“Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu // Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu // Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu // Dipaksa pecahkan karang lemas jarimu terkepal.” (Iwan Fals, Sore Tugu Pancoran).
Si bulan Agustuslah pemicunya. Pada Agustus kali ini, benar-benar memahatkan rasa bersalah, pada dinding ingatan dan batin saya. Sebab, entah sudah berapa lama, saya tidak ingat persis lagi, kapan peristiwa sebenarnya, yang pasti sudah tahunan berlalu. Kala itu, seorang kawan facebook memposting beberapa gambar, dari seorang anak usia kelas VI SD, yang lagi membajak sawah. Sejatinya, anak itu bersekolah, namun sejak bapaknya berpulang pada keabadian, ia langsung berhenti sekolah, karena menggantikan ayahnya di sawah.
Kontan saja postingan itu menuai banyak tanggapan. Para aktivis pemberdayaan anak langsung bereaksi, bersahut-sahutan kritikannya di media sosial. Orang banyak pun demikian. Ada yang menyalahkan pemerintah, yang menurutnya abai mengurus nasib si anak. Di atas segalanya, hanyalah saling menyalahkan. Saya termasuk yang tidak ikut berkomentar, tetapi berusaha bersua dengannya. Atas bantuan seorang kawan, sehingga berhasil jumpa dengan si Anak. Dan, saya menemuinya di tempat jualan ikan hias, yang dikelolanya atas bantuan salah seorang kerabatnya.
Putus sekolah. Itulah istilah yang paling tepat. Seolah membuktikan asumsi, bahwa anak-anak rawan putus sekolah, antara SD ke SMP. Sebagaimana dipendapatkan oleh penggerak Kelas Inspirasi, yang selalu membidik jenjang SD, terutama kelas 4,5, dan 6. Ada banyak penyebab putus sekolah, dan kasus di atas, hanyalah salah satu contoh saja.
Sebagai koordinator Kelas Inspirasi Kabupaten Bantaeng, yang sekaligus didapuk menjadi Koordinator Sulawesi Selatan, saya tak rela anak tersebut berhenti sekolah. Apatahlagi, tempat bersekolahnya Sang Anak, pernah disambangi oleh Kelas Inspirasi Bantaeng, periode pertama, sekira empat tahun lalu. Belakangan, saya sering memanggil anak itu dengan nama Agusmaradeka. Hanya saya dan dia yang tahu latarnya. Meski sekali waktu ia bertanya, “mengapa kakak memanggil saya, Agusmaradeka?” Spontan saja saya menyahut, “sebab dikau lahir pada bulan Agustus, bulan kemerdekaan negeri kita.”
Yah, Agusmaradeka. Meski spontan jawaban saya. Tapi, sesungguhnya ada latarnya. Selain dari bulan Agustus sebagai bulan kemerdekaan, pun saya coba menjiplak gaya sanak di kampung, yang kadang dalam memberikan nama pada anaknya, bertolak pada hari atau bulan kelahiran, juga bila ada peristiwa garib yang menandainya. Sebagai misal, anak lahir di hari Kamis, maka namanya Kammisi, Senin sama dengan Sanneng, Selasa mewujud Salassa, Jumat merupa Juma’, Sabtu pastilah Sattu.Jadi, Agusmaradeka, sesarinya adalah Agus merujuk pada bulan Agustus, sementara maradeka, maknanya, merdeka. Maka Agusmaradeka, saya maksudkan anak yang merdeka di bulan Agustus.
Bujukan dan rayuan maut saya sudah lilitkan padanya, namun tetaplah ia memutuskan untuk tidak bersekolah. Motivasi yang saya dedahkan, bagai motivator ulung, gagal total menariknya untuk kembali bersekolah. Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak mengajaknya lagi, tapi menjanjikan sekaligus berupaya – dengan bantuan kawan-kawan—agar ia bisa ikut ujian, buat mendapatkan ijazah. Hasilnya, simpang siur, menurut kepala sekolahnya, ia tidak ikut ujian, tetapi, kala saya bersua dengannya, ia mengaku ikut ujian.
Padahal, saya sudah menjanjikan beasiswa. Dan, berhasil mencarikan donaturnya. Tiada lain, seorang senior saya, sekaligus karib saya. Ia sudah menyediakan dananya, antara 150-200 ribu perbulan.Bahkan, untuk jatah beberapa bulan sudah saya dapatkan. Namun, sang anak tetap tak mau bersekolah. Tibalah pada pucuk penyikapan saya, mungkin saatnya memberlakukan asumsi-asumsi revolusioner dalam pendidikan, bahwa sekolah itu candu, sekolah itu penjara, bebas dari sekolah, dan lain sebagainya.
Sejak saat itu, saya berusaha menemuinya setiap kali punya kesempatan. Di tempat jualannya, saya biasa duduk berbincang hingga ratusan menit. Menggali suka duka jualannya, yang terkadang diusik oleh Satpol PP, karena dianggap mengganggu trotoar. Walau satu hal yang saya bisa pastikan, ia tidak malu menjalani aktivitas jualan itu. Sebab, menurutnya, dengan cara itulah ia ingin mengurangi beban keluarganya. Rupanya, ia terobsesi untuk mengganti Sang Bapak.
Dari persamuhan yang intens, saya lalu menemukan jalan keluar. Selaku pegiat literasi, bakal membawakan beberapa buku bacaan. Maka berjanjilah saya, pada persuaan berikutnya, saya akan pinjamkan beberapa buku. Ia amat setuju. Senyum sumringah berpendar di raut mukanya. Tapi, apa lacur. Pertemuan yang saya idamkan berikutnya, tak pernah terwujud. Ia berhenti menjual ikan hias, beralih ke jenis pekerjaan lain. Dari urita yang saya peroleh, sepertinya ia ikut pada tukang bangunan. Menjadilah ia buruh bangunan. Batin saya terkilir, anak sekecil itu berkelahi dengan waktu. Memangsa waktu dengan menjadi kuli.
Seharusnya ia memegang pena, membuka-buka buku, menulis, membaca, seperti galibnya orang sekolahan. Tapi kini, yang dia pegang hanyalah sekop, menyusun batu merah, mencampur aduk semen-pasir buat adonan perekat tembok. Dia kini menjadi buruh bangunan. Rona mukanya pasti berbedakkan semen. Tangannya akan kasar seperti mata parut kelapa. Dan, saya bakal merasakan gerigi telapak tangannya kala berjabat tangan. Jika jumpa nantinya.
Tibalah bulan Agustus, bulan kemerdekaan negeri tahun ini, bulannya Agusmaradeka. Saya pun belum sua jua. Saya cobalah menandangi satu persatu kerumunan anak-anak sebayanya, pada jelang hingga acara puncak Tujuh Belas Agustus. Ada lomba lari karung, tarik tambang, makan kerupuk, lari sendok-kelereng, dllnya. Saya tak menemukannya, sampai semua ritus peringatan hari kemerdekaan ala anak-anak usai.
Sehari kemudian, pada sorenya, tanpa sengaja saya menemukan Agusmaradeka di salah satu sudut kota. Ia baru saja keluar dari kompleks ruko yang sementara dibangun. Salah satu bangunan yang telah menonjol ketinggiannya, dengan sebatang bambu, yang masih menjadi bagian peralatan bangunan, bendera Merah Putih berkibar dengan gagah. Dan, di pintu gerbang masuk-keluar kompleks ruko itu, terpajang baliho besar, menampangkan salah seorang calon kepala daerah, dengan kepalan tangannya, berujar, “Siap melanjutkan pembangunan, meningkatkan kecerdasan rakyat, membuka lapangan kerja.”
Agusmaradeka, ternyata dikau masih berkelahi dengan waktu, seperti penggalan lirik lagu Iwan Fals yang berjudul, “ SoreTugu Pancoran”. Dikau memangsa waktu yang tidak sedikit, kepalkan tanganmu, tinjukan pada baliho yang menantangmu itu, yang katanya ingin mencerdaskanmu, memberimu lapangan kerja. Hei, Agusmaradeka, saya masih menyimpan buku-buku yang saya janjikan itu, buat kau baca. Belum tunai rasanya janji saya tempo waktu. Begitu juga uang dari donatur, 450 ribu, masih utuh. Beberapa buku dan uang, hanya tertunda sampainya padamu. Agusmaradeka, adakah dikau merdeka untuk menerima janji yang nirtunai?
Sumber gambar: http://www.bisnisaceh.com/images/web/anak-india.jpg
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.