Waktu Senggang Perempuan di Bawah Telunjuk Kapitalisme

 

Rentang sejarah kehidupan manusia yang panjang, ada gerak perubahan yang menjadi keniscayaan dalam semesta kehidupan. Hal tersebut tak menampik timbulnya pembelahan atas waktu yakni waktu senggang dan bekerja, yang mewarnai ragam corak kehidupan manusia, terutama makhluk yang bergelar perempuan. Peristiwa ini telah diulas dengan apik oleh salah seorang Intelektual di Makassar, Muhammad Ridha dalam bukunya “Sosiologi Waktu Senggang: Eksploitasi & Komodifikasi Perempuan di Mall”.

Josef Pieper dalam Ridha, mengemukakan pemanfaatan waktu senggang yang berbeda dalam kurun waktu tertentu. Di mana waktu senggang pra industri tepatnya di era Yunani klasik, dimanfaatkan untuk produktifitas pemikiran dengan berfikir mendalam dan radikal tehadap makna filosofis dan hakiki kehidupan manusia, berlangsungnya aktivitas berdiskusi, berimajinasi soal-soal terdalam kemanusiaan. Sehingga pemanfaatan waktu senggang melahirkan banyak buah pemikiran yang cemerlang di zaman tersebut seperti Anaxigoras, Parmanedes, Plato, Sockrates, Aristoteles dan lain-lain. Tak luput juga karya-karya dari beberapa filosof perempuan yang lahir di masa itu, yang saat ini jarang disabdakan, seperti Theano yang merupakan istri Pytagoras, Diotima dari Mantinea yang diakui Plato sebagai mentor Socrates, Aspasia dari Miletus sang politikus, Hypatia dari Alexandria sebagai ahli matematika dan fisuf neo-platonis.

Pasca industri, waktu bekerja belangsung padat, pemanfaatan waktu senggang mengalami pergeseran aktivitas. Sebagaimana yang dibahasakan Ridha, waktu senggang tidak lagi bermakna kontemplatif, tetapi pada makna simbolik konsumsi. Lebih jauh diungkapkan di era industrial lahir masyarakat konsumen, di mana praktek waktu senggang sudah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dengan kerja secara jelas, yakni keduanya bisa dilakukan bersamaan dalam satu kesempatan. Waktu senggang seperti halnya waktu kerja yang dinilai sebagai aktivitas ekonomi di mana waktu senggang ini dimanfaatkan oleh industri dalam proses penjualan komoditasnya.

Pada era ini pula, gaung kebebasan bagi perempuan bergema. Perempuan menemukan momentum kebebasan dirinya untuk mengaktualisasikan diri secara terbuka di ranah publik, setelah melewati proses diskriminasi yang cukup lama. Pendiskriminasian perempuan dalam analisa penulis, telah lahir dari konstruksi sosial yang telah tertanam sejak berabad-abad, perempuan didefenisikan di bawah kekuasaaan dan kepentingan laki-laki. Sebagaimana Plato dan Rene Descartes  dalam Arivia mengungkapkan bahwa perempuan adalah makhluk yang irasional, tidak mampu dalam ilmu pengetahuan. Selain itu, Thomas Aquinas, Aristoteles, Francis Bacon mengatakan bahwa perempuan layaknya berada di dunia domestik dan berfungsi sebagai makhluk bereproduksi daripada mereka berkecimpung di dunia publik sebagai makhluk yang produktif. Pada masa Arab jahilia, perempuan juga dimaknai sebagai aib besar bagi keluarga, liang kubur menjadi rumah yang nyaring akan tangisan bayi perempuan. Jika hidupnya dipertahankan, ia hanya sebatas pelayan laki-laki.

Setelah kehadiran Rasulullah saw, melalui kehadiran buah hatinya Fatimah Az Zahrah, barulah perempuan mendapatkan tempat dalam struktur masyarakat jahilia kala itu. Fatimah Az Zahrah menjadi tonggak istimewa diakuinya eksistensi  dan hak-hak kemanusiaan perempuan. Meski demikian, kepentingan dan kekuasaan laki-laki tetap langgeng seiring dengan gerak zaman. Sejarah yang menjadi pil pahit yang harus ditelan oleh kaum perempuan juga digambarkan Frederick Engels dalam bukunya, “Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara” tentang ruang gerak perempuan yang direduksi seiring dengan perubahan dalam organisasi keluarga. Fase awal, perempuan dan laki-laki tidak memiliki ikatan dengan perempuan  dan perempuan bebas menentukan hidupnya.

