Tidak bisa dinafikan bahwa kemajuan informasi dan teknologi begitu cepat di era modern. Misalnya saja transformasi media dari radio ke televisi. Radio yang sejak era kemerdekaan begitu populer dan populis, harus rela tergantikan posisinya oleh kehadiran televisi. Si kotak ajaib televisi unggul dari radio karena mampu menyajikan informasi dalam bentuk suara, gambar, dan gerak sekaligus. Sehingga seseorang melihat suatu peristiwa laiknya terjadi di depan mata. Meminjam istilah Asraf Piliang, bahwa dunia yang luas dapat dilipat-lipat dan dimasukkan ke dalam sebuah kotak yang bisa Anda simpan di rumah.
Popularitas televisi terus meningkat karena menyajikan banyak hiburan seperti film, menjadikan kaum borjuis berlomba-lomba memasuki industri perfilman. Film terus diproduksi karena sangat menguntungkan dan digemari oleh publik. Alhasil, lahir berbagai macam genre film seperti aksi, roman, animasi, horor, dan sebagainya. Akan tetapi tidak sedikit kaum borjuis kapital yang picik lagi licik. Mereka terus saja memproduksi film untuk memenuhi permintaan publik, tetapi tidak lagi peduli pada kualitas dan asas-asas normatif. Seolah mereka bergumam “yang penting dompet kami tebal. Urusan moral, urus saja sendiri”. Buktinya tidak sedikit informasi dan film-film yang berisi sampah, bersifat provokatif, penuh ujar kebencian, berbau kekerasan, dan porografi yang dapat kita temukan di televisi.
Sekali lagi, film memiliki kekuatan yang menyerang tiga pipa kecerdasan manusia (auditorial, kinestetik, dan visual). Sehingga seseorang akan betah berlama-lama berhadapan dengan televisi. Untuk dunia anak, film animasi menjadi pilihan utama. Olehnya pengawasan orang tua sangat diperlukan dalam memberikan tontonan yang layak nan bergizi, karena anak adalah sasaran empuk yang rentan terpengaruh. Jika lengah, film menjadi candu dan racun yang dapat memasuki ruang privat keluarga.
Akan tetapi, power yang dimiliki film dapat dijadikan senjata ampuh untuk menanamkan nilai positif. Kemampuan menganalisis secara kritis akan matan dan muatan film sangat dibutuhkan. Film animasi Naruto Shippuden dan Ratatoulli misalnya, telah mencoba bersabda kepada publik. Suara kecil dari dunia virtual yang penuh sampah peradaban.
Ratatoulli
Film Ratatoulli bercerita tentang seekor tikus bernama Remy, yang menjadi koki restoran bintang lima di Paris. Remy juga membawa perubahan besar bagi koloninya. Sebagaimana entitas makhluk lainnya, tikus tentunya membutuhkan makanan. Tetapi tikus revolusioner ini tidak hanya memikirkan cara mengisi perut, tetapi bagaimana membuat makanan. Nalar inilah yang membawanya pada kebiasaan yang tidak lazim dari tikus lain. Membaca! Remy senantiasa menyisihkan waktu membaca buku resep masakan dan menonton televisi.
Karena pergeseran paradigma sang tikus dari sekadar mencari kenikmatan jasmani menuju kenikmatan intelektual, mejadikan buku lebih berharga dari hidupnya. Pada sebuah adegan saat seekor tikus tertangkap tangan menciduk makanan yang membuat sang empunya rumah geram, Remy memutuskan untuk kembali mengambil buku yang kerap dibacanya. Risikonya berhadapan dengan maut, karena ruangan mulai dipenuhi gas beracun. Benarlah pendakuan Najwa Shihab, sang Duta Baca Indonesia mengutip tutur Thomas Jefferson bahwa kita tak bisa hidup tanpa buku.
Naruto dan Jirayya
Naruto Shippuden merupakan film yang diangkat dari komik karangan Masashi Kishimoto. Film ini bercerita tentang anak bernama Naruto. Perjalanan hidup Naruto, digambarkan penuh penderitaan karena sosok rubah berekor sembilan dalam tubuhnya. Ia dibenci dan dikucilkan masyarakat desa Konoha. Tetapi, prinsip hidup yang pantang menyerah menghantarkan dia meraih cita-citanya menjadi hokage (pemimpin desa) dan diakui keberadaannya.
