Setelah Berliterasi Lalu Apa Lagi?

Gerakan literasi berbasis komunitas akhir-akhir ini semakin marak diperbincangkan. Bukan hanya menjadi perbincangan, namun juga telah banyak terbentuk dan mengambil ruang di kalangan pelajar, mahasiswa, dan masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan kehadiran pelbagai komunitas literasi dari berbagai penjuru dalam acara Temu Komunitas Literasi “Selagi September: Sastra di Titik Temu” pada Sabtu, 16 September 2017 (malam minggu).

Sebagaimana yang dilansir di Rakyatku.com, Temu Komunitas Literasi  itu merupakan kegiatan temu komunitas literasi yang diprakarsai oleh empat komunitas literasi sastra Makassar, yaitu Pecandu Aksara, Arakata, Pembatas Buku, dan Serat Sastra UNM yang tentu juga bekerja sama dengan La Macca Creative Corner. Kegiatan ini juga merupakan salah satu bentuk gerakan literasi kreatif di sektor selatan Makassar. Sehingga salah satu bentuk kampanye media sosialnya adalah penggunaan hastag #jamaahkreatifsektorselatan.

Kegiatan ini terdiri dari empat jenis acara, yakni acara Talk Show yang bertema “Membangun dan Menjaga Napas Komunitas Literasi”, Creative Sharing, Music Accoustic, dan Pembacaan Puisi. Untuk acara Talk Show dimoderatori oleh Fachri Djaman, ST (Ghost Writer dan Pegiat Literasi di komunitas Pecandu Aksara) dan yang menjadi narasumber yakni Faisal Oddang (Sastrawan Nasional dan Penulis buku Puya ke Puya) dan Sulhan Yusuf (Direktur Paradigma Institute dan Founder Toko Buku Papirus).

Sebelum langsung pada pembahasan tema Talk Show, Fachri selaku moderator mengemukakan sebuah argumen yang kurang lebih memberikan indikasi ketidaksepakatan kepada Pemerintah Sulawesi Selatan khususnya Kota Makassar yang telah memberikan identitas Makassar sebagai “Kota Kreatif atau Kota Kuliner”. Karena bagi analisis Fachri, Makassar tidaklah memiliki warisan kreativitas atau warisan kuliner yang kokoh untuk dijadikan sebagai identitas nasional namun Makassar memiliki warisan literasi yang kokoh. Misalnya karya sastra terpanjang di dunia versi PBB yakni sastra La Galigo, warisan aksara Lontara dan warisan literasi lokal lainnya.

Warisan-warisan inilah yang seharusnya dilirik oleh Pemerintah Kota Makassar sebagai pijakan dasar untuk menjadikan Kota Makassar sebagai kota literasi. Selanjutnya, moderator ini juga mengatakan pernah melakukan riset komunitas di kota Makassar dengan hasil riset bahwa dalam sehari terdapat kurang lebih empat komunitas terbentuk. Dan ini menandakan bahwa gerakan literasi Kota Makassar semakin ramai dan semangat berkomunitas serta berliterasi mulai menjamur.

Fachri selaku moderator ini kemudian mengajukan kedua argumen tersebut—Makassar sebagai kota literasi dan riset tentang maraknya kelahiran komunitas—kepada kedua narasumber talk show untuk ditanggapi.

Sulhan Yusuf sebagai narasumber pertama yang menanggapi kedua hal tersebut dengan menyatakan bahwa ia tidak terlalu menggebu-gebu untuk menjadikan Kota Makassar sebagai kota literasi, sebab menurut Direktur Paradigma Institute ini, bahwa meskipun dalam sehari terdapat empat atau bahkan lebih komunitas terbentuk tetapi dalam sehari itu pula empat atau bahkan lebih komunitas juga mengalami kematian.

Sedangkan Faisal Oddang memberikan tanggapannya lebih pada fungsionalitas komunitas literasi yang marak tumbuh. Sastrawan yang sering disapa Bang Fais ini, kurang lebih menyatakan bahwa komunitas literasi yang terdapat di kalangan mahasiswa harusnya menjadi alternatif bagi mahasiswa untuk memasuki dunia literasi yang sebenarnya juga bisa didapat di organisasi lain maupun dalam kuliah. Sebab menurut Faisal Oddang, gerakan berbasis komunitas di kampus jauh lebih mudah diakses dibandingkan organisasi kampus yang lebih bersifat struktural.

Lebih lanjut, penulis buku Puya ke Puya ini juga menceritakan pengalamannya ketika berkunjung dan ingin menjadi anggota Perpustakaan Daerah di Sulawesi Selatan. Ia merasa mengalami kendala karena untuk menjadi anggota perpustakaan itu, orang harus memiliki surat keterangan dari RT setempat. “Bayangkan! Untuk menjadi pembaca buku, Anda mesti dipersulit oleh perkara-perkara demikian,” ungkap Faisal Oddang. Dan perkara-perkara semacam itu memang sangat marak kita jumpai dalam institusi pemerintahan dan pendidikan.

Selanjutnya berpindah ke wacana buta aksara. Sebagaimana diungkapkan oleh Fachri dari Kemendikbud bahwa Sulawesi Selatan menduduki peringkat ke-6 sebagai provinsi yang masih mengalami buta aksara. Dan ini kemudian dilemparkan kepada para narasumber dengan pertanyaan bagaimana peran komunitas literasi dalam mengatasi masalah buta aksara dan juga tuna menulis?

Menurut narasumber pertama—Sulhan Yusuf, bahwa sebelum menjawab bagaimana mengatasi masalah itu kita mesti menganalisis maqam atau tingkatan-tingkatan literasi seseorang atau suatu masyarakat. Setelah mengetahui tingkatan-tingkatan literasi itu, kita bisa memahami siapa yang seharusnya mengatasi masalah semacam buta aksara. Tingkatan yang dimaksud tersebut ada tiga: Pertama, tingkatan literasi yang sekadar bertaraf pada pembebasan seorang diri atau kelompok dari buta aksara dan tuna tulis. Kedua, tingkatan literasi yang bertaraf pada kebutuhan profesi semata. Dan yang ketiga, sebuah tingkatan literasi yang berdasarkan pada kebutuhan jiwa dan kecintaan pada ilmu pengetahuan.

Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa masalah yang timbul dari tingkat literasi pertama yakni buta huruf dan tuna aksara seharusnya diselesaikan oleh pemerintah. Karena pada dasarnya buta huruf terjadi karena kurangnya peran pemerintah dalam memberikan fasilitas dan dorongan kepada masyarakat bawah. Jadi menurutnya, pemerintahlah yang memiliki peran utama dalam mengatasi masalah itu yang kemudian tentunya juga komunitas literasi. Dalam artian komunitas literasi bertugas sebagai pendobrak pemerintah agar melakukan tindakan, dalam artian komunitas literasilah yang seharusnya selalu siap dan tanggap menyampaikan masalah dan solusi wacana buta aksara ini dan kemudian dieksekusi oleh pemerintah.“Kalau perlu komunitas literasi membawa linggis untuk menggerakkan pemerintah,” ungkap Sulhan Yusuf dengan nada canda.

Sedangkan masalah atau tugas yang mesti diselesaikan di tingkatan literasi kedua adalah bagaimana agar literasi tidak hanya sampai pada tingkatan ini. Bagaimana agar tingkatan kedua ini kemudian bisa sampai pada tingkatan ketiga, tidak hanya bertaraf pada profesi semata semisal mahasiswa membaca dikarenakan tuntutan membaca buku-buku kuliah, mahasiswa menulis yang dikarenakan tuntutan menulis dari tugas kampus serta dosen membaca dan menulis dikarenakan tuntutan untuk meraih prestasi profesi akademik tertentu. Namun harus sampai pada tingkatan ketiga yakni membaca karena merupakan kebutuhan jiwa baik intelektualitas maupun spiritualitas. Nah, tugas dosen dan pengajarlah dalam menyelesaikan masalah dan menanamkan literasi pada pelajarnya untuk masuk dalam literasi tingkatan kedua. Dan letak tugas komunitas literasi adalah berupaya menjadikan para peminat literasi pada tingkatan kedua menjadi peminat literasi yang menduduki maqam atau tingkatan ketiga.

Selain masalah tingkatan keliterasian seseorang atau kelompok, Sulhan Yusuf juga mengungkapkan gelombang gerakan literasi yang juga memiliki tiga tingkatan yakni: Tingkatan pertama, gerakan literasi yang gerakannya hanya sampai pada penyediaan buku-buku bacaan. Dalam artian, komunitas atau gelombang gerakan literasi yang masuk dalam kategori ini meliputi komunitas yang hanya memiliki program penyediaan buku-buku bacaan, hanya seputar melayani proses pinjam dan pengembalian buku. Tingkatan kedua, gerakan literasi yang bukan hanya melayani proses meminjam dan pengembalian buku namun juga melakukan kegiatan pengkajian, penelitian, penerbitan, dan program kegiatan keilmuan lainnya. Tingkatan ketiga, gerakan literasi yang yang berbasis segala bentuk kegiatan populer masa kini. Gelombang kegiatan literasi ini menjadikan literasi sebagai hal yang fleksibel dan harus ada di segala tempat. Jika dalam istilah Sulhan Yusuf, literasi diibaratkan sebagai teknologi flashdisk yang bisa dicolok di teknologi jenis apa saja.

Sehingga menurutnya, gerakan komunitas literasi seharusnya tidak hanya memiliki dampak pribadi  tapi juga berdampak untuk khalayak atau dalam istilah Sulhan Yusuf menyebutnya dua faktor: internal dan eksternal. Faktor internal yakni program literasi yang bertujuan untuk anggota komunitas itu sendiri, dan faktor eksternal yakni program literasi yang bertujuan untuk luar komunitas sebagai bentuk pengenalan dunia literasi untuk khalayak.

Selanjutnya tibalah pada pertanyaan bagaimana cara membangun dan menjaga napas komunitas literasi. Sebelum memberikan kesempatan kepada kedua narasumber, Fachri yang selaku moderator menyampaikan tips membangun dan menjaga napas komunitas literasi sebagaimana yang pernah ia dapatkan dalam suatu forum diskusi literasi yakni pertama, sinergitas antar pegiat komunitas literasi dan yang kedua, mind mapping. Mind mapping yang dimaksud di sini berupa visi, misi, dan kerangka gerakan komunitas literasi.

Untuk tema membangun dan menjaga napas komunitas literasi sebenarnya cukup menarik apa yang dikemukakan oleh Sulhan Yusuf. Menurut Sulhan Yusuf, ada dua hal yang mesti diperhatikan dalam membangun dan menjaga napas gerakan atau komunitas literasi: Pertama, perlu diperhatikan bahwa membangun gerakan/komunitas literasi jauh lebih mudah dibandingkan merawat dan menjaga komunitas literasi. Karena berdasarkan pengalamannya berkali-kali ia membangun komunitas literasi dan berkali-kali juga gerakan-gerakan literasi tersebut mengalami kematian. Sehingga menurut beliau salah satu penyebab kematian sebuah komunitas literasi adalah hilangnya ikon komunitas itu. Ikon yang dimaksud adalah pelopor atau pemantik semangat gerakan. Biasanya, hilangnya ikon ini terjadi ketika sosok ikon mendapatkan profesi atau pekerjaan sehingga meninggalkan komunitasnya, dikarenakan sosok ikon berpindah tempat sehingga meninggalkan komunitasnya atau bahkan hal lain yang menimpa sosok ikon sehingga komunitas literasi itu pun mengalami kematiannya.

Kemudian yang kedua, harus ada nilai atau asas yang ditanamkan dalam sebuah gerakan atau komunitas literasi. Semisal dalam komunitas literasi Paradigma Institute memiliki dua nilai atau asas penting yakni altruisme dan pluralisme. Altruisme merupakan asas Paradigma Institute yang berarti kesukarelaan, kerelawanan. Jadi dalam komunitas Paradigma Institute baik anggota maupun pengurus komunitas harus punya jiwa altruisme. Juga dalam tradisi menulis di media menulisnya (kalaliterasi.com), baik penulis yang mengirim tulisan maupun redaktur yang mengontrol tulisan yang masuk tidak mendapatkan upah. Sehingga inilah yang dimaksud penerapan asas altruisme. Namun sekadar informasi tambahan bahwa jika Anda mengirim tulisan ke medianya (kalaliterasi.com) maka sebagai imbalannya, pengurus akan membagikan tulisan Anda sehingga bisa mendapat pembaca yang memadai dari segala penjuru mata angin.

Sedangkan asas kedua—pluralisme yang dimiliki oleh Paradigma Institute berarti cinta keberagaman dan menerima segala bentuk perbedaan. Sehingga dengan adanya asas kedua ini, Paradigma Institute memiliki keberagaman anggota, mulai dari yang tingkatan religiusnya tinggi sampai yang rendah. Jika dalam ungkapan lisan Sulhan Yusuf “mulai yang rajin salat sampai pada yang malas salat”. Bukan hanya itu, bahkan pada latar belakang agama, profesi, umur, asal daerah yang berbeda-beda. Semuanya jadi satu, satu rasa pada rasa yang sama serta sama rata dalam komunitas literasi Paradigma Institute.

Asas yang dikemukakan oleh Sulhan Yusuf tersebut memberikan indikasi bahwa dalam membangun dan menjaga napas komunitas literasi diperlukan kesadaran dan upaya yang maksimal dari setiap personal dalam komunitas dan sinergitas pada asas-asas komunitas. Dan lebih penting menurut Sulhan Yusuf, gerakan atau komunitas literasi tidak mesti menyamakan asas atau nilai-nilainya dengan gerakan dan komunitas yang lain. Sebab, setiap gerakan dan komunitas literasi selalu memiliki identitas dan rasa tersendiri, sehingga berkomunitaslah, sehingga berliterasilah, sehingga temukanlah nilai dan rasa komunitas Anda pada komunitas Anda sendiri.

Lebih lanjut, pandangan Sulhan Yusuf di atas memiliki keterkaitan dan titik temu dengan pandangan Faisal Oddang yang menyatakan bahwa sebuah komunitas literasi akan berumur pendek jika anggotanya masih memikirkan dirinya sendiri. Dalam artian komunitas literasi akan berumur pendek jika kita memiliki alasan bergabung dalam komunitas hanya untuk mendapatkan bahan bacaan yang banyak, hanya untuk mendapatkan keterampilan menulis yang memadai. Karena setelah keduanya didapatkan maka kelanjutan nilai atau asas gerakan dalam berkomunitas ini pun dilupakan. Maka dari itu, kata Faisal Oddang harusnya lebih dari itu—bukan hanya membaca dan menulis untuk diri sendiri, tetapi juga harus memiliki dampak bagi orang lain di luar komunitas.

Seperti itulah ringkasan diskusi dari kegiatan Temu Komunitas Literasi Makassar yang bertema “Selagi September: Sastra di Titik Temu” yang kemudian dilanjutkan dengan Sharing Creative dari berbagai komunitas literasi, Music Acoustic persembahan dari Walasuji, dan Pembacaan Puisi dari berbagai perwakilan komunitas literasi.

Di akhir ringkasan ini, saya ingin menulis sebuah pertanyaan yang juga merupakan pertanyaan Faisal Oddang bahwa: Dalam periodisasinya, setelah masa perjuangan ada kemerdekaan, setelah Orde Lama ada Orde Baru, setelah Reformasi ada apalagi? Dalam literasinya, setelah kita berkomunitas, setelah kita membaca, setelah kita menulis, lalu apa lagi?

Salam Literasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *