Mengapa Mesti ada Pertanyaan Filosofi?

Bagi sebagian orang, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh kalangan filosof dianggap menakutkan atau mereka menganggap, pertanyaan-pertanyaan filsafat adalah pertanyaan-pertanyaan yang melelahkan dan bahkan sia-sia. Bukankah sia-sia jika kita bertanya sesuatu yang ada padahal kita telah meyakini bahwa sesuatu itu benar-benar ada?

Jadi tentu tidak mengherankan jika pertanyaan dari filsuf hanya akan membuat dirinya bermasalah bahkan membuat jiwanya terancam. Boleh jadi terbunuhnya Sokrates justru disebabkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya sebab pertanyaan-pertanyaan Sokrates adalah pertanyaan-pertanyaan yang menakutkan, melelahkan, dan bahkan sia-sia. Jika pada saat itu Sokrates tidak memaparkan pertanyaan-pertanyaan filosofi, tentu tak akan membuat dirinya terpenjara, tak akan mengusik keyakinan mayoritas masyarakat pada waktu itu, dan bahkan tidak akan membuat dirinya terbunuh.

Jika memang demikian, pertanyaannya, mengapa mesti ada pertanyaan-pertanyaan filsafat? Bukankah pertanyaan filsafat hanya akan membuat kita tidak tenang dan hanya memberikan kebingungan-kebingungan? Tidakkah lebih baik jika orang-orang hidup dengan tenang dan tak perlu dicemaskan dengan pertanyaan-pertanyaan itu sehingga mereka lebih leluasa menjalani kehidupan keseharian mereka? Bukankah lebih baik jika kita menjauhkan diri dari pertanyaan-pertanyaan mendalam dan melelahkan? Lebih baik kita meninggalkan segala jenis bentuk pertanyaan yang mengajak kita tafakkur dan merenung?

Padahal pertanyaan-pertanyaan seperti itu telah ada sejak dahulu, saat pemikiran filsafat sudah mulai dituliskan. Jadi lari dari persoalan filsafat tidak terjadi pada saat ini saja. Pada setiap masa sejarah pemikiran selalu ada orang-orang yang ingin lari dari persoalan filsafat. Jadi kita tak perlu heran atas fenomena seperti ini. Namun anehnya, sebagian pertanyaan-pertanyaan yang menakutkan itu pernah diutarakan oleh anak-anak kita, bahkan boleh jadi pertanyaan-pertanyaan itu pernah kita paparkan sendiri, entah saat kita masih kanak-kanak atau setelah kita beranjak dewasa.

Namun benar, tidak setiap orang mampu meluangkan waktunya untuk bertanya lebih dalam. Setiap orang memiliki standar sendiri dalam memaknai sesuatu. Dan kita mesti memaklumi jika ada orang yang sudah terpuaskan dari jawaban-jawaban yang telah ada dan tak perlu bertanya lebih dalam lagi. Begitu pun sebaliknya, kita pun harus memaklumi jika ada orang yang mempertanyakan segala hal dan berusaha berfikir lebih dalam lagi. Sebab mereka mencari makna-makna yang tak tersingkap dan dengan makna-makna itulah mereka memperoleh nafas dan kehidupan yang baru.

Filsafat senantiasa berbicara dalam konteks kekinian dan hari ini. Dan hal yang menarik karena sejarah ditulis dengan bahasa filsafat; yakni menjelaskan dan menguak kebenaran-kebenaran yang tersembunyi di balik sejarah tersebut. Karena sejarah tak pernah puas pada peristiwa yang terjadi namun mencoba menerangkan rahasia-rahasia yang ada di balik peristiwa tersebut. Jadi tugas filsafat adalah mencoba mengeluarkan kita dari rumah-rumah kejumudan sehingga kita berani membuka pintu rumah tafakkur di dalam diri kita.

Namun salah satu karakteristik penting dalam persoalan filsafat adalah mencoba menghubungkan antara awal dan akhir, antara bab pertama dan bab-bab selanjutnya, dan atau menghubungkan di antara episode-episode kehidupan kita. Apalagi tak ada seorang pun yang tidak memikirkan relasi atau keterhubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Walau demikian, kebanyakan orang hanya mampu memikirkan apa yang orang-orang pada umumnya pikirkan dan tak mampu memikirkan apa yang orang-orang umumnya tidak pikirkan dan bahkan mereka sama sekali tak memiliki ketertarikan. Orang-orang seperti ini asing dan terasing dari persoalan filsafat dan akan menentang orang-orang yang berpikir dalam persoalan eksistensi.

Tapi perlu diketahui, manusia tak pernah kenyang dengan penglihatan sebagaimana nalar kita tak pernah puas dengan pendengaran. Nalar manusia tak pernah berhenti untuk bertanya sebagaimana telinga kita tak pernah bosan untuk mendengar. Mental atau benak kita selalu bertanya terhadap konsep-konsep atau pemahaman-pemahaman yang selalu kita jaga di benak kita. Persoalannya adalah seberapa jauh kita mengijinkan kepada diri kita sendiri untuk bertanya lebih jauh dan apakah kita benar-benar berani dan jujur untuk bertanya tentang realitas?

sumber gambar: pixabay.com

  • Entah pendengarannya seorang kisanak kurang jelas, atau kata-kata saya tak tangkas, sehingga ajakan saya ke satu hajatan disalah-pahami. Betapa tidak, Gusdurian menghelat haul Gus Dur, dia tangkap sebagai acara makan durian, terlebih lagi bakal minum jus durian. Mungkin kata Gusdurian menjadi biangnya. Apalagi sudah masuk musim durian. Sesarinya, hajatan haul Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid,…

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221