Air Mata Perempuan dan Puisi Lainnya

Kisah Di Bau-Bau

 

Kisah itu tenggelam di balik pohon

Merintis bibir mahasiswa abal-abal

Mereka tercengang saat aku tertawa

Lalu mengerti  mengapa

 

Kuberi jalan agar kita tak bertemu buntu

Bahwa kisah punya bayaran yang setimpal

 

“Kau dimana?” tanyaku

“di Bau-Bau” kau jawab dengan nada tergesa-gesa

 

Bila tak ada orang, jadilah  kau orang itu

Peluang menjadi pertama

Agar kisah ini tidak tenggelam begitu saja

Kisah di bau-bau

 

Kau hardik

Kau cermat

Kemudian kau bongkar

Entah siang, entah malam,  entah pagi

Kau pilih waktumu, kau pilih tempatmu,

Dan kau hitung jumlah uangmu

 

Mungkin pisaumu sedikit tumpul

Pernah  terjadi sebelumnya

Sudah waktunya untuk ditajamkan kembali

 

Menelusuri kisah

Kisah yang tenggelam di balik pohon

Kisah di Bau-Bau

 

Agar dunia tahu

Dimana kita

 

 (Bau-Bau, Selasa, 18 April 2017)

 

 

Ceritamu Malam Ini

 

Malam ini kau bercerita

Tentang masa yang kau pilih sendiri

Waktu dan tenaga hilang tertimbun

Dan lagi-lagi kutemukan dikamar mandi

 

Seperti resah

Sepertinya lucu

Kutunggu malam ini seabad sudah

Kau tak peduli siapa aku

 

Mungkin kau rindu

Tapi tak perrnah sadar ini rindu namanya

 

Kau akhiri cerita dengan sentuhan hangat di pipi

Ternyata aku pun rindu

Rindu kecupan dan belaian

 

Aku menunggu kau kembali

Entah esok, entah kapan

Dan pada tutupan cerita masih ada kau

Masih ada rindu

 

(Bau-Bau, 27 Maret 2017)

 

 

Langkah Sebuah Pensil

 

Aku melangkah dengan sebuah pensil

Dan tintanya adalah  kekuatan yang tak terkira

Bahkan hingga nafas berpamit pulang

Tak sadar oleh harga-harga yang dibuat

 

Sejak tadi ku tatap gelap

Berteman dengan cahaya petir

Dalam halaman-halaman yang tak kunjung habis

Menjemput pulau di dunia lain

 

Setelah suaranya berdering membuyar

Menahan segala tangis dan rindu

Ia tak begitu tahu mengapa ku harus berdiam

Namun tetap berjanji memelukku dari jauh

 

(Jayapura, Jumat, 15 April 2016)

 

 

Air Mata Perempuan

 

air mata perempuan itu pahit

sepahit pisang mentah yang kau gigit tadi pagi

seolah tak ada lagi ketenteraman

kau umpat mereka satu per satu

pelan-pelan kau bunuh mereka

sesudahnya kau menangis membasuh diri

 

ini hujan sudah berusia senja

tenggelamkan wajah daun-daun yang baru mau tumbuh

mangkuk kosong yang kuisi dengan amarah

terasa sangat pahit

 

karena tetesan air mata perempuan

perempuan yang tenaganya hanya sebatang besi

 

(Bau-Bau, 30 Juni 2017)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *