Mungkin agak aneh menyebut manusia baru. Apakah ada hal baru dari manusia di setiap kelahirannya? Apakah setiap kelahiran manusia dari masa ke masa selalu memberikan hal baru? Bukankah bentuk manusia sama saja kecuali perbedaan warna kulit dan postur tubuh yang agak berbeda? Lalu darimana kita bisa mengatakan ada manusia baru?
Namun harus diakui kita tengah menyaksikan manusia baru yang disebut dengan manusia online. Manusia online tidak hanya berbeda dengan manusia klasik, tapi juga berbeda dengan manusia moderen tahap pertama. Pola hidup dan kehidupan manusia online sangat berbeda dengan manusia dahulu dan manusia moderen.
Manusia online tak perlu menginjakkan kaki keluar rumah dalam meraih apa yang diinginkan. Bahkan pencarian data pun memiliki makna yang baru. Apakah manusia online mampu melahirkan pemikir hebat seperti Muhammad Hatta, Hos Cokroaminoto, Tan Malaka, Nurcholis Majid, dan tokoh-tokoh priode sebelumnya? Saya dan mungkin sebagian dari anda akan meragukannya sebab istilah meneliti dan pencarian data pada masa kini tidak seperti di masa sebelumnya.
Di masa sekarang, meneliti atau pencarian data lebih banyak dilakukan dengan proses ‘searching’ di dunia maya. Dalam kata lain, ‘searching’ bermakna pencarian data dengan proses ‘klik’ melalui komputer, laptop, tablet, dan handphone. Proses ‘searching’ seperti ini tidak memerlukan biaya besar, bahkan pada momen tertentu tidak memerlukan biaya sama sekali.
Kemudahan pencarian data melalui ‘searching’ terkadang bemakna suatu bentuk perlombaan pencarian data yang instan. Manusia online tak lagi memperhatikan keorisinalitasan dan keautentikan. Plagiat menjadi suatu keniscayaan dalam meraih sesuatu yang instan. Manusia online mampu menyingkirkan tafakkur dan menggantikan tafakkur dengan mesin-mesin data yang mampu diraih dengan instan.
Dampak dari semua hal itu adalah manusia online membuang ‘fakultas negasi’ yang ada di dalam dirinya. Di masa kini, kita tak melihat lagi kekuatan ‘fakultas negasi’. Di masa lalu dengan mudah kita menyaksikan kekuatan proletar bangkit memutuskan rantai-rantai yang akan menawan kemerdakaan manusia dan kemanusiaan. Di masa lalu manusia selalu menantikan revolusi sosialisme yang akan merubuhkan kekuatan kolonial imperialisme dan kapitalisme. Juga di masa lalu, kita jumpai para pemikir yang mengeritik secara radikal kondisi yang sedang melanda dunia pada waktu itu.
Dunia kini tak ada lagi proletar, tak ada lagi pemikir, dan tak ada lagi kekuatan ‘fakultas negasi’ yang berusaha bangkit melawan kondisi yang sedang melanda dunia saat ini. Dunia kini adalah dunia yang hanya berjalan dengan satu arah saja. Kondisi seperti ini sedang menegaskan kematian orisinalitas dan keautentikan. Tak ada lagi kekuatan manusia yang membara untuk bangkit melawan utopia.
Manusia lalu adalah manusia yang memiliki keheningan dan keautentikan sebab keduanya bagian dari mode eksistensi sehingga terasa dan mampu dirasakan oleh yang lain. Dan aspek merasakan dan mampu dirasakan oleh yang lain pada manusia lalu berlangsung secara terus menerus. Namun di dalam atmosfir manusia kini, jika suatu kejadian tidak terekam oleh media dan media sosial, bermakna bahwa kejadian tersebut sama sekali tidak pernah terjadi, seperti yang kita saksikan pada tokoh-tokoh politik dan para pekerja seni. Jika mereka sudah tak tampil lagi di media berarti kehidupan mereka telah berakhir. Artinya pada hakikatnya mereka adalah pribadi-pribadi yang tak nyata dan tak punya autentik. Mereka adalah manusia online yaitu eksistensi mereka adalah eksistensi yang metafor yang terpenjara dalam sebuah simbol.
Manusia memiliki dua dimensi, dimensi eksistensial dan dimensi metafor. Manusia dalam dimensi metafor adalah manusia yang kosong dari pengalaman estetika dan tidak memiliki keheningan atas hakikat dirinya sendiri. Mereka hidup dalam kehidupan metafor sehingga waktu sudah tak cukup lagi bagi mereka. Manusia yang tak memiliki autentik adalah manusia yang berserakan.
Manusia online adalah manusia yang selalu ingin bersama yang lain di dunia maya. Bahkan ‘bersama yang lain’ telah menjadi sebuah objek. Padahal pengalaman keheningan atas diri sebagai aspek yang paling autentik di dalam hakikat manusia, tak mungkin diraih di dunia maya. Tak pernah kita saksikan manusia seperti sekarang ini sedang berlomba-lomba menjadi manusia online atau menjadi manusia yang tidak autentik.
‘Tapi memang ironi, sebab dunia tak mungkin berjalan tanpa dunia selebriti, namun dunia akan tetap berjalan tanpa pemikir atau filsuf. Jadi jangan pernah membandingkan pendapatan seorang pemain sepak bola dengan seorang filsuf. Sebab dunia tak mungkin berjalan tanpa dunia sepak bola namun dunia akan tetap berjalan tanpa seorang filsuf atau pemikir’.
sumber gambar: www.theinterngroup.com
Muhammad Nur Jabir, lahir di Makassar, 21 April 1975 Pendidikan terakhir: S2 ICAS – PARAMADINA. Jabatan saat ini: Direktur Rumi Institute Jakarta. Telah menulis buku berjudul, Wahdah Al-Wujud Ibn ‘Arabi dan Filsafat Wujud Mulla Shadra.