Surat dari Kotak Besi Gunung Ballung Loe Maros

Kawan, maukah engkau mendengar cerita kami? Kisah kotak besi di gunung Ballung Loe, tepatnya di dusun Bara desa Bonto Somba kabupaten Maros. Berada di puncak gunung menjadikan kami terisolasi nan jauh dari hingar bingar kota metropolis. Tapi kami menolak menjadi pandir dan miskin. Kami bersyukur kepada Sang Pemberi Kehidupan atas kesederhanaan hidup. Dengan bersyukur, kami merasa lebih dekat dengan-Nya.

Kawan, dengarlah! Kotak besi yang kami maksud adalah sekolah. Sekolah di kota terbuat dari batu bata, bertingkat-tingkat, nyaman, sarana prasarana lengkap, dan pastinya punya banyak buku di perpustakaannya bukan? Sedang sekolah kami hanya sebuah balok kayu dan bambu-bambu yang berbentuk kotak. Yang diselimuti seng sebagai dinding. Sekolah yang dibangun secara swadaya oleh warga dusun Bara, terdiri dari tiga ruang kelas. Sekali lagi, kami bersyukur kepada Allah SWT karena kami sudah memiliki bangunan sekolah untuk belajar, walaupun hanya sebuah kotak besi. Daripada harus belajar di kolong rumah yang juga berfungsi sebagai kandang sapi seperti dulu.

Bangku sekolah kami dari bambu dengan meja dari papan, yang penting bisa menulis dan duduk dengan nyaman sahabat. Walaupun sesekali terganggu karena memperbaiki tempat duduk yang patah karena bambunya lapuk. Atau gerimis hujan yang menerobos lewat atap.

Lantai sekolah kami beralaskan tanah sahabat. Maka kami akrab dengan tanah air, dekat dengan langit pertiwi. Di kiri kanannya hutan pinus dan belukar. Bayangkan betapa asyiknya membaca, tetapi kami hampir tidak punya buku untuk dibaca. Jangankan buku pelajaran, buku tulis pun kadang hanya satu untuk semua pelajaran. Bahkan sebagian dari kami menenteng buku dalam plastik, atau menitipkannya dalam tas teman lain. Keterbatasan tersebut bukan alasan untuk tidak tersenyum. Tapi kami tahu, keberadaan tebing curam dan bencana longsor sesekali dapat merenggut jiwa kami. Tapi kami percaya Tuhan Maha Yang Pengasih akan melindungi hambaNya yang tekun menuntut ilmu, teguh menghadapi getirnya kehidupan, bersabar menghadapi ketidakadilan, dan kelaliman penguasa.

Sahabat, kealpaan pemerintah tidak menjadikan api semangat belajar kami padam. Tapi sebaliknya, menjadi pemantik tekad belajar kami. Dengan menanam harapan di masa mendatang kami dapat membawa perubahan bagi hidup dan kehidupan masyarakat dusun Bara. Memberikan pendidikan dan sekolah yang layak bagi generasi selanjutnya.

Dengan sandal jepit walaupun beberapa memiliki sepatu jarak 3 sampai 5 kilometer ikhlas kami tempuh, mendaki gunung, lewati sungai, dan menerobos hutan pinus sembari melukis mimpi di awan. Tekad menjadi pandai menjadikan lelah, hujan, dan panas tidak terasa. Tetapi sekolah kotak besi hanya memiliki dua orang guru, dengan jumlah kami yang ratusan. Sedang di kota-kota guru dengan label PNS berlimpah ruah.

Terletak sekitar 30 kilo meter dari mukim penduduk, maukah guru berkelas dengan sertifikasi dan gaji besar datang kesini? Ada seseorang, tetapi dia bukan PNS. Sabbu’na (baca: namanya) ibu Jannah. Dialah guru pahlawan tanpa tanda jasa, sang Umar Bakri milenial. Guru yang menolak dijajah materialisme dan pragmatisme. Ibu Jannah memangkas jarak, melipat waktu, membuang semua rasa lelah, dan meninggalkan keramaian kota. Tetesan keringatnya serupa dawat hingga kami pandai menulis dan membaca. Lewat ketekunannya kami dapat berhitung, mengenali huruf, dan angka-angka. Bayangkan, andai saja guru berstatus PNS mengajar disini, kami lebih cepat pandai. Tapi, sekali lagi kami bersyukur bisa sekolah, bisa belajar walau dalam keterbatasan.

Sahabat, kami juga ingin berbaris rapi di depan sekolah seperti yang kami lihat di televisi, sembari memandangi kain berwarna merah putih berkibar dengan gagahnya. Yang belakangan kami ketahui bahwa itulah bendera. Bisa saja kami memancangkan tiang bendera dari bambu di ladang, tapi kami tidak punya bendera pusaka dengan warna merah putih itu.

Dan setelah kedatangan kakak yang menamai diri penginspirasi dari sudut negeri, kami akhirnya bisa melihat bendera pusaka. Tidak ada lagi di antara kami yang akan bertanya, apa itu?, sembari menunjuk kain dua warna. Merah putih akan berkibar di tiang bambu depan kotak besi di puncak gunung. Dan 17 Agustus 2017 adalah upacara kemerdekaan kami yang pertama.

Kepada sang merah putih, hormaaaaaat..gerak! Berkibarlah wahai sang saka merah putih. Di bawah panjimu kami sandarkan cita-cita kemerdekaan yang dijanjikan. Garudaku, terbanglah bersama ratusan cita-cita kami. Bawalah ia ke pangkuan ibu pertiwi, agar kami bisa kembali kepelukan tanah air yang kami cintai dengan bangganya. Bendera dan garudaku yang pusaka, kabarkan kepada bapak-bapak berdasi di parlemen dan gedung-gedung mewah itu, kami ada. Dan kami adalah Indonesia.

***

Di sudut negeri, masih saja terdapat rakyat yang bukan lagi seolah, tapi memang tersisihkan dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya fasilitas pendidikan dan kesehatan yang sangat minim. Sebagaimana yang dialami ratusan anak kotak besi dusun Bara desa Bonto Somba kabupaten Maros. Terisolasi dari keramaian penduduk, menjadikan kelompok masyarakat tersebut seperti ‘siluman’ yang keberadaanya hanya masuk kategori lain-lain dalam data sensus penduduk.

Kalau masyarakat demikian masih ada, jauh di puncak gunung, pedalaman atau pesisir, apa yang sebenarnya ditulis dan dilaporkan pemerintah desa kepada camat, camat ke kabupaten, lantas ke provinsi, sehingga kita menjadi buta akan kondisi rakyat?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *