Minggu pagi adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh kami, kaum anak-anak. Tetapi bisa pula menjadi hari yang sebaliknya, dihindari. Ia akan dinanti-nanti jikalau hari itu diisi dengan rencana berenang di danau yang tak jauh dari rumah. Sebaliknya, menjadi hari yang akan terasa membosankan manakala Bapak menggaungkan harus bekerja bakti di halaman rumah beberapa hari sebelumnya. Begitulah kami, anak-anak usia awal belasan tahun yang tentu saja akan lebih menikmati berenang daripada bekerja. Sebuah pilihan yang wajar. Bersenang-senang tanpa keharusan bekerja selalu lebih menyenangkan di mana pun dalam kehidupan kanak-kanak.
Kala hari yang dinanti tiba, suasana pagi serasa lebih semarak dan semangat. Kami bangun sendiri tanpa perlu alarm pengingat. Seusai sholat Subuh kami segera membereskan rumah seadanya dengan sedikit tergesa-gesa. Seolah khawatir air danau akan mengering jika tidak segera kami temui. Lalu berhamburanlah kami, empat bersaudara tambah Bapak sebagai pemimpin dan pelatih kami. Ada yang membawa ban besar, pelampung karet, dan handuk. Meskipun di sekolah ada guru olahraga yang juga mengajari renang, tetapi Bapak tetap berperan penting dalam melatih kami berenang sesekali. Walaupun hanya terbatas pada dua gaya saja, gaya katak dan gaya punggung.
Kata orang-orang yang mengenal Sorowako dan danaunya, berenang sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Bahkan ada yang hampir setiap sore berlatih renang di sana. Kesempatan kami hanya terbatas pada saat libur saja, karena masih harus disibukkan dengan urusan pekerjaan rumah tangga dan kerja-kerja tambahan lainnya. Karena tak mempekerjakan tukang kebun, maka kamilah anak-anak yang menggantikan peran mereka. Lumayan bisa menghemat anggaran pengeluaran keluarga.
Tahun-tahun yang telah berlalu tak akan pernah kembali lagi, sekuat apa pun ingatan menariknya. Begitu pula dengan pilihan peristiwa yang kita inginkan. Duka, kesedihan, kesengsaraan sudah pasti hadir di setiap sudut kehidupan. Karena ia adalah pasangan kegembiraan. Tetapi pilihan untuk tetap bahagia adalah tantangan tersendiri.
Tak satu pun anak menginginkan kenangan buruk atas kehidupan masa kecilnya. Tetapi apakah mereka dapat memilih? Yang bisa kita berikan bukanlah momen-momen terbaik, melainkan respons atau reaksi terbaiklah yang mampu kita persembahkan. Kita tak dapat menolak kondisi kesulitan keuangan ketika mereka kecil, tetapi mengajari dan melatih mereka untuk hidup di tengah kondisi serba sulit itulah pelajaran yang mahal.
Bahkan kita pun tak dapat menolak keterpisahan kedua orangtua pada anak-anak, tetapi mengajarinya sikap yang benar dan bijak itulah tantangan paling berharga. Bagaimana bisa tetap mencintai kebenaran dan kesetiaan, menolak pengkhianatan dan ketidakjujuran. Tetapi di sisi yang lain tetap menaruh penghargaan yang tinggi pada kejujuran, kesetiaan, dan pengkhidmatan.
Sebuah kebahagiaan terbesar bila mampu melalui rintangan-rintangan masalah, mengurai lilitan pengikat hingga berhasil keluar dari ceruk kesulitan. Siapa pun akan sangat berterima kasih dan bersyukur atas kondisi akhir yang mampu diraih.
Momen kebersamaan walaupun sederhana bisa menjadi perekat kerenggangan akibat kesibukan masing-masing. Tak jadi soal bentuknya seperti apa. Dulu kami melakukannya dalam bentuk kegiatan berenang bersama, atau sesekali berkebun membersihkan rumput-rumput liar yang mengganggu keindahan rumput gajah. Sekali waktu jika kekompakan kami tiba-tiba bangkit, Bapak akan meraih gitarnya, mulai memetik senarnya satu satu sebagai pancingan buat yang lain, saya bermain pianika elektrik, adik saya yang nomor tiga bermain rekorder. Saudarar-saudara yang lain spontan bernyanyi walau berbekal vokal yang pas-pasan.
Kami sadar bukan keluarga yang sepi dari persoalan sehari-hari. Tetapi kami memilih untuk mencari bahagia dengan cara berbeda. Persoalan hidup tetap ada, bahkan semakin beragam dari waktu ke waktu, tetapi kekompakan dan kebersamaan menjadi modal penting mengarungi banyak kesulitan yang menghadang di sepanjang perjalanan. Kami ingin menjemput bahagia, bukan hanya diam menanti rasa itu datang menghampiri.
Pegiat literasi dan parenting di Paradigma Institute. Telah menulis buku “Dari Rumah untuk Dunia” (2013) dan “Metamorfosis Ibu” (2018).