LELAKI PUKUL DUA
Sesekali ia berbincang lewat sebatang rokok saja
Pada seperempat malam di penghujung upaya
Pada diksi sebuah metafora
Pada segala resah diringkas sang rupa
Ada apa dengan dirinya si lelaki pukul dua
Yang menelan malam lewat bening kosong gelas kaca
Yang katanya kopi telah murka pada dirinya
Membiarkan aroma pahit itu dicumbui orang berada
Lalu melalui sebait kata dipekik raya
Hitam menjelma terasing tak bermakna
Memulangkan segala rasa
Di trotoar jalan terbaring buta
PADAMU SANG MALAM
Jemariku tak berkesudahan mengirimkan lagu lama pada maut cakrawala.
Menahan waktu yang terburu oleh berangkat.
Menahan lelah yang tersingkap oleh beberapa kalimat.
Padamu sang malam.
Kuberi tahu bahwa jam tidak berkesudahan menekuni nafas usia.
Ia duduk melingkar menyerupa metamorfosa
Memungut peristiwa menafsir cuaca
Pada mata mata yang surga
Lalu aku adalah sosok yang menghitung rencana
memaki diriku sendiri dengan serbuan tanda tanya
binatang jalang yang lupa kembali akan kemana
Kemana akan kembali
Kemana akan pulang pergi
Pergi lalu pulang lagi.
Lalu bisakah kuhimpun nama berhaus?
pada segala hilang yang menghulu arus
pada segala tualang yang kupintal rakus
pada segala syair yang kurajut terbungkus
Padamu sang malam
Yang kutuang menimbun jalan lengang rumah rumah
aku hilang arah menekuni dunia
mencoba berbisik pada sudut sudut kota
bahwa lindung langit tak berjejak kini muram akan cahaya.
PADAM
Melaui segala warna yang sulit kumakna
Kini aku tak lagi merah
Kini telah padam tak lagi menyala
Mebiarkan segalanya hitam dan buta
Biarkan semua menjadi hitam putih saja
berteman pendar cahaya sepia
Meski kata kata saling menafsir beku
Meski jejak jejak mimpi digubah hari dan waktu
Lalu di sepasang mata yang ramu
Telah kuhitung angka-angka rindu
Menjelma seolah sesak di balik pintu-pintu
Yang kadang di sebut waktu
Kini aku padam tak berdaya
SURAT TANPA JUDUL
Kepada Lelaki yang pernah pergi
Mari kita berbicara tentang waktu kali ini
Yang sempat menelusup pada kilas cahaya sunyi
Lalu memperpanjang ruang rindu yang berderet rapi
Kita pernah ada sedekat jengkal jemari
Memandangi dinding malam serta rasi bintang di galaksi
Atau sekedar memperbanyak teka teki
Mengenai apapun yang semakin sulit dimengerti
Lalu haruskah kita kembali berjalan sendiri-sendiri
Membiarkan semua berjarak lalu kian menepi
Saling menghilang bak ditelan bumi
Hingga akhirnya semakin sulit untuk saling mengenali
Belajarlah hanya untuk saling menemui
Melihat lalu mengerti
dan aku hanya bisa memberi ucapan kali ini
“Selamat Wisuda setelah empat tahun berjuang sendiri”
ELEGI
Pada matamu rindu-rindu mengakar sendiri
Serupa basa dedaunan pagi yang dulu kau beri
Abadi percakapan kita seolah meminang sepi
Membaca gerak lama yang bertasbih sunyi
Bayang-bayang asmaradana hilang ditelan bumi
Sedangkan kita pernah asyik ngopi pada sebuah kenduri
Menerbangkan debu cemburu pada mimpi
Lalu nasib yang seolah terasing pergi
Bayang-bayangmu hilang wahai kasih
Melumatkan nyawaku yang tinggal sekutip perih
Membakar takwil segala sakit dirajami rintih
Menyelimutkan musim pada seteguk jejak ilustrasi
Lupakan saja ingatan mengenai panorama abadi
Seolah menikamku dan memberi cundrik kesumat diserapahi
Bayangmu akan kukubur dalam lanskap imaji
Membuang satu persatu rindu yang dirajami