Tutur Jiwa dan Beberapa Hal Tentangnya
***
Malam itu, Bedah Buku Tutur Jiwa Karya Sulhan Yusuf oleh LKIMB UNM di pelataran PKM UNM itu, sepertinya menjadi awal teks-teks kearifan Sulhan menari di belantara realitas, yang mulai kering dari wejangan-wejangan spritual dan filosofis. Tutur Jiwa hadir seolah memanggil kumpulan jiwa-jiwa muda yang haus akan tutur kebijaksanaan. Puluhan jiwa-jiwa itu duduk bersila, menunggu Sang Guru (sang tokoh spritual Han dalam Tutur Jiwa) berujar mengenai perihal yang dapat membasuh kedalaman batin yang kian kerontang. Ujaran Sang Guru itu tentu bergema melalui perantara Sulhan, sebagai pencatat wejangan-wejangannya.
Lantas, siapa Sang Guru? dan siapa Han? Anda boleh bilang mereka adalah tokoh fiksi yang hadir dari rahim imajinasi Sulhan. Tapi, dari sisi yang lebih filosofis, Sang Guru dan Han itu adalah nyata. Meminjam perspektif Herman Pabau, salah seorang pembedah Tutur Jiwa di malam itu, “Han dan Sang Guru harus dipandang sebagai wujud tunggal, bukan dua wujud secara individual berdiri sendiri. Yang membedakannya adalah siapa yang bergantung murni pada siapa atau perbedaan itu pada tingkat wujudiah yang mereka duduki dalam cakupan wujud tunggal.”
Tentu, yang dimaksud Herman Pabau bahwa, Sang Guru dan Han adalah suatu ketunggalan dalam wujud Sulhan, dan bergradasi membentuk suatu ikatan guru dan murid. Sulhan ibarat punya dua kepribadian yang tak terpisah satu sama lain, Sulhan Yusuf hadir dalam dua wajah yang saling bercakap-cakap: Han sebagai murid dan Sang Guru yang tentu sebagai guru si Han. Atau dalam pengertiannya yang paling sederhana: Sulhan sebagai murid (Han) dan Sulhan juga sebagai guru untuk dirinya sendiri (Sang Guru).
Ini menarik. Sebab Sulhan hadir sebagai murid yang bersedia menerima wejangan kearifan dari refleksi batinnya sendiri dan Sulhan juga sekaligus menjadi guru untuk menuntun jiwanya dalam membaca realitas. Terkadang, orang-orang berkhotbah dengan maksud untuk memperingati orang-orang di sekelilingnya, namun di sisi lain, tidak mau menceramahi dirinya sendiri karena merasa sudah cukup sempurna. Untuk itu, Tutur Jiwa hadir tak hanya menjadi pengingat bagi pembacanya mengenai suatu perihal, namun juga menjadi pengingat bagi Sulhan sendiri. Wejangan-wejangan Sang Guru untuk semua orang, tanpa terkecuali.
Kearifan yang Bergerak di Ketinggian dan di Kerendahan
Wejangan kearifan apa yang ditawarkan oleh Sang Guru (atau Sulhan) dalam Tutur Jiwa? Pracitra yang ditulis oleh Alwy Rachman, Budayawan Sulsel, sudah cukup untuk memberi jawaban. Alwy menulis, “Di kerendahan Sulhan Yusuf membincang manusia melalui satir yang santun, bukan sarkasme yang kasar. Satir santun dialamatkan pada politikus, kepada demokrasi, dan kepada kekuasaan. Di ketinggian, Sulhan Yusuf berkisah tentang cinta, tentang persahabatan, tentang kedirian, tentang hak dan tentang jiwa.”
Tentu, Tutur Jiwa ini hadir tidak untuk mengganti kitab suci (karena sama-sama berbincang soal ketinggian dan kerendahan) agama-agama dan Sulhan mendeklarasikan dirinya sebagai nabi. Meskipun kearifan yang kemudian dibukukan itu proses kreatifnya hampir sama dengan cara para nabi mencatatkan wahyu Ilahi. Di malam itu Sulhan bercerita, di suatu ketika dia sedang menemudikan motor dan sedang membonceng istrinya, Mauliah Mulkin. sembari mengamati kenyataan di sekelilingnya, tiba-tiba Sulhan berhenti, mengambil pulpen dan kertas, kemudian mencatatkan satu paragraf mengernai kenyataan yang dihadapinya. Yah, seolah-olah Sulhan mendapatkan wahyu.
Tapi, Sulhan memperingati peserta, ini bukan wahyu dan dia bukan nabi. Lantas, bisikan itu dari mana? Jika kembali pada pembahasan sebelumnya, sudah pasti bisikan itu datang dari permenungan pribadi Sulhan sendiri, ketika pada posisi itu Sulhan menjadi Sang Guru dan sekaligus menjadi Sang Murid, Han. Memang, bukan kitab suci. Tapi, isi teks yang ditawarkan Sulhan bisa menjadi panduan para pembacanya untuk merenungi diri sendiri dan kenyataan di luar dirinya: Tutur Jiwa sudah pantas menjadi kitab untuk membawa para pembacanya bergerak di kerendahan dan di ketinggian.
Literasi Paragraf Tunggal, Apa itu?
Jika kearifan yang larut dalam samudra jiwa Nabi Muhammad Saw kemudian hari disebut sebagai Al-quran, maka sebut saja rangkaian teks kearifan Sulhan dalam Tutur Jiwa ini sebagai “Literasi Paragraf Tunggal”. Apa itu Literasi Paragraf Tunggal? Saya sebagai salah satu peserta dalam diskusi buku itu sebenarnya menunggu kehadiran Alwy Rachman, seorang budayawan yang bertanggung jawab atas istilah itu. Maka dari itu, saya hanya bertanya kepada Sulhan saja, yang tahu asal usul istilah itu.
Suatu kesimpulan akhirnya kuracik dari pernyataan Sulhan. Literasi Paragraf Tunggal hadir saat tidak ada padanan kategorisasi sastra yang (mungkin) bisa tepat untuk melabeli teks-teks Tutur Jiwa. Sejauh Alwy membaca buku-buku sastra, belum ada karya sastra yang dituliskan dalam bentuk satu paragraf, dan hampir unsur-unsur sastra terdapat di dalamnya. Tiap Literasi Paragraf Tunggal dalam Tutur Jiwa memiliki unsur cerpen, epigram, aforisme dan puisi. Yah, satu paragraf yang ditulis dengan rongga yang sangat luas untuk menyimpan kisah dengan kandungan makna yang sangat padat. Kandungan makna yang luas ini juga tercipta karena, tiap teks ditulis dengan jejaring metafora yang kuat. Sehingga ragam tafsir dan tarikan makna bisa diambil dalam rongga yang luas itu.
Apakah Tutur Jiwa suatu produk sastra baru? Anda boleh bilang “ya” dan Anda juga boleh bilang “bukan”. Sebab, Sulhan sendiri dalam penyampaiannya malam itu mengatakan, jika ia menuliskan tiap teks Tutur Jiwa itu tidak bermaksud untuk menciptakan karya sastra baru, atau motif-motif lainnya. Ia hanya merenung, dan menulis. Itu saja. Labelisasi karya sastra memang selalu hadir dari pembaca dan kritikus. Maka, pembaca dan kritikuslah yang punya wewenang untuk itu. Saya malah melihat, Sulhan tidak punya motif popularitas papun. Karya luar biasa ini lahir justru dari ruang sunyi kesastraan, dan bukan di panggung-panggung elit sastra Indonesia. Tutur Jiwa tercipta dari semangat altruisme yang selalu hanya hinggap di pinggiran ruang pertunjukan literasi.
Praktisi media. Peminat ilmu sosial-kemanusiaan. Ketua Komisi Intelektual dan Peradaban PB HMI MPO