Anak-anak Hilang

Akhir-akhir ini negeri kita dilanda krisis keberagaman. Setiap perbedaan sekecil apa pun dengan mudah disikapi dengan reaksi yang berlebihan. Hingga terkadang berlarut-larut dan berkembang keluar meninggalkan akar masalah yang sebenarnya. Setiap orang begitu gampang tersulut, marah, sehingga melahirkan perilaku-perilaku yang tak lagi saling menghargai kemanusiaan satu dengan lainnya.

Pancasila kembali dipertanyakan kepatutannya sebagai dasar negara, anak-anak pun ikut menjadi bingung dengan situasi yang terjadi. Sesama orang dewasa saling menyudutkan, antar kelompok saling menegasikan, tak ada yang benar kecuali kelompoknya sendiri.

Dalam situasi serba kalut seperti ini, keluarga menjadi satu-satunya rujukan paling layak untuk menjadi tolok ukur kebenaran dan jitu yang diharapkan dapat dipercayai oleh anak-anak. Karena orangtuanya tidaklah mungkin berbohong kepadanya. Terlebih segala informasi baik benar maupun salah semuanya dapat diperoleh dengan mudah dari sumber media internet. Bukannya anak semakin tercerahkan justru semakin terperosok masuk ke dalam rimba informasi yang berpotensi menyesatkan. Tanpa ada perimbangan masukan dari orang dewasa yang terpercaya dalam hal ini kedua orangtuanya, maka bibit-bibit radikalisme akan semakin menemukan lahan suburnya.

Menurut Sidharta Susila, seorang pendidik dari Muntilan, Jawa Tengah, dalam opininya di Harian Kompas, 3 Juni 2017 lalu, bisa saya simpulkan di sini. Beberapa hal bisa menjadi penyebab anak dan remaja menjadi pribadi yang kurang bertoleransi, di antaranya peran orangtua yang sangat dominan, dan menyerahkan segala pekerjaan meskipun sepele ke tangan pembantu rumah tangga. Anak tidak dilibatkan untuk mengurus pekerjaan dalam rumah dan lingkungannya. Anak bertumbuh jadi pribadi yang tidak peka dan tidak peduli.

Hal lain adalah ketidaksiapan calon orangtua menjalani peran menjadi orangtua. Apalagi dalam  iklim ekonomi yang tidak mendukung, pasangan orangtua menjadi gampang marah, maka anak adalah objek tak berdaya yang akan menjadi sasaran. Dari sini pulalah anak-anak mulai menyerap contoh nyata sehari-hari perihal kekerasan yang nyata di depan mata. Belum lagi jika orangtua adalah pasangan yang menikah karena “kecelakaan” seksual. Akan muncul banyak penolakan dan pertentangan batin di sana-sini yang berakibat pada tidak wajarnya perlakuan terhadap anak.

Melihat peta masalah yang terjadi sekarang, maka sangatlah tepat bila kita semua, para pelaku pendidikan, khususnya para orangtua segera turun tangan mengambil alih tanggung jawab memperbaiki moralitas anak-anak bangsa. Mencegah perilaku-perilaku intoleransi sejak dini dari rumah sendiri, dari lingkungan terdekat, KELUARGA. Orangtua adalah pihak yang pertama paling bertanggung jawab terhadap masa depan anak-anaknya.  Agar kelak di kemudian hari mereka tidak semakin menjadi beban bangsa dan negara. Dan bisa jadi justru berpotensi merongrong keberadaan negara.

Akan tetapi masalah ternyata tidak sesederhana keinginan kita. Tidak semudah membalik telapak tangan.  Orangtua sudah menyanggupi untuk bertanggung jawab terhadap masa depan anak-anaknya mulai hari ini. Tetapi langkah-langkah apa yang sudah mereka lakukan? Persiapannya seperti apa, dan sanggupkah melanjutkan misi mulia mengantarkan anak-anaknya pada kehidupannya sendiri kelak? Saat tantangan banyak menghadang di sepanjang jalan, saat emosi tak dapat dikuasai, saat masalah demikian banyak bertumpuk, saat beban kehidupan silih-berganti melongok di depan pintu?

Di saat-saat seperti ini sangat mudah melupakan janji-janji suci kita pada anak-anak yang tentu saja tidak akan menuntut orangtuanya dengan ujuran-ujarannya. Mereka manusia lemah yang kadang tak berdaya di hadapan kuasa orang dewasa di sekitarnya. Mereka pulalah yang dengan mudahnya menjadi mangsa empuk para pengincar anak-anak di luar sana. Karena bedebah itu sadar, anak-anak adalah korban dan sasaran yang mudah untuk dipengaruhi, diiming-imingi kesenangan semu yang selama ini tak tergapai di dalam rumah.

Orang-orang yang bertopeng kebaikan dan kemurahan hati perlahan-lahan akhirnya berhasil menggiring anak-anak  yang tanpa daya dan tanpa perlawanan sedikit pun. Hingga pada suatu pagi kita terbangun dengan pandangan mata yang nanar, terbelalak, menyaksikan kehidupan baru di depan mata. Anak-anak itu sudah bukan lagi anak-anak kita…

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *