“Kekayaan terbesar yang dimiliki Republik ini ada pada sumber daya lokalnya”. (Muhammad Khaidir)
Khazanah kekayaan Indonesia sangat banyak. Ini merupakan bonus geografis Indonesia yang terletak di belahan dunia strategis yakni dilintasi garis khatulistiwa dan memiliki deretan wilayah kepulauan. Sumber daya alam melimpah, di daratan maupun di lautan merupakan potensi yang dimiliki Indonesia dan menjadi salah satu daya tarik negara imperialisme untuk menjajah Indonesia di masa lalu.
Sumber daya alam baik fosil maupun non fosil melimpah ruah hampir di setiap pelosok daerah di bumi Nusantara. Sumber daya fosil menjadi basis utama dalam meningkatkan pembangunan pada fase pembangunan pasca kemerdekaan. Minyak bumi, gas alam, panas bumi, batu bara, nikel, dan masih banyak lagi sumber daya fosil lainnya. Akan tetapi hari ini sumber daya fosil tersebut mesti menjadi perhatian khusus, karena sumber-sumber tersebut mempunyai keterbatasan dalam proses produksinya maupun bahan dasarnya.
Indonesia memiliki potensi besar dan menyebar secara merata hampir di setiap wilayah di Indonesia, Ketika kita menggali lebih jauh beberapa potensi tersebut, ternyata masih banyak potensi alam yang mengendap dan belum dikelola atau dimanfaatkan dengan baik. Apa lagi ketersediaan sumber daya yang berbasis fosil ke depan sudah mulai terbatas. Olehnya itu pemerintah maupun masyarakat perlu memikirkan pengelolaan sumber potensi lain yang basisnya terbarukan, terutama di bagian pedesaan.
Desa adalah salah satu kekuatan sektor lokal yang dimiliki Indonesia. Elemen terakhir dalam struktur organisasi ketatanegaraan mempunyai posisi yang sangat strategis. Dengan posisi tersebut maka desa mesti menjadi perhatian serius dalam pengelolaannya. Jumlah Desa di tahun 2016 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik melalui peraturan kepala BPS nomor 66 tahun 2016 adalah 82.038 desa. Angka yang sangat fantastis, namun jumlah tersebut tidak akan bernilai apapun ketika desa tidak terurus dengan serius.
Desa menjadi salah satu tempat di mana banyak sumber daya alam yang mengendap dan belum terkelola maksimal. Hanya ada beberapa yang menjadi garapan masyarakat pada umumnya, seperti pertanian, dan perkebunan. Sedangkan potensi lain masih belum terkelola maksimal, dan bahkan ada yang belum tersentuh sama sekali.
Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, pertama; tidak adanya stimulus layaknya riset dan hasil penelitian dalam membangun perspektif masyarakat terkait potensi besar yang ada di desa masing-masing, kedua adalah lemahnya peran dan kebijakan strategis pemerintah kabupaten dan pemerintah desa dalam hal mendorong ter-up grade-nya potensi tersembunyi di pedesaan, ketiga minimnya organisasi pemberdayaan dan pengembangan kapasitas masyarakat di pedesaan, seperti NGO dan lembaga lainnya yang mempunyai peran strategis dalam mendorong akselerasi penemuan dan pengelolaan potensi desa, yang keempat adalah organisasi pemerintahan desa kadang tidak berjalan dengan baik, sehingga berkonsekuensi pada efektivitas proses implementasi kebijakan desa yang sudah ditetapkan. Beberapa alasan tersebut membuat beberapa potensi besar yang ada di desa tidak bisa dikembangkan lebih jauh, khususnya potensi energi.
