Incognito : Koboi Kembara
Aku berjalan berjejalan ditemani luka-luka laki-laki yang telah diperam kelam terungku kala bertamu diiringi bunyi-bunyi ledak.
Aku menyamar jadi memar usai terjerembap menyusun bunyi sunyi hujan bulan untuk ditadah wadah berupa sedepa ember Desember.
Aku bercerita berita hampar sampar melintang kencang menaungi remaja hingga raja tanpa menggubris lukis dinding pening bencana tak terduga.
Aku lelah membelah maut kalut mencari kilat cerawat guna terang pematang sebab belukar dan akar memuji ramah tanah penerima derma.
Aku terbang menyerang dahan cemara utara yang kerap berharap pagi kembali guna dijelma suguhan perjamuan jelang diserang siang.
Aku melihat kelebat punggung burung memikul bakul penyokong kelana merana di bentang padang pasir benua tertua.
Aku mendengar senar dipetik lentik tangan kenangan pada pertunjukan dadakan menyambut dentang serta kembang api tersepi.
Aku larut berlutut bertaruh keruh sisa-sisa keberanian bajingan tanpa tunggangan dan kelaparan lagi kedinginan meminta tumpangan menuju tujuan.
Aku terdampar gelepar menjatuhkan kejantanan, jelaskan pengembaraan untuk pelana yang bertanya kudaku ke mana.
(Makassar, Januari 2017)
—
Pertempuran dan Insomnia
Untuk mengetahui perincian cara terjaga
mata perlu menerka takaran kadar kafein
sebelum dinding kamar menyempatkan diri
menggambar ratusan domba lari dari peternakan
Aku terbaring dan membayangkan pertempuran
singgah di sebuah benteng paling sunyi
menyalakan rahim-rahim sengat api
ritus abadi kaum penyembah laras senapan
Ngeri, bau anyir keringat ditimpali luka segar
doa-doa keselamatan lupa terucap sebelum tidur
udara meniup ilusi berwarna hijau teras rumah
saat dada disumpal kata-kata umpatan
Memejamkan tatap seperti seorang peziarah
yang tersesat saat kehilangan rumah ibadah
mungkin engkau tahu caraku kembali
sementara astralku mengembara di garis depan
(Makassar, Februari 2017)
—
Pawai Semut Api
(catatan setelah mendengar lagu Mastodon)
Berjagalah di selasar pintu rumah sepanjang malam
sebelum kesedihan bertamu terlalu dini
dan kami bertepuk tangan tanpa pesta,
setelah mengukur luas sekujur tubuh hangus
yang rela menampung relief pertempuran
kami akan bergegas mencari sarang baru
Bernyanyilah di batas kota para terusir
sebelum mereka kian pandai gugur dari ingatan
dan kami menggambar persimpangan di kulit,
setelah berkelakar tentang kamar-kamar temaram
yang lupa dipasangkan pintu keluar
kami akan begadang merayakan tibanya maut
Bertanyalah di satu hari musim kemarau
sebelum sungai menguap jengkal demi jengkal
dan kami menunggu matahari setubuhi bentang aspal,
setelah pematang hijau minggat dari semayam
yang keguguran benih bakal humus
kami akan pulang ke hutan merawat luka gigitan
(Makassar, Februari 2017)
—
Anawangguluri
Usaha menyangkal makna kepulanganmu
menuju kahyangan, menuju kamar-kamar gaib
yang letaknya tak pernah diajarkan oleh guruku
sebab dongeng selalu mengantarku
menuju lembah paling sunyi bernama pipi
Aku kalah duluan sebelum berangkat mencari
sebab ranjangmu tetap satu-satunya yang basah
meski dia bergantung di langit kota ini
(Makassar, Maret 2017)
Catatan : Anawangguluri adalah nama tokoh bidadari dalam salah satu cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara.
—
Menunaikan Pesan Ibu
Ibuku berkata “sesekali keluarlah menangisi dunia”
Maka kusesatkan diriku di antara Tigris dan Eufrat
mengajarkan cara bersembunyi setelah berlari
sebab bendera hitam selalu berarti maut
diikuti ambruknya barisan apartemen di tengah kota
Di lain hari, kutenggelamkan ujudku di laut Mediteran
mendengar kecipak ombak menghantam lambung kapal
pelayaran tanpa pelampung bermuatan tubuh menggigil
hanya ada buntal satu pertanyaan : “di mana daratan?”