Fase kedua, terjadi seleksi alam, populasi perempuan lebih sedikit daripada laki-laki sehingga banyak laki-laki yang memutuskan untuk tidak ingin melepaskan pasangannya. Sejak itu, diberlakukan aturan mengenai pasangan tetap. Pada masa ini perempuan dianggap sebagai asset. Engels mengasumsikan bahwa masyarakat ketika itu adalah masyarakat matrilineal (garis keturunan ibu) dan juga masyarakat matriarkhal (perempuan mempunyai kekuasaan ekonomi dan politik). Fase ketiga, perkembangan dan perubahan terus terjadi, aktivitas memproduksi alat-alat material rumah tangga dianggap tidak memadai lagi, aktivitas perburuan binatang kemudian menjadi mata pencaharian yang penting untuk kelangsungan hidup. Di sini pergeseran kekuasaan mulai terlihat berubah, pembagian kerja dibentuk, perempuan terkungkung di dalam pekerjaan rumah dan dianggap tidak lebih penting dari aktivitas laki-laki. Hal ini disebabkan, hasil perburuan tidak hanya untuk makan tetapi dapat dipertukarkan dengan barang lain. Sehingga hasil produksi laki-laki semakin dihargai. Atas dasar itu, laki-laki kemudian menempati posisi yang signifikan dalam kehidupan bermasyarakat.  Sampai pada akhirnya, laki-laki menggeser garis matrilineal menjadi garis patrilineal dan mengokohkan budaya patriarkhal. Engels mengatakan pada saat itulah terjadi “kekalahan sejarah terbesar bagi mereka yang berjenis kelamin perempuan”.

Pengukuhan atas identitas dan posisi perempuan dalam rentang sejarahnya yang cukup panjang ini, telah berhasil menanamkan nilai ruang yang telah dijeniskelaminkan, bahwa perempuanlah yang menjadi pemangku ranah domestik, meski gaung kebebasan tentang aktualisasi diri telah digencarkan oleh para feminisme di era industri. Ibarat gayung yang bersambut dengan wajah sistem kapitalisme yang tumbuh subur pada era ini. Peran dan kebutuhan pemangku domestik, disambut baik oleh sistem kapitalisme dengan menyediakan tempat yang nyaman dan ragam kemudahan bagi perempuan dalam mendapatkan segala kebutuhan domestik. Prinsip efisiensi dan efektifitas ini telah mendukung langkah-langkah strategis perempuan dalam melakukan aktivitas konsumsi.

Selain sebagai pelaku konsumsi, perempuan juga menjadi sasaran empuk kapitalis untuk menjadi objek pelaris. Yasraf Amir Piliang dalam bukunya “Dunia yang Dilipat” melihat keterpautan antara perempuan dan ekonomi politik tubuh. Adalah hal yang kontradiksi, perempuan yang menyatakan telah mendapatkan kebebasannya berekspresi di ranah publik atau kegiatan-kegiatan industri, namun terperangkap dalam tata tertib atau pendisiplinan tubuh melalui etiket sistem kapitalis. Di mana Yasraf mengemukakan bahwa sejarah tubuh perempuan di dalam ekonomi politik kapitalisme adalah sejarah pemenjaraannya sebagai tanda atau fragmen-fragmen tanda. Fungsi tubuh digeser dari fungsi organis biologis atau reproduktif ke arah fungsi ekonomi politik, khususnya fungsi tanda. Tubuh perempuan dimuati dengan modal simbolik ketimbang sekedar modal biologis.

Keterlibatan perempuan di ranah industri menghadirkan dua sisi yang memiliki garis impit, antara eksplorasi dan eksploitasi. Mekanisme eksploitasi tubuh perempuan agar berfungsi dan berpotensi sebagai tanda, selain di pusat-pusat perbelanjaan juga digunakan dalam media massa, sebagaimana Raditya mengungkapkan yakni nilai tanda tubuh sebagai komoditi media. Hal tersebut dapat dilihat melalui berbagai aspek. Pertama, tampilan tubuh (body apprearance), di mana tubuh ditertibkan melalui tampilan yang menekankan aspek umur, yang secara visual tubuh perempuan memiliki nilai sensualitas yang relatif tinggi. Kedua, perilaku, aspek ini menentukan relasi tanda tubuh (body sign). Dilihat dari ekspresi tubuh dengan berbagai gaya (menantang, merayu, menggoda dan lain-lain). Ketiga, Aktifitas tubuh yang menjadi penanda bagi posisi sosialnya. Diantaranya sentuhan, apakah sebatang tubuh itu pasif, aktif, lemah, dan berkuasa.

Pada posisi ini, perempuan yang tadinya telah mendapatkan kemerdekaan untuk berekspresi di ranah publik, baik dalam menikmati waktu senggangnya maupun bekerja, kembali masuk ke perangkap ketertindasan model baru, yakni melalui penjajahan atas tubuh. Bagian ini pula yang menjadi sorotan feminisme postkolonialisme, yang menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang maupun mentalitas perempuan. Melalui sistem kapitalisme, terjadi kolonialisasi terhadap tubuh perempuan, hingga perempuan tidak memiliki kuasa lagi terhadap tubuhnya.

 

Referensi:

Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan

Engels, Frederick. 2004. Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara. Kalyanamitra

Raditya, Ardhie. 2014. Sosiologi Tubuh. Yogyakarta: Kaukaba

Ridha, Muhammad. 2012. Sosiologi Waktu Senggang; Ekslpoitasi dan Komodifikasi Perempuan di Mall.Yogyakarta: Resistbook.

Piliang, Yasraf Amir. 2010. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung; Matahari.

 


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *