Apa itu iman dan keberimanan? Bagi Kierkegaard, pertanyaan ini tak mungkin dijawab dengan nalar sebab iman dan keberimanan bukan dipahami, tapi dialami dan dikecap. Pengalaman dan mengalami akan memberikan citra yang berbeda daripada hanya sekadar mengetahui atau memahami. Keyakinan yang bertambah tak diperoleh dari pengetahuan yang bertambah, tapi diperoleh dari interaksi antara apa yang kita ketahui dengan yang kita alami. Buku-buku yang terus bertambah di rak-rak perpustakaan pribadi kita tak akan menambah keyakinan kita, sebab keyakinan tak diraih dari membaca tapi diraih dari pengalaman atas apa yang kita ketahui.
Kisah Nabi Ismail as dihadapan ayahnya Ibrahim as adalah puncak keyakinan atas apa yang dia pahami sebagai kepasrahan, penyerahan diri, dan pengorbanan. Pengetahuan selalu saja berjarak dengan pengalaman. Sebagian besar dari kita hanya tahu kepasrahan, penyerahan diri, pengorbanan, dan keberimanan, tapi tak pernah tahu seperti apa maknanya, sebab pengetahuan atau apa yang kita ketahui belum diperhadapkan dengan satu pengalaman.
Tak heran jika Kierkegaard mengatakan dalam bukunya “Concluding Unscientific Postscript”, “tak kan ada iman jika tak ada aspek membahayakan, iman adalah suatu titik paradoks antara gelora yang tak berkesudahan di dalam jiwa dengan ketidakyakinan . . . ”. Mengetahui Tuhan berbeda dengan mengalami dan merasakan kehadiran Tuhan. Kita memahami bahwa Tuhan hadir di dalam segala realitas termasuk di dalam diri kita namun kita tak pernah merasakan kehadiranNya. Kita tahu agama tapi tak punya pengalaman tentang keberagamaan. Bahkan boleh jadi kita tahu manusia dan kemanusiaan namun kita tak pernah merasakan derita kemanusiaan.
Keberimanan yang mampu menciptakan gelora terus menerus di dalam diri tak kan lagi memperhitungkan segalanya dengan perhitungan material dan perhitungan dengan nalar keseharian. Manusia akan memberikan seluruh raga dan jiwanya demi memberikan pertolongan kepada kekasih. Dia tak lagi mempertimbangkan keberadaan dirinya sebab segala hakikat dirinya hanya untuk kekasih. Kisah Nabi Ibrahim as adalah kisah gelora cinta yang hadir terus menerus dan tak berkesudahan di dalam dirinya. Dan pada akhirnya saat Tuhan menguji cinta Nabi Ibrahim as dengan mengurbankan anaknya, Nabi Ibrahim as menunjukkan kecintaannya yang begitu dalam kepada Ilahi. Benar kata Kierkegaard, “keniscayaan iman yang begitu menggelora di dalam diri adalah membiarkan diri dalam bahaya”.
Berdasarkan hal tersebut, Kierkegaard meyakini keberimanan tidak termasuk kategori pengetahuan. Iman bukan jenis pengetahuan sebab keberimanan bersandar pada hal yang paradoks. Kisah penyembelihan Nabi Ismail as adalah puncak paradoks karena tak sesuai dengan nalar dan juga tak sesuai dengan nurani dan moral, sebab penyembelihan manusia adalah bertentangan dengan nalar dan moral. Oleh sebab itu Tuhan mengganti Nabi Ismail as dengan seekor domba sebab Tuhan hanya ingin menguji seberapa besar cinta dan gelora yang hadir di dalam diri Nabi Ibrahim as.
Kurban secara bahasa bermakna mendekatkan diri. Ritual kurban yang kita laksanakan hari ini adalah untuk mendekatkan diri kepada Ilahi. Oleh sebab itu jika kita berkurban tapi tidak disertai dengan keikhlasan maka kurban kita tidak akan diterima, sebab yang naik disisi Tuhan bukan darah dan daging akan tetapi amal perbuatan kita. Dalam surah al-Hajj : 37 Allah swt berfirman, “Daging dan darah unta itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapai-Nya”.
Setiap manusia selayaknya bersedia mengurbankan apa yang dicintainya saat ini demi mendekatkan dirinya kepada Ilahi. Sebab setiap orang terjebak kepada satu bentuk kecintaan imajinasi. Kecintaan imajinasi tersebut boleh jadi dalam bentuk kekuasaan, jabatan, harta, nama, politik, dan bentuk-bentuk imajinasi lainnya.
sumber gambar: www.lacrocequotidiano.it
Muhammad Nur Jabir, lahir di Makassar, 21 April 1975 Pendidikan terakhir: S2 ICAS – PARAMADINA. Jabatan saat ini: Direktur Rumi Institute Jakarta. Telah menulis buku berjudul, Wahdah Al-Wujud Ibn ‘Arabi dan Filsafat Wujud Mulla Shadra.