Dari beberpa hasil riset yang menyatakan bahwa ternyata masih banyak potensi energi terbaharui mengendap di pedesaan. Hal ini merupakan salah satu alasan beberapa pakar kebijakan publik di sektor energi berpendapat bahwa masa depan energi di Indonesia ada di pedesaan, dan justru energi yang mengendap tersebut adalah energi yang bisa bertahan lama dan berkelanjutan. Energi fosil ini sering disebut dengan “energi terbaharui”. Ada banyak potensi energi terbaharui seperti energi angin untuk pembuatan PLTB, energi hidro untuk keperluan drainase, air minum, dan PLTA, energi surya untuk keperluan pengeringan yang berbasis teknologi, PLTS, dan masih banyak potensi lain, di mana era saat ini energi ini banyak digunakan oleh beberapa peneliti, dan mahasiswa sebagai objek riset, seperti biji jarak, jerami, belimbing, dan tumbuhan lainnya yang bisa direkayasa dalam hal kebutuhan pembangkitan energi.
Patut kita syukuri pada tahun 2014 lalu, Undang- Undang desa disahkan, dan membawa angin segar dalam mendorong transformasi perubahan sosial, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di desa. Dalam Undang-Undang tersebut sangat jelas dijelaskan terkait dengan tujuan dibentuknya desa, sampai pada proses implementasi skema pembangunan desa, ditambah lagi dengan porsi anggaran desa yang diambil dari APBN. Dana desa dari APBN selalu meningkat, mulai dari tahun 2015 besarannya 20,76 triliun tahun 2016 sebesar 60 trillotim, dan di tahun 2017 meningkat sampai 120 Triliun, dengan besaran porsi dana setiap desa mulai dari 200 juta, 800 juta-1 miliar pertahunnya (Data BAPPENAS 2017). Hadirnya dana desa tesebut membuat pemerintah desa dan masyarakat desa bisa lebih mengoptimalkan pembangunan desa dan pengelolaan potensi yang ada di desa, termasuk potensi energi. Hadirnya dana desa tersebut juga merupakan sumber daya dan kekuatan baru bagi pembangunan desa.
Desa merupakan wilayah yang menjadi sumber cadangan energi masa depan dan sebagai elemen vital dalam membangun ketersediaan energi Indonesia di masa depan. Ketika potensi energi di desa mampu dikelola dengan baik, maka desa akan menjadi penopang kekuatan energi baru Indonesia, krisis energi yang melanda Republik ini beberapa dekade belakangan, membuat kita mesti berpikir untuk melakukan pergeseran pengelolaan energi dari energi fosil ke energi terbaharui.
Kemandirian energi adalah salah satu sasaran utama pemerintah, dan desa adalah area menarik dan tepat untuk mengimplementasikan program kebijakan energi, karena pasokan potensi energi di desa sangat mewadahi untuk digarap lebih jauh. Sehingga memberikan peluang besar terwujudnya kemandirian energi Indoensia di masa yang akan datang.
Desa sebagai poros utama energi hijau
Energi Hijau dalam konteks hari ini merupakan kebutuhan yang sangat diinginkan oleh penduduk dunia. Di tengah pemanasan global dan mulai tercemarnya udara segar akibat pola kerja industrialisasi yang tidak memperhatikan dampak sosial dan alam lebih jauh. Polusi udara akibat efek rumah kaca melahirkan banyak penyakit kimia yang bersumber dari udara yang tidak sehat. Kondisi tersebut menyadarkan beberapa negara untuk mengembangkan daerah berbasis hijau, dengan udara dan kondisi alam yang bebas dari polusi udara.
Salah satu hal yang juga menjadi alasan beberapa negara dalam mengembangkan kawasan energi hijau adalah krisis energi yang berbasis fosil sudah mulai terlihat. Krisis ini diakibatkan seiring bertambahnya jumlah penduduk dunia tiap tahun. Saat ini jumlah penduduk dunia diperkirakan mencapai angka 7 miliar orang, dan diprediksi ditahun 2050 melonjak sampai angka 20 miliar jiwa. Penambahan jumlah manusia setiap tahunnya berkonsekusensi pada meningkatnya kebutuhan dan penggunaan energi yang kebanyakan sumbernya berbahan dasar energi fosil. Di Indonesia Pengunaan BBM setiap hari diperkiraan mencapai 1,5 sampai 1,7 juta barel BBM perhari. Ditambah lagi dengan kebutuhan indistri, dan gaya hidup modern hari ini yang lebih banyak membutuhkan penggunaan energi seperti BBM dan semacamnya. Krisis energi listrik di Indonesia kebanyakan diakibatkan oleh terbatasnya bahan dasar pembangkitan karena kebanyakan pembangkitan energi listrik menggunakan energi berbahan dasar fosil seperti batu bara, BBM, dengan kapasitas ketersediaan yang terbatas.
