Sore yang masih menyisakan terik bercampur debu Kota Makassar mengiringi perjalanan kami ke penghujung salah satu desa di Kabupaten Gowa. Jarak yang singkat (105 km) dengan kondisi jalan yang belum bagus harus ditempuh dalam waktu tiga jam lebih, bahkan hampir empat jam. Berangkat pukul lima sore, sempat terhenti beberapa saat di daerah Hertasning untuk menyaksikan iring-iringan kendaraan pejabat melintas.
Sepanjang perjalanan, saya mencoba memvisualisasikan dalam benak tempat kegiatan nanti akan dilangsungkan, seperti apa antusiasme warganya. Model dialognya bagaimana, seberapa dalam pemahaman mereka soal parenting yang akan dibahas nanti. Mengingat selama ini saya lebih banyak bertemu dan berinteraksi dengan orangtua-orangtua yang tinggal di daerah perkotaan. Dalam hati saya salut pada keinginan mereka untuk belajar mengasuh anak.
Meskipun sebenarnya kegiatan ini merupakan salah satu perwujudan CSR (Corporate Social Responsibility) dari Yayasan Hadji Kalla, namun semangat belajar dan keingintahuan warga yang secara geografis jauh terpencil patut diacungi jempol. Rupanya teknologi banyak membantu mereka untuk bisa mengakses pengetahuan terkait persoalan kekinian. Termasuk tema-tema yang menyangkut bagaimana mengasuh anak dengan baik.
Sebelum berangkat, oleh penyelenggara saya diberikan sedikit gambaran bagaimana kondisi masyarakat di sana. Taraf pemikirannya seperti apa, kalau bisa gunakan saja bahasa-bahasa yang mudah dipahami. Hindari menggunakan istilah-istilah sulit. Bahkan kalau perlu selipkan juga bahasa daerah. Wah, ini yang sulit. Yang lain saya bisa sesuaikan, tetapi untuk menggunakan bahasa daerah, terlebih bahasa warga Pao, Konjo, saya tidak bisa sama sekali. Kecuali paham sedikit jika mendengar pembicaraan mereka. Karena banyak kemiripan dengan bahasa Makassar.
Bagi saya, bertemu dan mengobrol dengan orang-orang sederhana tetapi memiliki keinginan besar untuk belajar, sungguh hal yang menyenangkan. Saya menikmati bertatap muka, bercakap-cakap, dan memandang bola-bola mata mereka yang berbinar-binar. Rasanya saya ingin bilang, saya akan membantu sebisa mungkin masalah Ibu/Bapak dengan segenap tenaga dan pikiran saya. Kurang lebih seperti itulah pesan yang ingin saya kirimkan kepada mereka.
Hari pertama, di tengah suhu yang luar biasa dingin, sehingga mandi pun serasa disiram air es, dimulai pukul delapan lewat. Perkiraan warga yang hadir hanya tiga puluh, tetapi nyatanya ada lebih empat puluh orangtua dan calon orangtua. Karena kursi tidak mencukupi maka diputuskanlah untuk duduk di lantai saja beralaskan karpet. Penyajian materi kurang lebih satu jam dilanjutkan dengan diskusi. Banyak persoalan yang mereka tanyakan. Ada orangtua yang sekaligus guru sekolah, ada ibu rumah tangga yang lebih banyak waktu di rumah, ada pula remaja-remaja yang tampak mau belajar banyak sebelum mulai membentuk keluarga nantinya. Untuk kelompok ini saya mengucapkan salut yang tinggi. Mau belajar jauh-jauh hari sebelum masanya tiba. Ini menurut saya tindakan yang paling tepat dan patut ditiru. Bukannya nanti dihujani masalah baru mulai tersadar untuk mau belajar.
Hari kedua, warga yang hadir kurang lebih sama dengan hari sebelumnya. Hanya saja yang berbicara dan menyampaikan materi ditunjuk dari salah seorang peserta. Karena kegiatan ini bertujuan untuk mencari dan membina kader, maka diharapkan nantinya akan banyak muncul dari kalangan warga, orangtua-orangtua yang punya potensi untuk bisa memberikan penyuluhan kepada orangtua-orangtua lainnya. Ada salah seorang ibu yang memiliki potensi tersebut, Bu Murni namanya. Di rumah beliaulah kami menginap selama dua malam di sana.
Pak Desa yang sempat menyimak cukup lama beserta istri, tampak banyak manggut-manggut membenarkan isi pembicaraan saya dan hadirin lainnya. Mungkin karena latar belakang beliau dari militer yang dididik secara militer, menjadikan model mendidiknya pun tak jauh-jauh dari gaya tersebut. Sementara tema yang diangkat oleh penyelenggara adalah “Bagaimana Membangun Cinta untuk Menjadi Keluarga Kuat dan Bahagia”. Adakah cinta di balik setiap kekerasan? Rasanya mustahil menemukannya. Yang terjadi, pesan cinta itu sulit diterima sebagaimana yang diinginkan oleh pengirimnya.
Banyak orangtua dengan atas nama cinta mendidik anak dengan kekerasa fisik maupun verbal, tetapi apakah anak merasakannya sebagai sebuah ungkapan cinta? Adakah cinta di balik pengabaian dan ketidakpedulian? Jadi sudah saatnya mengubah metode pengasuhan kita menjadi pengasuhan cinta. Tanpa kekerasan dan tanpa intimidasi. Yakin dan percaya anak-anak yang diasuh dengan penuh kasih-sayang dan bertabur cinta yang tulus dari kedua orangtuanya, akan tumbuh menjadi anak dengan kepribadian yang kuat dan mandiri.
Cukuplah sekolah tidak memberikan jaminan kenyamanan, tetapi keluarga dan rumah adalah tempat kembali yang nyaman dan membahagiakan bagi anak-anak. Kondisi dan suasana tersebut bisa diperoleh jika orang-orang mau peduli, mau belajar, dan mau bertanggung jawab membesarkan anak-anaknya sebagai sebuah amanah dari Tuhan. Yang tentu saja harus dikembalikan kepada Pemiliknya dalam kondisi sebaik-baiknya.
Pegiat literasi dan parenting di Paradigma Institute. Telah menulis buku “Dari Rumah untuk Dunia” (2013) dan “Metamorfosis Ibu” (2018).