Perkara Kopi

Ketika malam menerungku dan membawa sukma ini dalam kesepian yang merindu. Tetiba saja saya membuka stoples yang berada di hadapanku. Stoples itu berisikan biji kopi yang telah disangrai. Singkat kata, saya menggiling biji kopi tersebut dengan mesin giling manual. Di saat bersamaan kunyalakan kompor di dapur, bermaksud untuk memasak air—biar matang!

Singkat kata, biji kopi yang kugiling telah halus, dan ditaruh dalam drip coffee lalu menyeduhnya dengan air panas. Sembari menunggu drip coffee itu menyaring—memisahkan ampas kopi dengan air seduhan kopi—minuman saya. Tetiba saja mata ini tak jemu-jemu memandang tetesan demi tetasan air bewarna hitam pekat itu, tiap tetesannya membawa otak saya pada satu narasi sejarah bangsa Indonesia. Yakni sejarah pertautan antara Indonesia yang kala itu bernama Hindia – Belanda dengan biji dan tanaman kopi.

Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, terdapat satu masa di mana kopi menjadi saksi bisu “kekejaman” pemerintahan Belanda terhadap masyarakat Nusantara pada masa itu—dalam hal ini Tanah Jawa. Masa itu dikenal sebagai periode Sistem Tanam Paksa. Masa di mana masyarakat diwajibkan menanam tanaman yang laku di pasar Eropa dan dunia, salah satunya adalah kopi. Sistem Tanam Paksa di Nusantara setidaknya berlangsung dalam kurun waktu 1830-1870.

Pada masa Tanam Paksa diberlakukan, produksi kopi di Hindia – Belanda setidaknya mencapai 2.556.000 metrik Ton (semoga saya tidak salah hitung pada tabel yang disajikan ‘Opa’ Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen dalam penelitiannya). Banyaknya produksi kopi pada masa itu berbanding lurus dengan pundi-pundi gulden yang diraih pemerintah Hindia-Belanda. Saat itu, perkara kopi sedikit banyak membuat Belanda mampu membayar utang-utangnya yang dikarenakan menanggung biaya perang—terutama Perang Diponegoro dan Perang Paderi. Di satu sisi yang lain, masyarakat Jawa pada masa itu menderita kemiskinan dan kelaparan dikarenakan tanah-tanah produktif dialihfungsikan menjadi tanaman wajib dan hasil buminya diserahkan ke pemerintah Hindia-Belanda dengan harga yang sangat murah.

Walaupun sistem Tanam Paksa banyak membawa dampak negatif bagi masyarakat Nusantara pada masa tersebut, tetapi ada satu hikmah yang dapat ditarik dari peristiwa tersebut, yakni masyarakat Nusantara mengenal secara massif jenis tanaman baru dan kopi termasuk di dalamnya.

Tetapi, jauh sebelum culturestelsel atau Tanam Paksa diberlakukan, “persetubuhan” antara kopi dan Bumi Nusantara sudah ada sejak Abad ke XVII. Setidaknya, dalam buku Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen berjudul  Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia terbitan Yayasan Obor Indonesia, tahun 1987. Disebutkan bahwa kehadiran kopi di Nusantara telah ada sejak tahun 1696. Para pedagang V.O.C saat itu membawa “pohon-pohon kopi yang pertama” (Caffea Arabica L.) dan ditanam di salah satu sudut Nusantara. Namun sayangnya “pohon-pohon kopi yang pertama” itu punah. Kemudian pada tahun 1699 V.O.C Belanda kemudian membawa kembali kopi varian baru yang kemudian tumbuh dan berkembang di Jawa—serta daerah-daerah lain di Nusantara termasuk di dalamnya Sumatera dan Sulawesi—hingga Abad ke XIX.

Perkembangan tanaman kopi di Indonesia—terutama masa Hindia-Belanda—berbanding lurus dengan kehadiran warung-warung kopi—yang dijadikan tempat melepas penat dan membugarkan badan dengan menyeruput atau mencecap minuman bewarna hitam itu. Setidaknya, di pusat pemerintahan Hindia-Belanda, yakni Batavia tercatat pada 31 Juli 1878 telah berdiri salah satu warung kopi tertua bernama Tek Soen Hoo. Berlokasi di jalan Moolen Vliet Oost (kini dikenal sebagai Warung Tinggi, perusahaan yang bergerak di bidang pemasaran biji dan bubuk kopi).

Tidak hanya di Batavia, kehadiran warung-warung kopi juga menyebar di berbagai sudut kota-kota besar Hindia Belanda, seperti di Surabaya, Bandung, Medan, Makassar. Warung-warung kopi tersebut sedikit banyak mewarnai kehidupan masyarakat kota Hindia-Belanda di paruh akhir abad ke XIX dan awal-awal abad ke XX. Bahkan konon katanya, para aktivis pergerakan nasional dan aktivis kemerdekaan memperbincangkan ide-ide dan gagasan kemerdekaan di warung-warung kopi. Setidaknya, Soekarno muda betah berjam-jam duduk berdiskusi dengan kawan sejawat sembari menyeruput kopi.

