Sungguh. Ini cerita lama. Namun layak didaur ulang. Apalagi perkara botak. Yah, kebotakan dengan segenap pandangan miring tentangnya. Khususnya, bagi penyandang kebotakan. Tercatatlah sepenggal kisah, bertahun-tahun yang lalu. Sekali waktu, anak-anak sekolah dasar, yang bersekolah di salah satu SD dekat mukim saya, lalu-lalang di depan rumah. Awalnya, mereka senyum-senyum simpatik pada saya. Tetapi, begitu tiba di mulut gang samping rumah, mereka kompak berteriak, “botak…botak… botak…” Kontan saja saya terperanjat. Ada sejumput kesal yang berhasil menghidu saya. Walau akhirnya segera reda.
Pasangan saya yang menyaksikan kejadian itu, spontan pula bereaksi, agar saya, setidaknya, memberi pelajaran, serupa teguran, maupun sejenisnya. Bila perlu, mengejar anak-anak itu, lalu menjewernya. Setelah semuanya berlalu, barulah saya berkata pada pasangan saya, bahwa, yang dibilang oleh cilik-cilik itu benar adanya. Bukankah saya memang berkepala plontos? Botak bukan? Justru saya layak tersinggung, jikalau saja mereka malah berteriak, “gonrong…gonrong…gonrong…” , sembari biji-biji mata mereka memplototi kepala saya.
Bagi penyandang botak semisal saya, cukup jua penderitaan yang senantiasa menimpa. Tidak sedikit panggilan yang bernada sanjungan, tapi sebenarnya melecehkan. Walau banyak juga yang terkagum-kagum pada kebotakan saya. Pastinya, saya amat setuju dengan perkataan salah seorang karib saya, Alto Makmur Alto, sang empunya penerbit Liblitera, kala ia menulis catatan pengantar buku saya, Tutur Jiwa, “…Saya selalu tertawa geli setiap kali mengingat Sulhan yang berapi-api bicara soal pentingnya shampo dan pangkas rambut secara rutin—seolah-olah ia lupa akan takdir Ilahi yang menimpa kepalanya itu.”
Di waktu kiwari ini, soal botak menguar lagi. Bagi orang tertentu, entah karena jengkel, benci, kesal, dan marah. Perkaranya ditujukan pada para biksu yang berkepala plontos, botak. Seiring dengan konflik yang terjadi di Myanmar, soal Rohingya, atau Rakhine. Bertolak pada segenap urita, baik yang akurat, maupun yang bohong (hoaks), muncullah kalimat-kalimat yang kurang sedap, dari sekaum warga net. Ambil saja beberapa contoh, kata-kata semisal, “teroris berkepala botak”, “dari makhluk botak laknat inilah”, “Nih lihat setan-setan gundul. Botak biksu iblisnya Myanmar”,dll. Yang kalau didaftar, bakal panjang sekali. Sepanjang kejengkelan dan rumpunnya, masih membuncah.
Kasus yang dipicu oleh ulah Biksu Ashin Wirathu, yang oleh majalah Time didakwa sebagai The Face of Buddhist Teror, menyebabkan dua hal sekaligus terluka. Pertama, para biksu tercederai, karena seolah, perilaku seseorang, atau sekelompok orang, dijadikan sebagai pijakan untuk melakukan penyeragaman laku semua biksu. Kedua, melecehkan segenap orang botak, sebab sepertinya, lakon segelintir penyandang botak, dipakai menghakimi seluruh kaum botak. Dalam ilmu logika, cara berpikir seperti ini, semacam kesalahan berpikir. Jatuh pada over generalitation, generalisasi yang berlebihan.
Sebenarnya, poin penting yang ingin saya tabalkan di sini, bukan soal biksu dan botak saja. Tapi cara dari begitu banyak orang, yang masih memelihara kesalahan berpikir, dalam menjatuhkan kesimpulan. Motif kebencian dan yang serumpun dengan itu, lalu ditambah dengan cara berpikir yang serampangan, saya dapat pastikan, bakal melahirkan masalah baru. Bisa-bisa kalau telat sadar, maka orang tersebut akan beternak masalah. Dan, kelanjutannya bisa diprediksi, bakal banyak tindakan-tindakan yang di luar kontrol. Setidaknya, tercermin pada kata-kata yang kurang baik.
Untung bin laba, masih banyak orang yang tetap memelihara akal sehatnya. Memandang perkara botak sebagaimana adanya. Dan, lebih dari itu, para barisan penyandang botak, dengan segala latar penyebabnya menjadi botak, meski tidak pernah membikin organisai botak sedunia, menampilkan figur-figur terdepan dalam menetralisir stigma kaum botak. Comotlah satu figur biksu, Ajahn Brahm, pengarang buku Cacing dan Kotoran Kesayangannya, yang sudah tiga jilid. Dan buku terbarunya Kindfulness.
Ajahn Brahm, merujuk pada Wikipedia, adalah seorang Bhiksu Budha Theravāda. Saat ini Brahm menjadi Abbas di Biara Bodhinyana, di Serpentine, Australia Barat, Direktur Spiritual di Buddhist Society of Western Australia, Penasihat Spiritual di Buddhist Society of Victoria, Penasihat Spiritual di Buddhist Society of South Australia, Pelindung Spiritual di Buddhist Fellowship di Singapura, Pelindung di pusat Brahm di Singapura, dan Pelindung Spiritual di Pusat Bodhikusuma di Sydney. Dan, seringkali berkeliling dunia mempromosikan kehidupan penuh cinta. Termasuk tour ke Indonesia.
Saya bisa pastikan, Ajahn Brahm ini bertolak belakang perilakunya dengan Ashin Wirathu. Karenanya, bolehlah kita mengecam Wirathu, namun jangan lupa, ada juga Brahm yang cinta damai. Kutuklah kegelapan yang ditebarkan oleh Wirathu, sambil menyalakan lilin penerang, yang dipantik oleh Brahm. Tidaklah elok, bilamana prilaku seseorang, yang menyimpang dari mainstream agamanya, meski ia pemuka agama, ditimpakan secara serampangan pada agama itu.
Bila saja masih dongkol pada orang botak, meski saya sudah menawarkan sosok Ajahn Brahm, persona yang penuh pesona,seorang biksu dan pasti berkepala botak, karena terlanjur ada sentimen keagamaan yang salah kaprah, mungkin figur lain bisa menolong, terbebas dari terungku kebencian. Saya ingin menyebut nama-nama, orang-orang botak, Zinadine Zidane, Mahatma Gandhi, Andy F. Noya, dan Kang Maman Suherman, serta segenap jemaah haji yang menggundul kepalanya, kala tahallul. Saya sengaja tawarkan sosok-sosok ini, agar maruah kaum botak bisa kembali pulih. Menjadi botak adalah pilihan. Padahal, maksud saya sesungguhnya, agar tidak terjebak dalam kesalahan berpikir.
Kini, di mukim saya, pada ramainya anak-anak sekolahan yang lalu lalang di depan rumah, sesekali saya menyapa mereka. Tak mencoba menunjukkan kemarahan tatkala mereka berteriak tentang kebotakan saya. Pikiran saya, mungkin itulah cara para cilik beriang gembira. Anak-anak sekolahan itu, butuh hiburan dari terungku sekolah yang terkadang tidak menyenangkan. Masukkanlah rasa bahagia pada setiap orang, begitulah anjuran agama. Saya sendiri masih melatih diri untuk objektif, bahwa memang saya adalah seorang penyandang botak. Justru dari mula inilah, saya mulai belajar menawarkan keramahan, bukan kemarahan.