Sosok yang memiliki peranan penting bagi Naruto adalah gurunya, Jirayya. Jirayya adalah sosok ninja legenda pengembara yang memiliki jurus hebat. Uniknya Jirayya juga penulis. Dan ketika Jirayya terbunuh di tangan Pain, ia mewariskan buku karangannya kepada Naruto. Buku inilah yang dibaca Naruto sebagai menu wajib dalam latihan. Berbekal buku tersebut dan kemampuan retorisnya, ia mampu mengubah pandangan hidup Pain.
Boleh dikata bahwa tradisi literasi yang diwariskan gurunya merupakan puzzle penting dari perubahan yang dibawa Naruto bagi desa dan dunia ninja. Karena tradisi literasi Jirayya dan Naruto, di kemudian hari menjadi alat perlawanan dari ambisi kekuasaan dan kapital Akatsuki. Akatsuki adalah kelompok yang menghendaki tatanan dunia berada di bawah satu payung kekuasaan. Impiannya coba diraih dengan melanggar hak-hak kemanusiaan orang lain, dengan memanfaatkan kekuatan monster mata satu yang berujung pada perang dunia.
Kekuatan inilah yang dilawan Naruto. Dari pengalaman hidup dan aktifitas membaca, Naruto berhasil mengubah pandangan hidupnya. Mata rantai kebencian dan dendam harus diputuskan dengan cinta dan maaf, karena hanya dengan itu perang dapat dihapuskan dan perdamaian dunia dapat diwujudkan. Semangat ini kemudian mendorong seorang Naruto menciptakan revolusi besar bagi dunia sinobi.
Tradisi Literasi Sebagai Kultur Tandingan
Alhasil, tradisi literasi menjadi salah satu prasyarat penting dalam melakukan perubahan dan menciptakan peradaban gemilang. Iqra, (bacalah) merupakan wahyu pertama yang diturunkan kepada sang Avatar Agung, Muhammad SAW. Yang akhirnya menjadikan Rasulullah sebagai tokoh paling berpengaruh di dunia. Putra padang pasir yang mampu membawa perubahan bagi masyarakat Makkah-Madinah dan semesta.
Fakta sejarah mencatat, banyak tokoh-tokoh revolusioner dunia seperti Marx, Mahatma Gandhi, Mandela, Ali Syariati, dan sebagainya, merupakan sosok yang gemar membaca dan menulis. Dalam konteks Indonesia, para tetua bangsa seperti Soekarno, Tan Malaka, Hatta, misalnya adalah pembaca ulung dan penulis produktif. Seorang Gus Dur dan Cak Nur pun demikian. Pertanyaan yang muncul adalah seberapa penting membaca bagi kita?
Pada akhirnya, dinamika dan dialektika peradaban yang terjadi dalam konteks kekinian kebangsaan dan global, menuntut kita untuk melirik peranan tradisi literasi. Tidak! Tapi harus membumikan gerakan literasi. Menjadikan membaca sebagai kebutuhan kita sebagai manusia-manusia yang berpikir. Jika tidak, kaum kapitalis dan koruptor yang licik nan picik, akan terus menjadikan kita objek eksploitasi yang tidak bisa melakukan perlawan.
Lihatlah, betapa pandirnya kita laiknya kerbau dicocoki hidungnya. Kita memuaskan libido kaum kapitalis, dengan menjajakan diri pada nafsu konsumtif, hedonis, dan pragmatis. “Bila mengubah sikapmu sendiri engkau kesulitan, bagaimana engkau hendak mengubah sikap orang lain?”, tutur Gus Mus.
Olehnya, mulailah membaca dan keluarlah dari kewajaran zaman yang menempatkan teknologi (gawai) sebagai “yang segalanya”. Berhentilah menunggu wahyu yang sama, yang diilhamkan kepada Muhammad SAW, Karena proses pewahyuan telah usai dan risalah kenabian telah ditutup. Yang kita perlukan adalah menjadikan iqra sebagai spirit dalam melakukan perlawanan, atas kepandiran, kemalasan, dan pada dunia sebagaimana Naruto dan Remy.
sumber gambar: wallpapersok.com
Lahir di Bantaeng, 24 oktober 1994. Pelajar di Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar. Aktivis MEC RAKUS Makassar, dan Peserta Kelas Literasi Paradigma yang mencintai kopi dan buku terutama novel sejarah.