Mengenang dan Mengaji Kembali Gagasan Cak Nur

Mengenang 12 tahun wafatnya Nurcholish Madjid

***

“Dengan membaca, mendengar atau mengaji gagasan Cak Nur, maka akan ada yang terselamatkan dari iman mereka”

[Goenawan  Mohammad_Pengantar Pintu-pintu menuju Tuhan]

***

Menulis tentang seorang tokoh tentulah bukan perkara mudah. Butuh pengetahuan yang cukup, kecermatan dan kegigihan untuk menuliskannya. Terutama bila sang tokoh tersebut adalah seorang pejuang, pemimpin panutan yang melintasi banyak zaman ataukah seorang pemikir yang gagasan-gagasannya menjadi kontroversial, digugat, dihujat di sana-sini. Lebih-lebih bila ketokohannya tersebut sudah mendekati mitos. Bisa dibayangkan bagaimana rumitnya. Beruntunglah karena tokoh yang hendak saya tuliskan ini belum sampai dimitoskan oleh orang-orang. Dan beruntungnya lagi, karena ketokohannnya juga sudah banyak dituliskan, dibicarakan oleh orang-orang; sejarah hidupnya, aktivitas-aktivitasnya sampai pada pikiran-pikirannya semasa hidup. Sehingga saya banyak terbantu karena itu.

Nurcholish Madjid, demikianlah namanya atau lebih dikenal dengan nama Cak Nur. Nama ini barangkali sudah tidak asing lagi terdengar. Terutama bagi mereka yang senang dengan wacana-wacana seperti kebebasan berpikir, islam liberal, pluralisme dan wacana-wacana lainnya yang sering dituduh sesat oleh kelompok-kelompok tertentu. Namanya seringkali dibicarakan, pemikirannya kerap jadi kutipan, gagasannya menjadi bahan perbincangan dan kegelisahannya yang khas dalam menempuh jalan kebenaran banyak dijadikan model oleh anak-anak muda Islam. Karena itulah saya menjadi tertarik untuk membaca dan menuliskan sedikit sejarah hidup dan pikiran-pikirannya.

Barangkali saya termasuk salah satu orang yang agak terlambat mengenal dan membaca pemikiran Cak Nur. Beberapa teman sekampus saya, jauh ketika masih sekolah dulu gagasan dan pemikiran Cak Nur sudah dibacanya. Seingat saya, pertama kali membaca dan bersentuhan dengan pemikirannya adalah ketika saya duduk di semester awal perkuliahan beberapa tahun silam. Waktu itu secara kebetulan saya iseng-iseng saja ikut pada seorang teman untuk mengikuti sebuah pelatihan salah satu organisasi mahasiswa untuk perekrutan kader atau anggota baru. Saat mengikuti pengkaderan itulah saya untuk pertama kali mendengar nama dan gagasan Cak Nur.

Sejak saat itulah saya mulai tertarik dengan sosok dan pemikirannya, bukan karena pemikirannya linear dengan disiplin akademik saya di kampus atau karena kebetulan saya salah satu kader di organisasi yang pernah dipimpinnya, tetapi karena ada banyak gagasannya yang terdengar “canggih” untuk ukuran pengetahuan saya dan itu tentu penting untuk mengangkat level pergaulan saya di lingkungan kampus. Semangat itulah yang menjadi motivasi awal saya untuk membaca dan mengenal beliau. Yah, sekadar untuk eksis, dan dibilang intelek. Tapi itu dulu, kira-kira 5 tahun yang lalu, sekarang tidak tentunya.

Hal pertama yang saya lakukan ketika selesai mengikuti perkaderan tersebut adalah berkelana ke toko buku mencari buku-buku yang berisi atau memuat gagasan dari Cak Nur. Pada waktu itu, seingat saya dengan uang yang pas-pasan, itupun setelah satu pasang sepatu melayang harus terjual. Akhirnya tiga buah buku dari Cak Nur pun saya dapatkan. “Islam Kemodernan, dan Keindonesiaan” (1988), “Islam, Doktrin, dan Peradaban” (1992), “Pintu pintu menuju Tuhan” (1994). Baru beberapa bulan kemudian buku yang lainnya ikut menyusul seperti “Tradisi Islam ; Peran dan fungsinya dalam pembangunan di Indonesia”, atau buku yang disuntingnya “Khazanah Intelektual Islam” dan lainnya. Sampai saat ini buku-buku tersebut masih tersusun rapi dalam lemari perpustakaan pribadi saya, tetapi  jangan dikira semua buku tersebut sudah saya khatami atau tamat membacanya. Itu terlalu berat dan agak rumit bagi saya untuk memahaminya dengan betul.

Hanya tema-tema besar dari gagasan Cak Nur yang sudah terdokumentasi dalam pikiran dan tertanam dalam keyakinan saya. Seperti misalnya, gagasan tentang  “Islam, Yes; Partai Islam, No”. Jargon ini sesungguhnya kalau kita kaji dengan cermat maka kita akan memukan dasar dari semangat jargon tersebut. Cak Nur pernah menjelaskan bahwa “Islam, Yes; Partai Islam, No” itu sebenarnya berangkat dari semangat monoteisme radikal atau paham tauhid yang mendasar, yang kemudian berimplikasi pada lahirnya desakralisasi, yaitu bahwa yang boleh disakralkan hanya Allah yang Maha Esa, selain dari itu tidak boleh disakralkan. Sehingga berbagai bentuk praktik pelembagaan agama (seperti partai politik atau negara yang berlabelkan agama) tidak perlu disakralkan. Bukan hanya itu, jauh sebelumnya kira-kira di awal tahun 70 an Cak Nur juga pernah menggagas sebuah konsep “Sekularisasi, Yes; Sekularisme, No” yang menuai gugatan dan protes dari berbagai kalangan. Gagasan ini sebenarnya juga adalah pengembangan dari semangat pembaharuan Islam dan pengembangan teologi inklusif yang dibangunnya. Dan bagi saya gagasan tersebut adalah gagasan yang coba untuk menafsirkan teks islam secara proporsional, tidak memaksakan untuk mencampur baurkan satu dengan lainnya. Mana yang zhanni (boleh disekularisasikan), dan mana yang qath”i (tidak boleh diganggu gugat).

Ringkasnya, dari interaksi dengan gagasan atau pemikiran Cak Nur, yang banyak orang menganggapnya sebagai gagasan yang sangat skriptual sekaligus liberal sebab gagasannya langsung bersumber pada teks qur’an, hadis dan khazanah islam klasik lain. Tetapi disaat yang sama kemudian beliau terjemahkan dengan interpretasi kritis dan progresif menggunakan perangkat rasionalitas. Hal inilah mengapa kita perlu untuk “mengaji” kembali mengenai gagasan dari Cak Nur tersebut.

Pada intinya, pergulatan Cak Nur yang tanpa lelah mengingatkan kita akan satu prinsip hidup mahapenting yaitu kejujuran dan keadilan—menyitir istilah Pram dalam bukunya; Bumi Manusia—adil dan jujurlah sejak dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Cak Nur sendiri telah mengamalkannya secara konsisten lewat praktek berpikir bebasnya dan keberpihakannya pada kaum marginal. Dia tidak mau menjadi munafik, seolah-olah paling suci, paling benar dan semacamnya. Dia memilih berontak dari pakem semacam itu. Cak Nur benci pada pikiran-pikiran munafik, yaitu pikiran-pikiran yang tidak berani memikirkan yang timbul dalam pikirannya, atau pikiran-pikiran yang pura-pura tidak tahu akan pikirannya sendiri. Sebab, hanya dengan kejujuran, dengan berpikir bebas, kita akan menemukan diri kita yang sebenarnya, menjadi manusia yang seutuhnya.

Ada begitu banyak gagasan Cak Nur yang terhadapnya barangkali kita hanya bisa menganggukkan kepala. Bukan karena kita setuju sepenuhnya tetapi, sebagai penghormatan atas gagasannya tersebut. Karena dari sekian banyak gagasannya tentu ada beberapa yang mungkin saja kita setujui tetapi ada pula yang tidak. Alasannya sederhana, karena setuju sepenuhnya dengan gagasannya adalah berarti bertentangan dengan prinsip relativitas kebenaran manusia yang didengungkan sendiri oleh Cak Nur.

Terakhir mengapa penting untuk kita “mengaji” kembali gagasan Cak Nur adalah agar supaya kelak dari pengajian itu akan lahir para “anak-anak intelektual” atau “anak-anak ideologis” dari Cak Nur yang kemudian nantinya akan menelurkan gagasan-gagasan baru yang lebih progresif dengan semangat inklusifitas dalam memahami dan memaknai islam dan bangsa.

Ilustrasi: https://roysamboja.deviantart.com/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *