Tersesat dalam cahaya, tak tampak namun di pelupuk mata. Mencari yang tak pernah hilang, mengejar yang tak pernah lari, mendatangi yang tak pernah pergi. Safar tanpa jarak, rekreasi tanpa ruang dan waktu, kembali tanpa pergi. Hampir-hampir lumpuh akal untuk memahami makna di luar kapasitasnya. Itulah yang terjadi saat ikan yang sedang berenang mencari air, saat ikan mengarungi samudra sangat penasaran ingin mengenal laut.
Tersebutlah ada seekor ikan yang memiliki keingintahuan yang cukup unik. Ia berbeda dengan ikan-ikan lainnya yang hanya mengikuti gerak arus air apa adanya. Atau, ikan yang sekadar menghabiskan hari-harinya untuk berburu makanan dan istirahat. Ikan yang satu ini sangat berbeda. Ia memiliki kecerdasan lebih dari yang lainnya. Dalam dirinya tertitipkan kemampuan kontemplatif untuk lebih memahami sesuatu, setidaknya untuk memahami keberadaan dirinya dan sekelilingnya. Selayaknya seperti manusia, ikan unik ini bergelimang kerisauan tentang di mana sebenarnya ia hidup. Ada informasi tentang hal itu, namun sayangnya ia tak mengenal wujud tempat ia hidup. Ia menjadi pengembara untuk mencari jawab atas pertanyaan yang senantiasa bergolak dalam batinnya itu.
Untuk sekadar menemui di mana keberadaan air, ikan ini telah melanglang berenang ke mana-mana. Danau dan rawa ia datangi. Sungai-sungai ia lintasi, mulai dari hulu hingga hilir. Muara sungai pun yang berasa payau telah telah ia cicipi. Dalam pengembaraan panjang, ikan ini semakin risau, ia merasa tak menjumpai air, apalagi mengenalnya secara mendalam. Rasa risau ini bukannya membuat ikan tersebut menyerah, justru keingintahuannya tentang air semakin menyeruak, semakin menjadi-jadi. Ikan itu ingin sekali mengenal air yang katanya tempat hidup dan menghidupkan. Yang ia kenal selama ini bukannya air, akan tetapi hanya rawa, danau, sungai yang mengalir meliuk-liuk laksana ular panjang. Pengembaraan panjang ini tak mengantarkannya mengenal apa yang ia cari, air.
Tibalah suatu saat, dalam kondisi putus asa tanpa kontrol, ikan itu berenang tanpa arah bolak-balik seputaran tunggul (tunggul biasanya berupa kayu yang menancap di dasar sungai yang ujungnya menjulang hingga ke permukaan, tegar tak terbawa arus). Karena ikan ini berputar-putar sekitar tunggul dalam waktu lama tanpa arah yang jelas, membuat tunggul keheranan dan bertanya,
“Wahai ikan, apa yang membuat kamu berputar-putar sejak tadi?”
“Aku sedang mencari air,” jawab ikan kemudian balik bertanya: “dan kenapa kau terpaku berdiam diri sejak tadi di situ?”
“Aku sedang menikmati air,” ujar tunggul ringan dan singkat.
“Hah?!”, ikan terperanjat bukan kepalang. Bagaimana mungkin ia yang sudah lama mengarungi rawa, danau dan sungai serta berputar-putar sejak tadi tidak menemukan air, sedangkan tunggul tanpa gerak menikmati keberadaan air?
“Bagaimana mungkin kau menemukan bahkan menikmati air tanpa bergerak mencari air wahai tunggul?” tanya ikan bernada protes karena telah menghabiskan banyak tenaga dan waktu berkeliling mencari air namun tak menemukannya.
“Wahai ikan”, jawab tunggul dengan bijak, “air itu untuk dinikmati, dirasakan, bukan untuk dicari dan dipahami. Selama kau masih bergerak kau tak akan pernah merasakan dan menikmati keberadaan air. Jika kau tak menikmati keberadaan air maka kau tak memahaminya. Nikmatilah keberadaan air dengan cara menenangkan diri seperti yang kulakukan maka kau mengenal dan memahaminya, karena air tak ke mana-mana namun senantiasa bersama kita.” Ungkap tunggul dengan santai yang telah terbiasa menikmati terpaan air dalam ketenangannya. Ikan hanya tercengang mendengarkan. Tak menyangka sesederhana itu jawaban tunggul untuk mengurai kerumitan yang selama ini menyiksa hidupnya.
Mulailah ikan tersebut mencoba apa yang disarankan oleh tunggul. Ikan mulai berlatih menenangkan diri, tidak terbawa arus dan tetap di tempat. Awalnya mulai sedikit terasa terpaan air, akibat arus air yang mengalir. Semakin sering melatih menenangkan diri ia semakin merasakan kehadiran air dan mulai paham tentang air. Ikan itu terus berlatih dan berlatih menenangkan diri dalam air hingga kesadarannya menyeruak merasakan kemenyatuan dengan air dan lebih mafhum tentang air. Dengan ketenangan tanpa gerak, kini ia lebih memahami siapa dirinya dan siapa air yang katanya hidup dan menghidupkan. Hingga sampai pada kesadaran, sekalipun bergerak ke mana pun ikan itu tetap merasakan kehadiran air, karena telah terlatih untuk itu. Ikan bermursyid pada ketenangan tunggul untuk mengenal diri dan hidupnya.
Kehidupan yang tenang dan damai kadang telah dirampok oleh gerak ambisi, hingga kehadirannya tidak dirasakan dan dinikmati. Manusia terkadang menumpang kapal berlayar di permukaan laut berseteru dengan badai dan ombak untuk mencari kehidupan, namun lupa menyelam ke kedalaman samudra ketenangan tempat bersemayam kehidupan sesungguhnya. Manusia mencari kehidupan dengan cara melupakan hidup dan terseret oleh gerak yang tak tentu arah, sebagaimana yang ikan alami.
Meditasi, semedi, yoga, zakat, puasa dan dzikir serta sedekah adalah upaya menikmati ketenangan tunggul dalam rangka merasakan dan memahami kehadiran air kehidupan. Salat adalah ketenangan dalam gerak, yang mengisyaratkan bahwa gerak kehidupan ini sejatinya merupakan pancaran dari ketenangan-Nya. Semua gerak adalah titisan gerak-Nya, oleh karena itu sudah semestinya gerak itu menyatu dengan ketenangan-Nya, sehingga hidup merupakan wujud kehadiran hidup-Nya. Lautan kehidupan adalah bentangan air-Nya yang dengan ketenangan diri, baik dengan gerak atau tanpa gerak, merupakan sarana efektif untuk senantiasa bersama Dia Yang Maha Hidup.
—
Sumber gambar: https://www.google.co.id/search?q=ikan+mencari+air
Penulis lepas, penyuka tasawuf, filsafat dan sastra, menetap di Makassar.