Lalu, pertanyaan muncul kembali di batok kepalaku. Sembari menatap gelas yang mulai terisi setengahnya. “Mengapa minuman yang hitam pekat ini dinamakan Kopi?”

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya kemudian membuka kembali dua koleksi skripsi di bilah perpustakaan elektronikku. Di sana kutemukan skripsi Tuan Muhammad Ridwan, yang berkebetulan mantan mahasiswa UNM dan saudara Fidgta Khoirini, yang juga berkebetulan mantan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Supaya lebih sahih, saya juga mencomot buku saya di rak perpustakaan. Buku yang berjudul Warung Tinggi Coffee: Kopi Legendaris Tertua di Indonesia, Sejak 1878.

Dalam bacaan saya tersebut dinarasikan peristilahan kopi dan asal-muasal kopi. Istilah “kopi” sendiri muncul dari penyebutan kopi oleh masyarakat di Arab, biji hitam yang memberikan energi di Jazirah Arab disebut Qahwa yang berarti pencegah rasa ngantuk—kata Qahwa (qahwain) sendiri berasal dari bahasa Turki, yaitu Kahven—oleh karena itu kopi menjadi minuman para sultan untuk diminum pada malam hari sebagai pencegah rasa kantuk. Adapun istilah kopi untuk tiap negara berbeda-beda, di Jerman disebut Kaffe, masyarakat Inggris menyebutnya Coffee sedangkan masyarakat Prancis menyebutnya Café. Belanda sendiri menyebut tumbuhan ini sebagai Koffie dan dari istilah Koffie itulah disadur oleh masyarakat Indonesia menjadi Kopi.

Saya hanya mengangguk dan bergumam, “ooo…” sesekali kuperhatikan kembali gelas di dekatku. Sudah terisi tiga perempatnya. Kulanjutkan membaca silih bergantian bacaan yang berkenaan dengan kopi.

Sedangkan muasal tanaman kopi sendiri dipercaya berasal dari salah satu daerah di Afrika. Konon katanya, hiduplah seorang pengembala kambing bernama Khaldi—yang hidup di Ethopia sekitar tahun 300 Masehi—singkat kata Si Khaldi ini memerhatikan gerak-gerik kambingnya yang bersemangat, hiperaktif. Usut punya usut, rupanya kambing-kambingnya memakan biji-bijian (buah-buahan) bewarna merah. Karena diterungku rasa penasaran, sang pengembala atau Si Khaldi ini menuntun dirinya untuk mencicipi biji tersebut, wal hasil biji itu memberikan tenaga dalam beraktifitas.

Si Khaldi kemudian membawa biji-bijian tersebut dan iseng-iseng memanggangnya dalam bejana besi. Lalu biji itu menguarkan aroma sedap. Si Khaldi kemudian menyeduhnya dan dijadikan minuman yang nikmat. Rupa-rupanya setelah diseruput minuman itu mampu memberikan khasiat dan energi. Maka Si Khaldi menceritakan pengalamannya menikmati minuman hitam pekat itu kepada rahib atau biarawan kenalannya, lambat laut biji dan minuman tersebut terkenal. Syahdan, para pedagang Arab kemudian menjajakan biji kopi tersebut. Pada abad ke-14, biji kopi sampai ke Kota Konstantinopel—pada tahun 1475 di Konstantinopel, berdiri kedai kopi pertama di dunia dengan nama Kiva Han sedangkan kedai kopi pertama Amerika didirikan di Boston pada tahun 1676—melalui kota ini para saudagar dan pedagang memperkenalkan biji kopi ke berbagai penjuru dunia.

Saya kembali mengangguk-ngangguk, kemudian menatap kembali gelas yang mulai penuh. Drip Coffe kutaruh pada piring kecil, kuseruput kopi sembari berujar dalam hati. “Rupanya karena perkara kambing, penduduk di Bumi bisa menikmati kopi.”

Di Rumah, Sungguminasa. 9 Agustus 2017.

Referensi :

Creutzberg, Pieter dan J.T.M. van Laanen.  1987. Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Khoironi, Fidagta. 2009. Ekspresi Keragaman Komunitas Warung Kopi (Analisis Pecinta Warung Kopi ‘Blondongan’ di Yogyakarta). Skripsi.Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Ridwan, Muhamamd. 2016. Komunitas Baristahood di Makassar (2009-2015) Skripsi. Makassar: Universitas Negeri Makassar.

Widjaja, Rudy. 2014. Warung Tinggi Coffee: Kopi Legendaris Tertua di Indonesia, Sejak 1878. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *