Banyak hal yang berubah dari tahun ke tahun setiap lebaran tiba. Namun satu tradisi yang masih sulit kami tinggalkan, yakni menyediakan makanan khas lebaran, berupa ketupat atau buras. Memasaknya pun menggunakan kayu seperti di kampung-kampung kala kami kecil dulu. Padahal jika ingin praktis bisa saja dimasak dengan kompor gas yang nyala apinya tentu lebih stabil dibandingkan menggunakan kayu yang tiap beberapa menit harus ditengok. Apakah api yang membakar kayu masih menyala atau jangan-jangan ada di antara kayu-kayu itu yang memendek dan akhirnya habis tanpa disadari.
Kendati kesibukan hidup warga kota perlahan-lahan telah semakin menggerus banyak tradisi menyambut lebaran, namun sebagian kecil masih berusaha melestarikannya. Kami adalah bagian kecil itu. Rasanya tidak sah berlebaran tanpa ketupat dan buras. Plus sop ayam kampung. Bukan hasilnya yang kami kejar, melainkan proses kebersamaan dalam pembuatannya.
Pada hari semua anggota keluarga berkumpul, pembagian tugas pun dipertegas lagi. Ada yang bagian bersih-bersih rumah, ada yang membantu persiapan masakan di dapur. Bekerja riang sambil berbagi cerita dan pengalaman sehari-hari, diselingi musik dari radio. Saya yang sudah seumur ini masih kadang meragukan kemampuan saya dalam membuat buras. Pernah sekali waktu isinya banyak yang keluar dari daun, melayang-layang di atas air panci. Gara-gara daun pisang yang digunakan terlalu muda dan tipis. Tidak terpikirkan untuk membungkus luar lagi, jadilah biji-biji nasi itu berhamburan keluar meninggalkan daunnya.
Pantang menyerah, pembuatan berikutnya saya sudah lebih waspada. Daun pisangnya saya dobel, dan ikatannya saya kencangkan. Agar kejadian sebelumnya tidak terulang kembali. Pernah saya berpikir, jika di generasi saya saja, yang lahir tahun 70-an sudah langka yang bisa bikin makanan khas lebaran ini, apatah lagi generasi-generasi berikutnya. Mungkin makanan sejenis ini sudah langka mereka dapatkan. Atau bisa jadi orang tidak perlu repot-repot membuatnya, sisa ke supermarket, karena aneka macam makanan tradisional sudah lengkap tersedia di sana.
Lalu bagaimana tanggapan anak-anak saya? Mereka justru mau menyediakan makanan yang ringkas saja, tidak pakai repot dan ribet. Saya yang dengan semangat tinggi berusaha mengajak dan melibatkan mereka dalam pembuatannya, akhirnya menyerah pasrah melihat rendahnya antusiasme mereka.
Konon dari cerita ibu saya, dulu sewaktu masih kecil seusia SD, memang beliau yang selalu diliputi rasa ingin tahu setiap kali melihat orangtua-orangtua di sekitarnya memproses sesuatu, entah itu kerajinan tangan, ataukah masakan tertentu. Tanpa diajak, tanpa ada yang menyuruh, ia yang masih kanak-kanak mendekat minta diajari cara membuatnya. Berlanjut ke generasi berikutnya, kami yang ketika itu juga masih kecil, usia SMP bahkan nanti dipanggil mendekat baru kami datang membantu. Lalu sekarang, di generasi ketiga, anak-anak sudah sangat jarang yang tertarik membuat penganan dari bahan daun pisang yang dikesani sulit ini.
Zaman kini segalanya serba instan. Pengetahuan inginnya yang instan, proses pengerjaan sesuatu inginnya instan, mencapai sesuatu tidak sabar melewati tahapan demi tahapan. Guru yang tidak sabar mengajarkan ilmu setahap demi setahap, murid-murid pun demikian. Memperoleh nilai bagus, maunya lewat jalan pintas. Tanpa usaha dan tanpa jerih payah. Rupanya bukan hanya makanan yang instan, akan tetapi hampir semua lekuk kehidupan manusia tak luput dibayang-bayangi soal ini. Juvenal, seorang penyair berkebangsaan Italia menyitir ujar bijak, “Betapa banyak yang ingin memiliki ilmu, tetapi betapa sedikit yang rela bersusah payah untuk mendapatkannya.”
Sebagai praktisi pendidikan anak dan keluarga, saya terus-menerus mengamati, merenungi nasib anak-anak kita yang dibesarkan di tengah zaman teknologi canggih seperti sekarang ini. Semakin kecil peluang anak-anak akan betah belajar dan menjalani proses pembuatan sesuatu, tahapan demi tahapan. Terlalu banyak godaan kesenangan di luar sana yang menawarkan hasil yang sama dengan kecepatan yang berbeda
Selama ini kita telah menanamkan sebuah kesadaran baru di hati dan pikiran mereka. Contoh kecil dan nyata dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, yakni praktik mendongkrak nilai siswa dengan memberitahukan jawaban dari soal-soal yang diujikan. Hasil yang instan, tanpa perlu proses. Lambat-laun pengalaman tersebut akan terekam dalam ingatan mereka, bahwa ada suatu cara yang ‘dibenarkan’ untuk mendapatkan nilai yang bagus tanpa belajar.
Contoh lainnya, ketika anak-anak bertanya sambil lalu, bagaimana cara menghasilkan ini dan itu? Orangtua banyak yang memangkas rasa ingin tahu anak dengan jawaban singkat, “Ah, kamu masih kecil, belum waktunya tahu.” Atau langsung memberitahukan jawabannya tanpa proses mengajak anak untuk mencoba berpikir mandiri terlebih dahulu dengan jawaban dari alam pikirannya sendiri.
Sesungguhnya kita para orang dewasa sendiri yang telah mencabut rasa ingin tahu anak dengan jalan-jalan pintas di atas. Pola tersebut akan diingat anak jika selanjutnya menemukan masalah atau pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Boleh jadi mereka akan memilih Om Pintar Google untuk mendapatkan jawaban-jawaban tersebut. Peran orangtua jadi tersingkirkan tanpa kita sadari. Padahal sangat berbeda jika jawaban tersebut diberikan oleh orang yang ia percayai, ketimbang pihak lain yang tidak mereka kenal. Kita tidak tahu seberapa akuratnya penjelasan tersebut ditinjau dari sisi moralitas. Waktunya kita membenahi diri.
Pegiat literasi dan parenting di Paradigma Institute. Telah menulis buku “Dari Rumah untuk Dunia” (2013) dan “Metamorfosis Ibu” (2018).