Saya harus berpikir keras agar mampu memaknai maksud dari perkataan Nietzsche, “Kematian adalah akhir kehidupan, namun kematian pemikiran adalah awal kehidupan”. Sebab kita tak pernah menemukan istilah kematian terkait dengan pikiran. Pikiran kita senantiasa hidup di dalam diri kita dan sebab itu kita sulit menemukan makna kematian yang terkait dengan pikiran.
Kapankah kita hidup dan benar-benar hidup? Pernahkah kita memikirkan tentang hidup? Kata Nietzsche, Jika anda benar-benar ingin memulai hidup, berpikirlah tentang kematian bahwa anda benar-benar sedang menghadapi satu pengalaman tentang kematian. Saat manusia sedang berhadapan dengan kematian, saat itulah manusia akan memulai kehidupannya yang sejati.
Tapi bukankah kita juga sering berpikir tentang kematian? Bahwa pada akhirnya kita pun akan meninggalkan dunia ini. Sebab tak ada satu manusia pun yang abadi di dunia ini. Lalu apa maksud Nietzsche? Mengapa saat kita berfikir tentang kematian tapi tak membuat kita seolah memulai kehidupan yang baru? Apakah karena sebagian besar dari kita hanya sekadar menjalani kehidupan dan tenggelam dalam rutinitas keseharian? atau ada jenis bentuk kematian lain yang mampu membuat kita menemukan satu bentuk kehidupan yang baru.
Hampir semua orang-orang besar, terkhusus bagi para pemikir, mengalami satu goncangan hebat disebabkan tak mampu menemukan jawaban dari apa yang sedang ia pertanyakan. Mereka tergoncang oleh satu pertanyaan yang belum mampu dijawabnya. Namun dari pertanyaan itulah mereka menemukan hal baru sehingga memberikan bentuk kehidupan baru di dalam dirinya. Dan inilah yang dimaksud dengan kematian pemikiran yaitu satu bentuk kematian karena pengetahuan yang kita miliki saat itu tak mampu lagi menjawab pertanyaan dan kegelisahan kita.
Apakah kita pernah mengalami kematian pemikiran yang membuat eksistensi kita tergoncang? Mungkin kita memiliki banyak pertanyaan yang tak mampu kita selesaikan, tapi apakah ada pertanyaan yang tak mampu kita jawab dan akhirnya menyebabkan eksistensi kita tergoncang? atau boleh jadi kita tak pernah berpikir sedalam mungkin sehingga seolah tak ada pertanyaan yang mampu menggoncangkan eksistensi kita.
Kisah Imam Ghazali dan Rene Descartes adalah contoh terbaik dalam menjelaskan kematian pemikiran. Mereka berdua pernah mengalami satu kondisi “meragukan segala hal”. Mereka berdua pernah menghadapi pertanyaan epistemologi dan konsekwensi dari pertanyaan tersebut adalah meragukan segala hal. Dan hal yang menarik karena kedua tokoh tersebut menemukan jalan keluarnya masing-masing. Imam Ghazali setelah mencapai kondisi tersebut, memutuskan untuk kembali ke kampungnya dan mulai menjalani jalan tirakat. Memilih kesepian dan kesunyian agar makrifat yang ada di dalam diri mampu ditemukan dan dipahami. Rene Descartes saat sampai pada puncak keraguan, menemukan jalan keluar dengan tetap berada dalam keraguan, bahwa “saya tak mungkin meragukan keraguanku, bahwa saya sedang ragu adalah satu hal yang tak mungkin diragukan”, cogito ergo sum.
Demikian halnya dengan tokoh Maulana Rumi, eksistensinya tergoncang ketika ia ditanya oleh seorang Darwish, Syams Tabrizi, yang dalam perjalanan selanjutnya, Syams menjadi Guru spiritual Maulana Rumi. Jika pertanyaan yang diajukan oleh Syams pada waktu itu tidak ada, tentu Maulana Rumi tak akan pernah mengejar-ngejar Syams agar bersedia menjadi gurunya. Mereka adalah orang-orang besar yang dibesarkan oleh pertanyaan-pertanyaan.
Memang benar, tak mudah memiliki pertanyaan sebab esensi pertanyaan adalah seolah kita sedang berada dalam kebimbangan. Bimbang antara meneruskan pertanyaan hingga menemukan jawaban atau lari dari pertanyaan sebab takut menemukan konsekwensi kebenarannya.
Pembicaraan tentang kematian pemikiran, mengantarkan saya dalam perenungan satu hadits dari Rasulullah saw, “Berpikir sesaat lebih baik daripada beribadah 60 tahun”. Tentu tidak semua konteks berpikir lebih baik dari ibadah 60 tahun. Berpikir yang membuahkan kelahiran kembali tentu lebih baik daripada ibadah 60 tahun. Dalam kata lain, kita bisa menyingkat waktu kelahiran kembali dengan tafakkur atau berpikir atas pertanyaan yang menggoncangkan eksistensi kita.
sumber gambar: www.uh.edu
Muhammad Nur Jabir, lahir di Makassar, 21 April 1975 Pendidikan terakhir: S2 ICAS – PARAMADINA. Jabatan saat ini: Direktur Rumi Institute Jakarta. Telah menulis buku berjudul, Wahdah Al-Wujud Ibn ‘Arabi dan Filsafat Wujud Mulla Shadra.
Tulisan ini “menyadarkan” dan sekaligus “menggoncang” eksistensi saya. Banyak banyak pertanyaan dalam diri yang belum mendapat jawaban atau jangan jangan pertanyaan saya yang salah sehingga belum terjawab atau karena kafakiran saya dalam pengetahuan.
Terima kasih ustadz Nur Jabir.
Salam.