Sesekali kukunjungi nisan-nisan di garis depan
istirahat abadi setelah bercinta dengan senapan
nama-nama dari negeri asing lengkapi kalimat perintah
nasib kini mudah ditebak, pertempuran tanpa aba-aba
Rombongan terakhir akan tiba di seberang pagar kawat
setelah Balkan mengaku kehabisan taman untuk ditinggali
pawai terpanjang sepanjang sejarah, aku jadi pemandunya
ikut ditempa tongkat baton dan pesta gas air mata
Ibuku berkata “sesekali keluarlah menangisi dunia”
Petaku berwarna senjakala, tiap pijak jadi luka yang baru
(Makassar, Maret 2017)
—
Jaga Malam
Menilik keramaian, kudapati diriku membaur dan menghitung satu demi satu helai rambut yang jatuh
Pernah sekali raut wajah malam menggenapkan jengkal demi jengkal tanah paling kering
tempatmu tersesat, sebab doa-doa pengantar tidur gugur sebagian, juntai dari sepotong bibir
milikmu, sebab musabab musim pembawa basah ingin bertanya persinggahan, memisah nama hari
kelahiran yang lupa memberimu petunjuk menyimpan ucapan terima kasih terpanjang untuk kau tulis
Salinan tulisan ini bukan puisi penenang keributan, atau bersendok-sendok gula beku di dadamu
Jangan sandingkan dengan kidung kudus dalam gumam para penjaga perbatasan sebuah negara
penganut agama prasangka buruk, kita terlalu sibuk dengan televisi dan wajah-wajah yang
selalu menghukum kegembiraan, sesekali tanyalah resep hidangan makan malam atau meminta dibuatkan bait-bait lagu cinta
karena hanya hal-hal itu yang sanggup menjebak tawa setelah seharian berkeliaran di keringnya mata
(Makassar, Maret 2017)
—
Pewarta Kitab Perang
Malam ini aku mendadak pelan berdoa
dan mendengar candaan paling asing
silih berganti meminta izin untuk dekam
di telingaku yang menjejalkan suara khutbah
Aku terlalu sering kehilangan jawaban
padahal sudah kutelan bulat-bulat firman ganjil
penuntun domba kelaparan menuju bilik penjagalan
tidak ada ampunan paling sendu selain asahan parang
Ingin kusampaikan padamu bahwa merah ialah panji suci
berkibar dan tegang di tubuh-tubuh telanjang
melintasi garis depan menuju gunduk ratusan kuburan
agama paling waras sekali pun akan kehilangan namanya di sini
Setiap hari, dosa-dosa lahir dalam keadaan prematur
dipaksa berjalan di tanah lumpur bercampur amis nanah
kesedihan hakiki terwarta dalam kerlip mata sebelum padam
akan tiba masa di mana kita lupa cara berlari
Malam ini, aku berdoa terlalu terlalu pelan
mendoakan suami-suami yang jauh dari rumah
mendoakan pemuda-pemuda tanggung yang tak pernah merasakan cabikan pedang
mendoakan musuh-musah usai berpencar dalam suasana kabung
Aku akan berdoa di depan pintu pemakaman para martir tanpa nama :
terkubur bersama pasungannya
(Makassar, Maret 2017)
—
Tujuh Hari Dalam Seminggu
Jika Senin adalah hari memulai percintaan, maka aku akan berkuda begitu jauh dari semadiku. Sebab pertama-tama ingin kuantar potretmu menuju tebing kemudian langsung membuangnya. Aku tidak punya waktu untuk mengamati dan mengingat terlalu sedikit. Bertanya kabar hanya membuang waktu, membalas tidak selalu berarti bertukar pengertian.
Jika Selasa adalah hari libur, tidak ada cara lain untuk bersantai kecuali melipat banyak peta untuk kukantungi. Orang-orang boleh tersesat dan kurang pandai membaca tanda kehidupan lewat remah lumut di kulit pohon. Setiap perjalanan akan berakhir di sebuah persimpangan. Setelahnya aku berlayar menuju pulau tanpa nama untuk menemui musafir pertama yang mengembara karena patah hati.
Jika Rabu adalah hari kemerdekaan, maka akan kembali kubelenggu diriku di dalam rahim ibu. Sebab dunia kini lebih gila dari kisah kaum pertama melintasi bentang gurun dengan tubuh telanjang. Kebebasan hanya tulisan di tubuh dewi keadilan, noda campak dan selalu diatur luput dari amatan.
Jika Kamis adalah hari berkabung, anak-anakku akan membeli pakaian di sebuah butik di mana air mata dan ratapan menjadi alat pemintal cuaca. Warna hitam tidak lagi sakral, biru laut pindah menuju dinding-dinding kota tanpa kesenian. Aku menebak-nebak kenapa musik blues cocok mengiringi upacara pemakaman.
Jika Jumat adalah hari ibadah, menghindari khutbah adalah kejahatan termanis pada tahun-tahun ini. Rangkai kebencian menulari masa-masamu tumbuh dengan televisi layar datar. Setiap pertanyaan akan selalu berarti ledakan di sebuah halte bis. Sementara sanggahan tidak sanggup membawa beliaku mengerti masa-masa darurat.
Jika Sabtu adalah hari akhir, pesta paling meriah akan diadakan sebelum kiamat bertamu lupa permisi. Aku mendongeng kemarahan dewa-dewa menjelang Ragnarok dan Kurusetra. Rasa takut menegang lebih cepat daripada berita duka. Maka hadiah cokelat tidak laku, mencair dalam dekap rombongan penyesalan.
Jika Minggu adalah hari milikmu, ingin kugemakan lonceng-lonceng di pos jaga sebab engkau akan terlelap hingga siang berderik. Berjaga seperti prajurit tak menolongku mengingat ini jam berapa. Tunggu ini hari apa?
(Makassar, April 2017)
Keterangan gambar: Lukisan Heno Airlangga
sumber gambar: lelang-lukisanmaestro.blogspot.co.id
Achmad Hidayat Alsair. Lahir di Pomalaa, Sulawesi Tenggara, 15 Mei 1995. Mahasiswa tingkat akhir jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Hasanuddin, Makassar. Karyanya pernah dimuat di Fajar Makassar, Go Cakrawala Gowa, Rakyat Sultra, Lombok Post, Analisa Medan, Tanjungpinang Pos, Radar Surabaya, Litera, FloresSastra, NusantaraNews, WartaLambar, Sediksi, serta beberapa buku antologi puisi bersama. Yang terbaru, puisi-puisinya tergabung dalam buku antologi bersama Pesta Puisi Kopi Takengon 2016 “1550 MDPL”. Bisa dihubungi melalui sur-el ayatautum95@gmail.com.