccalabai, yakni Calabai yang genit. Ketiga, Calabai Kedo-Kedo, yakni lelaki tulen yang meniru-niru sifat perempuan. Berdasarkan pembagian ini, dapat dilihat kategori atau tingkatan calabai mana yang tidak dikehendaki agama Islam. Sehingga penghakiman dan pandangan yang menggeneralisir kehadiran calabai dapat dikatakan sebagai pemikiran yang keliru.

Berangkat dari pemahaman ketiga tingkatan calabai ini, Calabai Tungkena Lino dan Paccalabai dikatakan adalah calabai yang potensial menjadi bissu, dan yang paling potensial adalah Calabai Tunkena Lino. Bissu bermakna bersih, ia tidak memiliki nafsu yang berkobar-kobar untuk bersetubuh. Bissu melampaui jenis kelamin. Sebelum calabai ini menjadi bissu, mereka harus melewati beberapa tahap ujian, termasuk bagaimana mereka mengendalikan gairah birahi dan mendapatkan tanda-tanda dari Dewata. Bissu adalah penutur spiritual, pemangku ritual, dan terdapat bissu tertentu yang mendapatkan hidayah dalam kemampuan berbahasa Torilangi, bahasa yang diyakini sebagai bahasa Dewata. Pada zaman kerajaan mereka diberikan tugas penting dan posisi yang terhormat. Mereka diamanahkan untuk menjalankan acara adat di Bola Arajang, menjaga benda-benda pusaka kerajaan, dan pelaksana ritual Mappalili dalam kahidupan masyarakat bertani.

Hiruk pikuk kehidupan calabai hingga menemukan muara kehidupan bissu, terang diuraikan dalam novel Pepi. Mereka yang harus berhadapan dengan dua “wajah masyarakat” sebagai ruang tapak tilasnya. Sebagaimana yang dikatakan Bordieu, masyarakat sebagai ruang (spasial) yang berisi perbedaan-perbedaan dan di dalamnya terdapat berbagai hubungan sosial dominatif yang tersembunyi. Calabai adalah salah satu identitas yang menjadi aktor dalam hubungan sosial dominatif tersebut, dan mengambil bagian di arena diskriminatif.

Syahdan, bagaimana kita menyikapi perbedaan ini, bukankah dari beragam perbedaan yang mereka miliki, kita memiliki satu kesamaan hakiki dari segi kemanusiaan yang tidak bisa disangkal? Wallua’lam bissawab.

 

*Terbit sebelumnya di Harian Radar Makassar

 


sumber gambar: institup.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *