Saudara Serantau

Seperti biasa, hari-hariku di tempat kerja sibuk mengurus tamu. Baik yang sekadar datang bersilaturahim dengan pimpinan maupun yang secara kelembagaan memiliki hubungan kerja saling mendukung dan hubungan berkenaan aturan-aturan negara.  Misalnya evaluasi berbagai kegiatan di perusahaan dan dukungan perbaikan capaian dari target-target yang ingin dicapai ke depan paling banter setahun ke depan.

Hari ini terdapat tiga gelombang tamu yang sedari kemarin tim kami mengatur jadwal kedatangannya agar tidak bersamaan untuk mempermudah kegiatan. Yang tidak kunyana adalah dari tiga kelompok tamu yang betandang hari ini masing-masing terdapat orang yang sekampung denganku. Artinya, kami-kami yang berstatus perantau ketemu saudara sekampung di perantauan. Jadilah pertemuan silaturahim yang mengundang rindu kampung halaman dan sanak keluarga. Nostalgia kampung halaman seolah tak hendak usai.

Teringat buku Diaspora Bugis di Alam Melayu Nusantara. Sebuah buku kumpulan tulisan dengan beragam hasil riset berkenaan dengan diaspora orang-orang Bugis ke pelbagai daerah dan kawasan di Nusantara. Menurut Augene Ammarell, Asisten Professor Antropologi di Universitas Ohio, mengatakan bahwa beberapa rombongan Bugis di Kerajaan Gowa dan Bone, seperti Daeng Parani, Daeng Marowa, yang juga disebut Daeng Manambung, Daeng Marewa, Daeng Chela (Cella’), Daeng Kamboja telah berhasil mempromosikan diri mereka ke Kerajaan Johor, Selangor. Daeng Parani misalnya Sultan Abdul Djalil Djohor telah menunjuknya menjadi raja yang berkuasa 1772.

Kemudian, sebagian orang Bugis melakukan perjalanan ke daerah timur Nusantara seperti Kepulauan Maluku, Ambon, dan Ternate. Melakukan ekspedisi bisnis teripang dan rempah-rempah. Pun di daerah tetangga, seperti Kendari, Palu, dan Gorontalo dan sekitarnya yang ketika itu masih satu wilayah dengan Sulawesi Utara. Dalam penelitian yang dilakukan, Moh. Fahri Yasin, menceritakan secara detail bagaimana diaspora Bugis di kawasan tersebut menempati lima kampung hingga kini beranak pinak dan memengaruhi perkembangan peradaban di sana. Di antaranya, kampung Bugis, Bonedaa, Tamalate, Bone Bolango, dan Suwawa.

Berdasarkan cerita rakyat Suwawa yang ditulis oleh Daiton dan Yusuf (1980; 21). Kedatangan awal orang Bugis ke Gorontalo dipimpin oleh Putri We Tenri Rawe dari Kerajaan Luwu dan termasuk 40 orang dayang-dayangnya pada abad XIV, atau sekitar tahun 1327. Kedatangan Pangeran ini disebabkan oleh dua dugaan yang berbeda. Dugaan pertma mengatakan bahwa rombongan ini datang ke Gorontalo karena ayah We Tenri Rawe ingin memisahkannya dari saudara laki-lakinya, Sawerigading yang mencintainya, dan dugaan kedua adalah karena penyakit yang dideritanya. Ketika perahu We Tenri Rawe terdampar dan berlabuh di Sinandaha, di dekat dataran tinggi Bawanpio dan perahunya itu mengarah ke muara dan berhenti di Bundadaa. Pangerang Rawe dan rombongannya pada saat itu disambut oleh Raja Suwawa. Sebelum tercetusnya perang antara Raja Mooduto dan Raja Polumuduyon di kerajaan Bolaangmongondow, Raja Mooduto ditugaskan untuk memberikan lahan bagi pangeran Rawe dan menjadi raja pertama di Bone Suwawa pada tahun 1350. Tempat ini sekarang disebut Bonedaa yang berlokasi di Kecamatan Suwawa, dua kilometer dari ibukota Provinsi Gorontalo (Diaspora Bugis, di alam melayu Nusantara, Halaman 192)

Termasuk tempatku mencari nafkah kini, di bagian timur negeri ini. Menjadi suatu hal yang tak boleh aku mungkiri bahwa perjalanan selama bertahun-tahun jejakkan kaki ke berbagai daerah di negeri yang indah ini. Dimulai dari kota hingga ke pelosok-pelosok desa kutemukan orang-orang Bugis bermukim secara permanen dan sekadar hanya mengais nafkah secara temporer.

Suatu hari aku baru saja memijakkan kaki di sebuah kampung dan mencari nafkah di sebuah perusahaan yang domisili di pinggir sebuah bukit terpencil jauh dari keramaian. Kala menghadiri sebuah pertemuan di sebuah desa tak kunyana kutemukan orang-orang Bugis yang tak pernah sekalipun menginjakkan kakinya di tanah leluhurnya. Bapak itu sudah berumur setengah baya dan telah menjadi kepala desa di kampung seberang setelah mengikuti sebuah prosesi pemilihan kepala desa secara demokratis. Kala kucecar pertanyaan berkenaan tanah leluhurnya berceritalah ia tentang kampung leluhurnya yang ternyata ia berasal dari negeri Arung Palakka. Ayahnya seorang militer yang bertugas di kampung tempatnya bermukim kini hingga ajal menjemputnya. Jadilah, kepala desa itu beranak pinak di sana dan telah mempersunting perempuan lokal idaman hatinya, hingga kini telah memiliki momongan tiga orang.