Dengan alasan di atas maka desa sejatinya layak menjadi poros utama dalam menyiapkan potensi energi terbaharukan, kadar udara yang sehat, dan kondisi lingkungan yang bebas dari polusi mesti menjadi hal yang perlu untuk diseriusi dalam pengelolaannya. Paradigma Hijau dalam hal ini pengembangan kawasan energi hijau di desa-desa adalah hal praktis yang bisa menjadi jawaban atas krisis energi fosil dan kebersamaan kondisi polusi alam raya.
Kehadiran desa sebagai daerah yang yang masih relatif terjaga kelestarian alamnya akan menjadi objek vital sebagai daerah pengembangan energi hijau. Energi hijau adalah energi yang dihasilkan oleh alam secara alami yang senantiasa terbaharui secara alami dan tidak akan punah sering perkembangan zaman. Energi hijau tersebut melimpah ruah di desa dan potensinya sangat besar untuk dikembangkan lebih jauh. Beberapa energi hijau yang di maksud seperti energi matahari, air, udara (angin), tumbuh-tumbuhan hijau yang selalu mengalami keterbaruan terus menerus.
Sebagai proses pemanfaatan dan pengelolaan energi hijau adalah dengan cara mengembangkan teknologi berbasis energi terbaharui. Teknologi tersebut sering kita sebut sebagai Green Technology. Pengembangan teknologi hijau di desa adalah cara terbaik dalam merespons perkembangan teknologi di tengah kebutuhan manusia akan proses industri yang alami, dan sebagai jawaban atas proses adaptasi perkembangan zaman. Teknologi hijau adalah teknik menghasilkan produksi yang tidak mencemari udara, dan berdampak positif pada penjagaan kelestarian alam.
Teknologi hijau juga akan menjadi cara alternatif dalam menjaga keberlanjutan kehidupan energi di muka bumi ini, baik energi fosil maupun non fosil. Studi tentang energi hijau menghasilkan kesimpulan bahwa ke depan inovasi teknologi hijau ini akan senantiasa dikembangkan, untuk menjawab kebutuhan konteks dan kebutuhan manusia di masa akan datang.
Lembaga riset dan teknologi desa
Pengelolaan potensi energi terbaharui di desa harus mampu ditopang dengan menghadirkan infrstrukur pendukung. Beberapa infrastruktur pendukung dalam hal pengelolaan potensi tersebut adalah adanya lembaga riset sebagai elemen baru dalam rekayasa struktur organisasi desa. Lembaga Riset di desa mempunyai peranan yang sangat sentral dalam mendorong proses penemuan potensi energi dan juga nantinya akan menjadi pusat penelitian dan pengkajian terhadap pengembangan hasil riset di desa.
Skema pengembangan lembaga riset desa bisa membangun sinergi dengan pusat-pusat penelitian secara eksternal seperti di lingkungan kampus, dan beberapa instansi lainnya yang mempunyai program pengembangan potensi desa. Salah satu contoh yang pernah dilakukan oleh politeknik negeri ujung pandang dan beberapa mahasiswanya dalam mendorong pemanfaatan teknologi alternatif di kabupaten Enrekang, seperti pembuatan PLTPH oleh mahasiswanya di kabupaten enrekang, pemberian produk penjemuran bawang merah di desa Mandalang Kab, Enrekang. Di daerah Cibinong Jawa program LIPI bekerja sama dalam implementasi bio village (cibinong sains center botanical gandeng), yang menjadi pusat penelitian bioteknologi di Bogor.
Beberapa program tersebut akan berjalan dengan maksimal dan efektif sekiranya ada lembaga riset di desa yang bekerja secara aktif dalam mengumpulkan data-data terkait potensi desa, dan membangun diskursus serta program bersama pihak kampus atau pihak lainnya, sehingga program yang hadir lebih jauh adalah program yang berbasis kebutuhan dan konteks desa. Seyogyanya dana desa yang jumlahnya berkisar 800 juta-1 Milyar per tahunnya diporsir sekian persen untuk pengembangan lembaga riset desa sebagai pusat penelitan, dan pengkajian potensi desa.
Kehadiran Lembaga Riset desa menjadi laboratorium dan referensi masyarakat dalam membangun perspektif tentang energi dan potensi desa. Kehadiran lembaga tersebut juga nantinya akan bertindak sebagai multiplier effect atas perubahan di desa. Selanjutnya adalah akan menjadi sarana untuk menyerap tenaga kerja baru di level lokal.
Sebuah daerah yang maju selalu dipengaruhi oleh seberapa jauh transformasi pengetahuan berkembang di dalamnya, yang berkonsekuensi pada meningkatnya indeks pembangunan manusia, dan berefek pada peningkatan kapasitas masyarakat dalam beradaptasi dengan zaman yang selalu mengalami percepatan perkembangan teknologi. Sehingga ke depan pembangunan desa mesti dibasiskan pada peringkat sistem, organisasi, dan infrastruktur kelembagaan desa yang akan menstimulasi pembentukan paradigma masyarakat, dan transformasi perkembangan ilmu pengetahuan di dalamnya.
Menjemput energi desa
Upaya menjaga ketahanan energi nasional ke depan mesti difokuskan pada pembangunan dan pengelolaan energi di desa. Salah satu grand tema yang bisa digalakkan adalah “Menjemput Energi di Desa”. Undang-Undang desa yang telah memposisikan desa sebagai hal paling utama untuk dibangun adalah apresiasi tertinggi dalam pembangunan desa ke depan. Dana desa, reformasi, resrukturisasi kelembagaan dan sistem pengelolaan desa yang termaktub dalam Undang-Undang desa mesti menjadi elemen pendukung yang paling utama dalam merespons, menggali, dan mengelola potensi desa.
Tentunya kita berharap bersama tentang wacana ” Menjemput Energi Desa “, akan terus di galakkan melalui road map dan platform yang kuat. Hal ini penting untuk menjadi gerakan bersama, sehingga ia menjadi perhatian publik sampai di level lokal. Selain itu, wacana ini dapat menjadi kampanye sosial dan kampanye policy (kebijakan) untuk mengajak dan membangun gerakan bersama masyarakat, pemerintah, NGO, dan kelompok civil society lainnya.
Revolusi mental yang menajadi platform nawa cita pemerintah hari ini, hendaknya dibarengi dengan terjadinya revolusi hijau. Revolusi hijau akan menopang terbentuknya kesadaran menjaga energi bagi individu-individu di negara ini. Revolusi yang bermuara pada revolusi paradigmatik. Karena dengan ini frame berfikir kita akan terbentuk sebagai upaya bersama dalam membangun perspektif baru bagi kemajuan Indonesia. Perspektif yang akan menjadi pendorong transformasi yang beradaptasi dengan lingkungan dan zaman, serta membangun kepekaan bersama alam. Sehingga Energi yang dimiliki bangsa ini mampu menjadi kekuatan yang akan membawa kecemerlangan bagi Republik Indonesia tercinta.
sember gambar: www.mongabay.co.id
Pemuda yang senang membaca dan berdiskusi ini, khususnya pada tema-tema public policy Sekarang aktif meneliti di Pusat Study dan Transformasi Indonesia (PUSARAN INDONESIA)