Dua tahun lalu penulis diminta seseorang untuk menulis tentang refleksi kemerdekaan Indonesia. Saat itu, mereka hendak menyusun buku 70 Tahun Indonesia Merdeka. Penulis melihatnya dalam perspektif lingkungan hidup.
Tesis yang dikemukakan adalah dokumen kemerdekaan Indonesia tidak memasukkan perspektif ekologis secara spesifik. Semua statemen tujuan negara hanya bersifat politik, ekonomi, dan sosial. Nanti setelah direnungkan dan dimaknai lebih mendalam baharulah dapat dijumpai bahwa dengan melaksanakan amanat kemerdekaan secara sungguh-sungguh, aspek lingkungan hidup dapat dipandang inhern pada tujuan negara itu.
Mungkin hal itu disebabkan oleh belum populernya isu ekologis dalam diskursus politik kenegaraan. Seperti diketahui bahwa kesadaran antar bangsa mengenai penting dan mendesaknya perhatian pada kelestarian lingkungan barulah tercetus pada 5 Juni 1972. Bermula dari Stockholm, Swedia, itulah sebagian besar negara di dunia sepakat untuk mempertimbangkan perkara ekologi sebagai faktor utama dalam pengambilan kebijakan publik dan perencanaan pembangunan resmi negara.
Momentum yang disebut di atas selanjutnya dikenal dengan nama Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Bergulirnya isu ekologis mendorong berbagai negara untuk menyepakati perlunya komitmen untuk memastikan sumber daya alam tidak sampai langka, apalagi punah, karena tuntutan pembangunan. Konsep ini kelak dikenal dengan nama Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable development).
Kesadaran semacam ini belum menempati alam pikiran para perumus bangsa. Oleh sebab itu, seolah negara ini lupa memberi perhatian khusus kepada sektor ini sejak awal kemerdekaan. Dua puluh lima tahun kemudian, misi asing mulai terasa. Kemerdekaan politik mulai terusik. Misai politik seorang Soekarno mulai mendeteksi tentang adanya potensi kembalinya penjajahan. Ia rumuskan dalam slogan dan teriakan “anti nekolim” secara sangat fasih.
Sektor manakah yang sesungguhnya paling terjajah dan paling dapat disebut sebagai indikator keterjajahan baru di tanah Indonesia merdeka ini? Lingkungan hidup! Kegalauan utama kaum kolonial dan imperialis Barat usai lepasnya banyak negara dari pendudukan politik adalah penguasaan sektor Sumber Daya Alam (SDA).
Industrinya harus selalu hidup dan berproduksi. Urat nadi industrinya ada pada keterpenuhan bahan baku. Semua itu berada di wilayah bekas pendudukan. Cara paling masuk akal adalah mengambil alih otoritas pengelolaan. John Perkins membantu kita untuk menelisik cara penguasa industri dunia itu untuk dapat menguasai SDA di berbagai tempat. Melalui lobi ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Menjerat negara itu dengan pinjaman luar negeri. Kepala negara yang kepala batu, akan disingkirkan dengan berbagai cara. Soekarno diduga masuk dalam operasi ini. Apa sebabnya? Soekarno mengambil kebijakan pembenahan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan mendidik ratusan calon tenaga ahli di berbagai sektor untuk keperluan pembangunan infrastruktur tadi. Begitu juga dengan pengelolaan SDA. Harapannya bahwa tidak lebih dari sepuluh tahun kemudian, negara ini benar-benar akan mandiri.
Apa lacur? Di ujung kekuasaannya, umbul-umbul dan spanduk selamat datang buat modal asing dipasang di jantung kekuasaan Orde Baru oleh Soeharto. Belum lagi Soekarno mangkat, kekayaan alam di tanah Papua pun menjadi SDA pertama yang siap diangkut ke luar negeri. Jangka waktunya pun puluhan tahun. Apa artinya? Selama puluhan tahun pemerintah tak memiliki otoritas eksploitasi hulu atas tambang di Tembaga Pura. Tak hanya itu, bahkan secara politis pun namanya lalu diubah menjadi Freeport. Mendengar namanya saja, penguasa kontraknya sudah bebas mengangkut dan memindahkan isi perut bumi di lahan perawan itu.
Usai kejatuhan Tembaga Pura, satu persatu lingkungan alami kita diubah menjadi lingkungan binaan secara serempangan. Dalihnya adalah pembangunan. Pelakunya adalah korporasi asuhan pemilik modal asing yang kurang mengerti bagaimana setting dasar negara ini.
Pemerintah wajib diam. Insentif sudah diberikan. Konsesi bisnis sudah cair. Perlahan-lahan efek ekologis pun muncul. Tak semaju pembangunan politik, derajat kesejahteraan rakyat mulai dikeluhkan. Separatisme mulai muncul. Aceh dan Papua mulai meradang. Bagi penguasa, ini adalah konspirasi politik murni. Isu SDA tidak terbaca di balik ini. Tempat berlindungnya juga kepada para pelaku eksploitasi itu sendiri. Ironis! Sebuah konsekuensi kelemahan intelektual para penyelenggara politik republik ini.
Ketika suasana bumi kian panas, politisi dunia mulai mengangkat isu pemanasan global. Melalui berbagai putaran perundingan mulai dari yang setingkat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) hingga pertemuan terbatas beberapa negara dihasilkan sejumlah kesepakatan, berbagai protokol, hingga komitmen dunia dalam bentuk kerjasama antar pihak.
