Supaya duduk perkaranya benderang, alangkah baiknya terlebih dahulu, jikalau saya mengutak-atik soal yang remeh-temeh. Meski terkesan sepele, tapi cukup berpengaruh pada pahaman yang akan saya babarkan pada tulisan ini. Apalagi kalau bukan soal kata. Yah, kata. Pasalnya, hari-hari terakhir ini, tepatnya, jelang hingga tiga hari pascalebaran Idul Adha, ada kata tertentu yang amat populer. Baik dituliskan,maupun diucapkan. Di alam nyata, maupun dunia maya. Seperti pada judul tulisan ini, ada kata “kurban” dan “korban”. Keduanya sering disamakan, dan tidak disoalkan. Tapi untuk keperluan tulisan ini, saya telisik, biar pas adanya.
Tempat suaka paling aman dan nyaman, bila bersoal tentang kata, pastilah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI). Menurut KBBI daring, kata “kurban” berarti, persembahan kepada Allah (seperti biri-biri, sapi, unta yang disembelih pada hari Lebaran Haji) sebagai wujud ketaatan muslim kepada-Nya . Sedangkan kata “korban” bermakna, (1) pemberian untuk menyatakan kebaktian, kesetiaan, dan sebagainya, (2) orang, binatang, dan sebagainya yang menjadi menderita (mati dan sebagainya) akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan sebagainya. Tipis sekali perbedaannya bukan? Nah, tulisan ini akan menerangkan yang tipis itu, walau implikasinya, maknyus pemirsa.
Hari Ahad ini, hari terakhir untuk melaksanakan ibadah Kurban. Dalam ajaran Islam, ada tiga hari yang disiapkan, hari Tasyrik, untuk melaksanakan kurban, berupa pemotongan hewan tertentu, untuk persembahan ibadah, mencontoh Nabi Ibrahim. Seperti mafhum diketahui, bahwa perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail, walau diganti dengan seekor hewan. Meski spiritnya, bisa ditelusuri pula jauh ke masa yang lebih silam, ketika Habil dan Qabil, dua putra Nabi Adam, diperintahkan untuk berkurban.
Perintah berkurban ditujukan kepada siapa saja, asal memenuhi syarat. Baik syarat itu ditujukan pada yang berkurban, maupun hewan yang akan dikurbankan, dan yang menerima daging kurban. Sekotahnya sudah dibenderangkan oleh para ahli fikh, fuqaha. Mungkin ada perbedaan pendapat di antara para fuqaha, tapi secara umum, telah sampai pada persepakatan-pesepakatan, yang oleh umat Islam, dipahami sebagai suatu keniscayaan. Perbedaan adalah rahmat. Begitu ungkapan yang sering diucapkan oleh para penganjur kebaikan.
Di negeri saya, tahun ini, sepertinya ada peningkatan jumlah yang berkurban, begitupun hewan yang dikurbankan. Saya belum mendapatkan statistik yang akurat peningkatan itu. Lebih pada asumsi saja. Apa pasal? Sebab, tahun ini, di beberapa wilayah provinsi, kabupaten, dan kota, sudah mulai memasuki tahun politik. Tahun depan, bakal ada pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota di beberapa wilayah Indonesia. Termasuk kota mukim saya, Makassar, dan juga daerah kelahiran saya, Bantaeng. Maka di kedua wilayah ini, apatah lagi ditambah, Sulawesi Selatan akan pilgub pula, jadilah ibadah Kurban ini bergairah adanya.
Tengoklah baliho-baliho, mulai dari ukuran yang sederhana, sampai yang raksasa. Satu pesannya, meski dengan kalimat yang berbeda, para politisi yang bakal ikut berlaga di pemilihan, mengajak untuk berkurban, pentingnya berbagi. Dan, sudah pasti, para politisi itu pun, menyediakan hewan kurban di beberapa tempat. Sebagai misal, untuk seorang calon gubernur, maka di setiap kabupaten dan kota, ada hewan yang disiapkan. Begitu juga, bagi calon bupati dan wali kota, tak lupa pula menebar hewan-hewan kurbannya, di beberapa kecamatan, desa, dan kelurahan.
Satu hal yang jelas, hewan kurban ini, mewakili yang berkurban. Seolah menitipkan harapan, daging kurban, sebentuk sosialisasi akan kesiapan untuk dipilih menjadi pemegang kekuasaan. Demikianlah, para politisi ikut berkurban, di tahun politik. Politik Kurban, yang hasilnya, kurban politik, suatu tindakan berkurban dengan motif politik. Kira-kira begitu, yang saya bisa simpaikan sebagai simpulan.
Pada bagian lain, tentulah ada penerima daging kurban. Laiknya pesan yang harus sampai, maka daging-daging ini menjadi duta, buat “mengikat”, yang bakal “memikat” para pemilik suara. Di sini, saya tegaskan, tindakan para politisi , calon pemimpin itu, harus dipahami sebagai tindakan politik. Kenapa? Karena begitu menyatakan diri sebagai seorang calon pemimpin daerah, berarti mendefenisikan diri sebagai politisi. Maka, amatlah logis, bilamana semua tindakan politisi, dibingkai sebagai laku politik. Apalagi, jika tingkah itu bersentuhan dengan orang banyak, massa. Dan, berkurban, yang melibatkan massa, saya sederhanakan sebagai upaya politik, menaruh simpati publik.
Ah, sedari awal saya lebih fokus pada kurban politik, para politisi berkurban. Lalu, kapan baru terjadi korban politik? Wujudnya sederhana, dan bisa melanda kedua belah pihak. Para politisi yang berkurban, dan masyarakat yang menerima daging kurban. Para politisi menjadi korban politik, manakala daging kurbannya, tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap peningkatan peluang keterpilihannya. Sementara, masyarakat penerima daging kurban, menjadi korban politik, tatkala mereka telah diterungku, oleh daging kurban, dan kebebasan memilihnya menjadi tergadai. Pada posisi inilah, politisi yang berkurban dengan kurban politiknya, menjadi korban politik. Sementara masyarakat penerima kurban politik, terjatuh pada ketidakberdayaan sebagai orang merdeka, korban politik.
Padahal, sesarinya, ibadah kurban, tujuan esensialnya menurut para penganjur kebaikan, adalah upaya menyembelih diri dari sifat-sifat hewani. Salah satu sifat hewani yang melekat pada diri, berupa keinginan untuk berkuasa, dengan menggunakan segala macam cara untuk meraihnya. Tergolong pulalah, jargon-jargon, hingga tindakan beribadah menjadi tunggangan untuk memeluk kekuasaan.
Mungkinkah ibadah Kurban mencapai tujuan esensialnya, jikalau seorang berkurban, bermaksud menyembelih hasrat hewaninya, namun masih mendambakan hasrat hewani berikutnya? Pastinya, politik kurban, hanya akan menghasilkan korban politik. Baik yang berkurban, terlebih lagi yang menerima daging kurban.
Sumber gambar: https://pbs.twimg.com/media/CPhraJ7VEAAhj0T.jpg:small
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.