Bertahun-tahun yang lalu, ada sebuah buku, berjudul, Aku Bagian Umat Aku Bagian Bangsa, ditulis oleh Deliar Noer, seorang ilmuwan politik pertama di Indonesia. Sesarinya buku Deliar itu, memotret perjalanan dirinya, semacam otobiografi, dalam menjalani hidup dan kehidupan sebagai umat Islam, sekaligus selaku warga negara.
Apa pentingnya saya mengajukan buku Deliar ini? Sebab, belakangan ini, soal keislaman dan kebangsaan menjadi perdebatan kembali. Tidak banyak dari warga bangsa ini yang mampu menempatkan dirinya sebagai penganut agama Islam, sekaligus anak bangsa. Atau sebaliknya, anak bangsa yang memeluk agama Islam.
Rupanya, soal keislaman dan kebangsaan ini, bukanlah soal Deliar seorang. Ada cendekiawan lain, yang telah menarik gerbong diskursus ini, semisal Nurcholis Madjid, lewat bukunya Islam Keindonesiaan dan Kemoderenan. Abdurrahman Wahid melalui Islam Kosmopolitan,dan Ahmad Syafii Maarif, terpatri dalam Fikih Kebhinekaan. Karya-karya mereka, mencerminkan pikiran-pikirannya, tentang hubung kait, bagaimana berlaku sebagai seorang muslim, sekaligus selaku warga bangsa.
Semestinya, perkara ini sudah selesai. Final di asas berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat pada Ideologi Pancasila. Namun, malah sebaliknya yang mengemuka, bangkitnya kembali politik identitas, yang salah satu bentuknya bermuara pada memperhadapkan antara keislaman dan kebangsaan. Dan, lebih dari itu, akibatnya jatuh ke penyederhanaan identitas, misalnya, ketika pilpres, pilkada, pilbub, dan “pil-pil” lainnya, seolah ada kubu keislaman dan kubu kebangsaan. Sehingga, stigma anti Islam, terkadang menjadi palu godam yang cukup ampuh memenangkan pertarungan kepentingan politik kekuasaan.
Bentuk paling mutakhir dari kisruh ini, termanifestasi pada bulan September 2017. Saya menabalkannya sebagai bulan panas. Bulan yang menggerahkan suasana kebatinan bangsa Indonesia. Betapa tidak, pada bulan inilah, sebagai muslim dan sebagai warga bangsa, terpidana pada warisan masa silam. Tepatnya, terterungku oleh dua tragedi besar. Sebagai negera mayoritas muslim penduduknya, tragedi kemanusiaan, pembantaian cucu kinasih Nabi Muhammad SAW, Imam Husain bin Ali, di Padang Karbala, hingga kini, masih saja menyisakan warisan konflik antara pemeluk Islam Sunni dan Islam Syiah.
Pada konteks kenegaraan, tragedi 65, yang ditengarai sebagai ulah PKI yang ingin melakukan kudeta, pun masih menjadi polemik, yang belum berkesudahan. Dialog rekonsiliasi kebangsaan sudah dirintis, tapi jalan buntu masih menghadang. Dahsyatnya, karena dua tragedi besar ini, yang melibatkan rakyat selaku muslim dan warga bangsa, beririsan tanggal peringatannya. !0 Muharram, hari Asyura, bertepatan dengan tanggal 30 September. Panas membara bukan? Maka tak heranlah, jikalau banyak seruan, provokasi, teror, dan sejenisnya, di penghujung bulan ini, berbunyi,”Bebaskan NKRI dari PKI dan Syiah.”
Bagaimana layaknya mendaras warisan tragedi ini? Cara membaca penting untuk diajukan. Waima, meski tahun-tahun mendatang, momentum peringatannya tidak lagi beririsan, akan selalu muncul masalah warisan ini. Itulah watak dasar dari suatu peristiwa yang tragis, menjadi tragedi, lalu diwarisi oleh generasi berikutnya dari anak bangsa ini. Tragedi, bagaikan drama kehidupan, yang di dalamnya, kesedihan, kesengsaraan, kematian, kegetiran, dan nasib buruk lainnya, menyatu dalam kumparan tragisnya hidup dan kehidupan.
Pewarisan tragedi sebagai peristiwa, ada dua bentuk pangkalnya. Melalui cerita (story) dan melewati sejarah (history). Cerita dari suatu peristiwa yang tragis, tragedi, diceritakan sebagai upaya pewarisan, bersifat subjektif. Makin subjektif suatu cerita, maka makin berhasillah pewarisan itu. Karenanya, lapangan cerita, menjadi sangat luas, seluas imajinasi para pencerita.
Lain halnya dengan sejarah, haruslah bersifat objektif, karena dilapikkan pada upaya langkah-langkah secara ilmiah, buat menentukan peristiwa itu berbentuk sejarah. Metode ilmiah, sebagai metodologi ilmu pengetahuan, yang rasional-empiris, akan menentukan peristiwa tragis, tragedi, dalam katagori sejarah. Ilmu pengetahuan akan bekerja melalui pembuktian teori berdasarkan fakta yang ditemukan, atau fakta-fakta bisa dijelaskan secara teoritis.