Di manakah posisi kedaulatan ekologis dalam berbagai perjanjian itu? Ia berada dalam ketiak kapitalis asing yang berlindung pada tembok perjanjian kontrak industrial. Semua masih dianggap normal. Seakan-akan semesta Indonesia ini masih perawan seperti era Vereeniging Oost Indische Compagnie (VOC). Anggapan itu menguasai alam pikiran pemimpin bangsa serta pelaku ekonomi tatkala hutan Sumatera sudah cenderung menggurun, hutan Kalimantan sudah meninggalkan kubangan bekas tambang yang mengerikan, begitu juga di Papua dan Nusa Tenggara. Jangan tanya lagi suasana Jawa! Lautan mulai menjadi kental bahan pencemar. Berbagai biota perairan menuju pintu kelangkaan. Semua itu masih akibat wajar dari penjajahan jilid dua.
Kemerdekaan ekologis menjadi agenda besar bangsa ini. Aba-aba krisis energi sudah lama diperdengarkan. Sudah lama para pemegang otoritas politik negara ini juga tahu bahwa perlu antisipasi atas persoalan ini. Apa yang terjadi? Justru di gerbang reformasilah regulasi SDA vital diserahkan kepada drakula ekologi. Regulasi itu bernama privatisasi. Suatu yang amat bertentangan dengan jiwa kemerdekaan bangsa ini; sosialisme.
Baca ulanglah secara cermat diksi preambule UUD 1945 bahkan batang tubuhnya! Pasal mana yang tidak sosialistik atau alinea mana yang membenarkan kepemilikan otoritas privat untuk menguasai hajat hidup orang banyak? Sektor ekologi semuanya dipasrahkan kepada penguasaan untuk sebesar-besar kemakmuran bersama, bukan separuh pemodal.
Walau Muhammadiyah dan elemen lain sudah berhasil menggugat beberapa regulasi itu, namun menurut penulis, bencana ekologi masih sangat besar. Bencana itu dikandung oleh cara pandang tentang energi.
Di alam ini tersedia energi. Berdasarkan prinsip pokok ilmu lingkungan, energi harus dikembalikan kepada asasnya semula. Energi tidak dapat diciptakan dan tidak juga dapat dimusnahkan. Ia hanya dapat diubah dari bentuk satu ke bentuk lainnya. Berarti energi itu sesungguhnya tidak patut langka. Apa sebabnya? Alam telah menyediakan bahan yang berlimpah untuk diolah dan diubah bentuknya sehingga menghasilkan energi baru. Peruntukan energi-energi tersebut akan menentukan skala eksplorasinya dari alam terbuka.
Sayangnya, alam pikiran pelaku politik dan pengelola negara masih menganggap bahwa energi yang dimaksud hanyalah yang bersumber dari fosil di perut bumi. Ketergantungan terhadap minyak dan gas bumi sangat terasa. Berangkat dari cetakan cara pandangnya sudah salah. Bagaimana mungkin ancaman krisis energi dapat diatasi? Di sinilah bencananya itu!
Para akademisi dan peneliti bukan tidak memberi jalan keluar. Dua puluh tahun lalu, biota tropis sudah bisa disulap menjadi energi baru. Begitu juga sinar surya yang tersedia sepanjang tahun, gelombang laut yang tiada taranya, bahkan angin di pulau-pulau kecil pun bisa menjadi pilihan sumber energi.
Bencana semacam ini muncul dari kegiatan penjajahan baru. Dominasi alam pikiran berwarna fosil bukan suati yang tanpa desain. Ia lahir dari setting penguasaan SDA dengan laku politik yang amat kental. Siapa yang berpikir mandiri dalam bidang energi harus bersiap tersingkir. Kengerian inilah yang membayang sehingga energi baru dan terbarukan sangat telat dipertimbangkan. Memang benar-benar harus menunggu isi perut alam Indonesia ini laksana kain kering yang tak dapat lagi diperas, baharulah semua pihak akan melirik energi lain. Itupun, harus dicatat bahwa ahli-ahli yang akan memainkan peran itu harus melibatkan pelaku industri global.
Pada ujung perjalanan cerita ini, marilah pakai kacamata atau teropong ekologi untuk melihat betapa kita tidak merdeka di sektor ini sejak puluhan tahun lalu. Mungkin juga dapat dikatakan bahwa di sektor ini kita belum pernah merdeka.
Geliat perlawanan sedikit muncul dua tahun terakhir. Namun demikian, sudah sangat kompleks persoalan yang harus diurai. Tidak gampang untuk meyakinkan bahwa justru di sektor ini para politisi yang sedang bertikai dapat mengambil titik tolak bersama agar pada perayaan hari kemerdekaan yang keseratus kita sudah dapat berbicara lain. Berbicara kemerdekaan ekologis secara lantang. Dan hanya Dialah Yang Mahatahu.
Sumber gambar: http://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2013/03/bangka_gallery01.jpg
Lahir di Kasambang, 19-04-1973. Doktor Kajian Multidisiplin Ilmu Lingkungan. Ketua Umum PB HMI MPO 2001-2003. Dosen Universitas Paramadina Jakarta. Penulis buku: HMI dan Wacana Revolusi Sosial (2003), Demi Cita-cita HMI; Catatan Ringkas Perlawanan Kader dan Alumni HMI Terhadap Rezim Orba (2003), Demokrasi dalam Cengkraman Orde Baru (2004), dan Strategi Kebudayaan dan Kesadaran Ekologi (naskah siap terbit). Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Madinatul Ilmi (STAIMI) Depok, Jawa Barat, Periode 2020-2023. Kiwari, beliau Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Syarikat Islam 2021-2026.