Mengenal Diri dengan Merasakan Gerak Substansial Mulla Shadra

Konsep Wihdatul Wujud Ibnu Arabi telah banyak digunakan dalam dunia tasawuf sebagai awal pijakan untuk menjelaskan hubungan antara hamba dengan Tuhan sebagai hubungan ketunggalan. Suatu hubungan yang membuat lebih terang betapa dekatnya hamba dengan Tuhan, bahkan melampaui relasi yang berunsur jarak dan waktu. Nuansa konsep Wihdatul Wujud yang disodorkan oleh Mulla Shadra dengan tetap menggunakan jejak pemikiran Ibnu Arabi dan illuminasi Suhrawardi, yang memunculkan teori ‘gerak substansial’, membuat konsep ini lebih bermuatan ‘operatif’. Maksudnya, dengan bantuan teori gerak substansial Mulla Shadra, konsep Wihdatul Wujud dan illuminasi mendapat sejenis “manual operatif” untuk dibumikan dalam dunia nyata, dunia eksternal, termasuk ke dalam dunia tasawuf.

Sekalipun sangat simplifikatif, untuk kepentingan tulisan ini setidaknya ada empat hal yang harus mendapat perhatian khusus, yaitu: konsep Wihdatul Wujud, cahaya dan pancarannya, konsep sebab-akibat, dan teori gerak substansial itu sendiri. Pertama, konsep Wihdatul Wujud. Wujud itu tunggal dan meliputi. Segala sesuatu yang ada, apakah di alam internal atau di alam eksternal, keberadaannya tak lepas dari keberadaan wujud yang tunggal itu. Dalam dunia sufistik, Wihdatul Wujud dimaknai sebagai Tuhan Yang Mahatunggal, tiada wujud lain selain Dia, sehingga Ia adalah Yang Maha Meliputi segala wujud yang ada. Kalau pun ada wujud lain selain Wujud-Nya, maka wujud tersebut hanyalah ‘manifestasi’ dari Wujud-Nya dan bukan Wujud-Nya itu sendiri. Jadi hubungan hamba dengan Tuhan adalah hubungan Wujud dengan manifestasinya. Hamba tak punya wujud, akan tetapi hanya penampakan dari Wujud-Nya, semata manifestasi.

Kedua, cahaya dan pancarannya. Dalam dunia tasawuf, tamsil antara Tuhan dengan hamba ibarat cahaya dengan pancarannya. Tuhan sebagai Yang Mahacahaya dan hamba adalah pancaran dari Yang Mahacahaya tersebut. Hubungan antara Tuhan dengan hamba adalah hubungan antara cahaya dengan pancarannya. Hamba bukanlah pemilik cahaya, akan tetapi kehadirannya semata merupakan pancaran dari Yang Mahacahaya. Dalam konteks ini, secara hakiki yang ada hanya Tuhan semata sebagai Sumber sekaligus Pemilik Cahaya dan hamba tiada karena ia tiada lain selain merupakan pancaran dari Cahaya-Nya.

Ketiga, konsep sebab-akibat. Dalam sorotan teori wujud tunggal, hanya sebab yang sesungguhnya memiliki wujud, sedangkan akibat hanya memperoleh kelimpahan wujud dari wujudnya sebab. Oleh karena itu akibat bukanlah pemilik wujud, wujudnya hanya efek dari keberadaan wujud sebab. Dengan demikian keberadaan akibat bergantung murni pada adanya sebab. Tuhan sebagai Yang Mahasebab, Dia-lah Sumber sekaligus  Pemilik Wujud sedangkan hamba semata hanya kelimpahan dari Wujud-Nya. Dengan demikian, kebergantungan hamba pada Tuhannnya adalah kebergantungan wujudiah murni. Secara wujudiah, hamba tak mungkin ada tanpa kehadiran Yang Mahawujud dan hamba sama sekali bukan pemilik wujud. Kehadiran hamba dan segala sesuatu murni bergantung langsung pada Wujud-Nya.

Keempat, gerak substansial. Gerak substansial adalah berubahnya yang potensial menjadi aktual. Pergerakan ini mesti bersifat gradatif karena perubahan dari potensi ke aktual tidak dapat dikumpulkan dalam satu waktu. Artinya, perubahan dari potensi sempurna menuju aktual sempurna memakan waktu, dan setiap penggalan waktu tersebut menunjukkan tahap-tahap perubahan. Tahap-tahap perubahan per waktu inilah menunjukkan gradasi perubahan tersebut. Perubahan ini adalah nyata dan terjadi di dunia nyata. Tidak mungkin gerak perubahan nyata ini hanya muncul di permukaan atau di luaran saja, pasti ada sumbernya. Dan, sumber tersebut ada pada substansinya, pada jauharnya. Pada substansi bersemayam gerak dinamis secara azali, yang memungkinkan segenap wujud untuk memanisfestasi, segenap cahaya untuk memancar dan segenap sebab untuk melahirkan akibat. Gerak substansial ini membuat jelas proses kehadiran manifestasi dari sumber wujudnya. Gerak substansial ini juga yang menjadikan terang kerja cahaya dengan pancarannya. Gerak substansial ini pula yang membuat jelas proses hubung-kait antara sebab dengan akibat. Yang membuat semua konsep itu beroperasi dan merealisasi adalah gerak substansial.

Dalam hidup ini tiada yang tanpa gerak, semuanya berubah dan berubah, dan perubahan itu bersumber dari gerak dinamis yang ada dalam substansi kehidupan, yang berasal dari Dia Yang Maha Menggerakkan. Gerak substansial merupakan gerak menyempurna yang mengantarkan setiap sesuatu ke kesempurnaannya. Gerak yang menyerupai kerinduan yang mengantarkan perindu kepada yang dirindu dan rasa cinta sang pencinta kepada yang dicinta . Yaitu, rasa rindu manifestasi untuk kembali menyatu dengan wujudnya dan rasa rasa cinta wujud untuk merangkul erat manifestasinya. Juga, rasa rindu pancaran cahaya untuk kembali ke haribaan sumbernya dan rasa cinta sumber cahaya untuk menyatu-tubuh dengan pancarannya. Demikian pula, rasa rindu akibat untuk kembali kepada sebab dan rasa cinta sebab untuk senantiasa mengirim hidup pada akibat. Gerak substansial menjadi kekuatan  nyata bagi manunggalnya wujud dengan manifestasinya, pancaran cahaya dengan sumbernya, juga pada sebab dengan akibat.

Perubahan substansial menyata dan menyatu pada perubahan eksternal yang merupakan titah dari Dia Yang Maha Menggerakkan. Dalam diri dan di luar diri penuh dengan perubahan-perubahan, dan setiap perubahan itu adalah kehadiran-Nya yang nyata. Pada darat dan laut, pada langit dan bumi, pada segala di luar diri terjadi perubahan dan semua itu adalah kehadiran-Nya yang nyata. Pada mata, telinga, tangan, kaki, jantung, hati dan pada hidup bahkan seluruh dalam diri senantiasa  terjadi perubahan dan itu menunjukkan kehadiran-Nya yang nyata. Semua itu menjadi nyata karena semua yang ada, termasuk hamba, bergantung murni pada Wujud-Nya melampaui batasan ruang dan waktu. Betapa indahnya jika lelakon syariat merupakan lelakon gerak substansial yang dirasakan kehadirannya dengan hati yang jernih dan terpahamkan dengan pikiran bersih.

 

Sumber gambar: http://4.bp.blogspot.com/-JdrRF7JPttI/TiAcEouBgnI/AAAAAAAAAMY/FSJqDQCyrd4/s1600/mulla-sadra1.jpg

  • Sewaktu putri pertama kami berusia tiga tahun, ia mengalami serangan kegagapan dalam berbicara. Ia aslinya ceriwis, banyak tanya, bahkan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang ia lihat aneh atau tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di kepalanya. Misalnya kenapa tante A begini, sedangkan tante B begitu. Kenapa teman-temannya memanggil orangtuanya dengan bapak dan ibu, sementara ia…

  •   Iduladha memiliki makna kembali berkurban, ditandai dengan penyembelihan sejumlah hewan ternak sebagai simbol pengorbanan seseorang. Kurban dan korban berbeda menurut KBBI. Kurban diartikan persembahan kepada Allah seperti biri-biri, unta, dan sebagainya yang biasa dilakukan saat lebaran haji. Sedang arti korban adalah pemberian untuk menyatakan kebaikan, kesetiaan, dan sebagainya. Makna lainnya, orang/binatang yang menderita/mati akibat…

  • Tradisi nyekar merupakan laku purba pada sebagian besar masyarakat kita. Tradisi ini makin kuat pengaruhnya manakala dotrin agama ikut menguatkan.  Di sebagian masyarakat, utamanya di kampung-kampung menjadikan nyekar sebagai wahana memelihara kualitas spritualitas, tentu dengan ragam ritual di dalamnya. Tradisi  berabad-abad lamanya ini, sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat kita, hingga dipercaya membawa keberkahan hidup. Dari…

  • Ada apa dengan perempuan menulis? Apakah ada sesuatu yang istimewa? Dalam pemahaman saya, potensi laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan menulis itu sama saja. Meskipun budaya dan lingkungan setempat tetap berpengaruh pada seberapa pesat berkembangnya potensi tersebut. Bersyukurnya saya termasuk kelompok penganut paham “senang bergerak dengan semangat yang ada di dalam diri, tidak mau dipengaruhi…

  • Kemarin Pancasila dirayakan kelahirannya. Begitulah kebiasaan sebuah bangsa yang gemar dengan seremonial. Segalanya mesti dirayakan, meskipun seringkali tampak kering makna. Sebetulnya tidak salah, namun persoalannya setelah perayaan itu segalanya kembali ke setelan pabrik “lupa pancasila”. Faktanya kita mesti terus terang mengakui bahwa Pancasila seringkali kalah dihadapan kekuasaan, kapital, korupsi, intoleransi, kekerasan, perusakan alam, dan beragam…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221