Karenanya, bersetubuhnya teori dan fakta, menjadi kebenaran ilmiah, di situlah sejarah menjadi objektif kebenarannya. Dan, sebagai catatan, kebenaran ilmu pengetahuan akan selalu berkembang seiring dengan penemuan-penemuan baru, baik secara teoritis maupun secara faktual. Dengan begitu, kebenaran sejarah, adalah kebenaran yang dinamis, sebab menyandarkan dirinya pada cara kerja metode ilmiah, sebagai metodologi ilmu pengetahuan.
Muara dari cara membaca ini, tiba pada simpaian pahaman, bahwa cerita disampaikan untuk dihayati, sejarah dituliskan buat dipelajari. Cerita untuk diresapi dalam hati, sementara sejarah dikritisi lewat pikiran. Cerita menggugah hati, sejarah menggugat pikiran. Cerita mewujud pada karangan fiksi, sejarah mengada di tulisan nonfiksi. Pada konteks inilah, uraian cerita peristiwa tragis akan suatu tragedi menemukan bentuknya dalam puisi dengan ragam genrenya, cerita berupa-rupa bentuknya, dan novel dengan aneka motifnya. Adapun sejarah, yang mengolah peristiwa tragis, tragedi, tertuang dalam penulisan opini, artikel, esai, dan buku sejarah. Makanya, tuangan sejarah ini, akan selalu menimbulkan perdebatan, seiring dengan dinamisnya perkembangan temuan-temuan baru, yang bisa diverifikasi lewat metodologi ilmu pengetahuan.
Cerita bisa menjadi titik awal dalam menempuh penelusuran sejarah, sebaliknya sejarah bisa menjadi inspirasi akan lahirnya sebuah karya dalam bentuk cerita, tepatnya, karya sastra. Di sinilah titik krusialnya, karena kebanyakan orang sulit membedakan, antara cerita dan sejarah. Singkatnya, cerita bersifat subjektif sementara sejarah berwatak objektif.
Bisa saja suatu cerita begitu menarik, dan diyakini kebenarannya, sebagai kebenaran subjektif, namun tumbang dihadapan cincangan kebenaran objektif sejarah. Maka, ketika ada sejarah yang ditulis oleh para pemenang, misalnya, buat melanggengkan hegemoni wacana kekuasaannya, namun isinya lebih berbentuk cerita yang tidak bisa disaring lewat metode ilmiah, sesungguhnya ia hanya sebuah cerita yang membajak kebenaran sejarah.
Sebagai bangsa Indonesia, umat Islam kini, tepatnya di hari-hari terakhir ini, terterungku oleh dua peristiwa, yang lebih pas jika dinamakai sebagai suatu tragedi, dalam bernegara dan beragama. Keduanya, memanaskan situasi kekinian dan kedisinian. Tragedi 65, yang hingga tulisan ini saya bikin masih saja panas perlagaan wacananya. Pun, yang kedua, tragedi Padang Karbala. Sebagai umat Islam, tragedi ini, masih menyisakan luka hingga detik ini. Keduanya, dalam genggaman umat Islam, ibarat mengenggam bara.
Pemutaran kembali film G30S/PKI, yang menuai perdebatan, mungkin sudah kita bisa daras dalam kerangka, mana cerita, dan mana sejarah. Membaca film ini, lewat menontonnya, akan ketahuan, motif pembuatannya, dan jenis filmnya. Demikian juga dengan peringatan hari Asyura, baik yang dilaksanakan oleh kaum Sunni maupun Syiah, dalam dedahan penyelenggaraannya, bisa kita pastikan, mana cerita dan mana sejarah.
Namun satu hal yang sudah pasti, bahwa Tragedi 65 dan Tragedi Padang Karbala adalah peristiwa yang faktuil. Masalahnya terletak pada pewarisannya, apa melalui cerita (story) atawa melewati sejarah (history). Keduanya absah untuk menjadi mediumnya. Cerita dimaksudkan sebagai pengingat, agar muncul penghayatan. Sejarah dimaknai selaku pemantik, biar hadir pembelajaran. Makanya, ejalah warisan tragedi ini. Hanya pencerahan intelektual-spirituallah yang mampu membedakan rasa keduanya, seperti upaya rintisan yang telah dilakukan oleh para cendekiawan, sebagaimana saya tabalkan di awal tulisan ini.
Sumber gambar: https://pixabay.com/p-157719/?no_redirect
Pegiat Literasi dan Owner Paradigma Group. CEO Boetta Ilmoe_Rumah Pengetahuan Bantaeng. Mengarang buku Sehimpunan Puisi AirMataDarah (2015), Tutur Jiwa (2017), Pesona Sari Diri (2019), Maksim Daeng Litere (2021), dan Gemuruh Literasi (2023). Kiwari, selaku anggota redaksi Kalaliterasi.com.