Di daerah saya bermukim mengais nafkah saat ini, di ujung utara Sulawesi, penyebaran orang-orang Bugis terbagi atas tiga kategori. Yang pertama orang-orang yang berdiaspora secara perorangan, baik karena tugas mutasi dari kantor dan juga karena merantau secara perorangan mencari nafkah di pelbagai kota dan pelosok. Yang kedua, orang-orang Bugis yang berdiaspora bersama keluarga utuh dalam rangka mengais nafkah sebagai pedagang. Mereka membawa sanak-saudara dari kampung moyangnya ke daerah-daerah baru jauh dari kampungnya dan membangun bisnis dan kemudian menjadi “kerajaan bisnis” yang cukup besar di kampung rantaunya. Kemudian kategori ketiga, adalah orang-orang Bugis yang entah sengaja atau tidak melakukan diaspora secara masif sehingga di tempat rantaunya membentuk sebuah koloni yang ikatan persaudaraannya sangat kuat. Koloni-koloni ini kebanyakan bermukim di kawasan pesisir laut. Dan tentu mata-pencahariannya kebanyakan di laut. Baik sebagai nelayan dan yang lainnya.

Selain koloni-koloni yang kebanyakan terdapat di kawasan pesisir pantai itu. Orang-orang Bugis-Makassar khususnya para perantau yang berasal dari Sulawesi selatan juga mengikatkan diri dalam sebuah oraganisasi yang secara kuantitas jumlahnya lebih besar dan organisasinya dikelola secara modern. Yakni, KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan). Oragnisasi ini yang menghimpun para perantau dari empat etnis besar di Sulawesi Selatan, yakni Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar sebelum memisahkan diri menjadi provinsi sendiri yakni Sulbar (Sulawesi Barat). Secara psikologis, ekonomi, dan politik, organisasi ini cukup kuat di perantauan. Dalam event-event yang dilakukan nampak solidaritasnya sangat bagus. Secara ekonomi nampak bahwa nyaris tak ada perantau yang terlalu terpuruk tapi rata-rata eksis. Secara politis juga cukup mengakar. Terbukti di beberapa kabupaten dan kota bahkan propinsi terdapat anggota KKSS yang duduk di legislatif.

Capaian-capaian di atas menurutku banyak ditentukan oleh prinsip-prinsip yang mengakar pada tradisi empat etnis yang bergabung dalam KKSS itu. Yang paling populer adalah prinsip “di mana tanah dipijak di situ langit dijunjung” dengan makna kurang lebih, bila orang-orang Bugis bermukim di sebuah kampung atawa negeri maka mereka siap membangun daerah itu. Mereka akan berkalang tanah di sana hingga daerah rantaunya berkembang dan maju bersama para warga asli di kawasan itu. Bahkan lebih jauh mereka beranak pinak di rantaunya dengan mempersunting orang-orang lokal. Di beberepa koloni yang aku temukan dan sempat berinteraksi, pada level generasi ketiga sudah ada yang belum sempat menginjakkan kakinya di nergeri moyangnya di tanah Bugis dan Sulawesi Selatan pada umumnya walaupun secara internal di keluarganya masih manggunakan bahasa ibu atawa bahasa asal daerahnya.

Dalam perjalananku ke sebuah desa pesisir masih di daerah Bolaangmongdow bagian selatan aku mampir di sebuah rumah makan untuk bersantap siang walaupun waktunya agak lewat sedikit karena telah jelang sore. Belum kusentuh kursi setelah memilih ikan untuk dibakar kudengar percakapan dua orang anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) sedang ngobrol santai. Nampaknya mereka berdua baru saja menyudahi santap siangnya. Obrolannya berdialek orang dari selatan atau dari Sulawesi Selatan. Kudekati dan kuulurkan tangan sembari meperkenalkan diri dan keduanya semringah menerima ulur tangan dan perkenalanku. Akhirnya obrolan pun berlangsung akrab dan mengalir. Di ujung cerita seorang bernama, Sangkala masih kerabat ibuku dari Maros berpangkat sersan satu. Sedang, satunya lagi, Fitrawan berpangkat letnan satu, sekampung dengan isteriku dari Soppeng.

Perhelatan psikologi para perantau Bugis tak hentinya menyemai kebahagiaan. Kemandirian dan keterbukaan yang senantiasa membuat masyarakat lokal menerimanya dengan baik sepertinya tak lepas dengan tiga falsafah, yang sadar maupun tidak, sepertinya menyata di rantau. Dengan falsafah tiga cappa itulah, cappa lila, cappa badik, dan cappa laso. Cappa lila (ujung lidah) bermakna argumentasi yang santun atawa bertutur bajik. Cappa badik (ujung badik) bermakna keberanian yang sekaligus kebijaksanaan dalam setiap pengambilan keputusan. Cappa laso (ujung kelamin), yang bermakna apresiasi untuk menjadi bagian dari masyarakat asli (lokal) dengan jalan kawin-mawin dengan masyarakat setempat.

Sumber gambar: https://pbs.twimg.com/media/BxtxgdGIUAEK6xk.jpg

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *