“Orang-orang yang suka ke warung kopi, adalah orang-orang yang tidak disediakan kopi oleh isterinya”. (Makbul Daeng Bulu)
Jujur, saya tabalkan. Saya ingin melakukan pengakuan kesalahan di hari Minggu ini, walau tidak mesti ke tempat ibadah, buat mewujudkannya. Apa pasal? Pekan yang lalu, tepat di hari Ahad , seperti biasanya, seharusnya saya menulis di kolom Unjuk Rasa Kalaliterasi.com, tapi saya tak menunaikannya. Redaktur mempertanyakan kealfaan saya di group WA. Lalu, saya jawablah tanya itu, bahwa “Minggu lalu aku diterungku oleh lahirnya buku Tutur Jiwa. Rasaku macet, tak sanggup berunjuk. Kata orang eforia. Tapi bagiku Tutur Jiwa adalah terungku, hehehe…”
Saya tidak bermaksud membicarakan buku itu, khususnya efek psikologis atas kelahirannya. Dan, agar saya segera merdeka dari terungku itu, pagi-pagi sekali, saya merilekskan diri, supaya bisa ber-unjuk rasa lagi sebagaimana biasanya. Karena, kali ini saya berada di kampung halaman, week end, pun saya memulainya dengan catatan pagi di linimasa akun facebook saya.
Saya tulislah sapaan pagi itu, “Penuh cinta di Warkop H. Dullah. Pada pagi yang mekar, embun telah pamit. Awan unjuk diri, menghalau terik surya yang baru semenjana teriknya. Kotaku mendung, gelisah akan tarik menarik, apa lanjut menjadi hujan, ataukah menyilakan mentari berjaya. Putaran pedal sepedaku masih mencari labuhan. Pun kepastian tiba, aku tertambat pada kedai kopi tua, di bilangan pasar yang enggan takluk pada kala. Butta Toa-Bantaeng, tanah kampung lahir, masihlah tetap ranum buat dikencani. Inilah pagiku. Dan, bagaimanakah pagimu kisanak?”
Soal menambatkan diri di kedai kopi tua inilah, tepatnya warkop, saya lalu teringat dengan tutur sopir angkutan umum Makassar-Bantaeng, pergi –pulang, oto panther langganan saya, Makbul Daeng Bulu, seperti yang saya dedahkan di mula tulisan ini. Benarkah demikian? Apa lelaki yang ke warkop adalah lelaki yang tak disediakan kopi di rumahnya? Saya ingin memverifikasi pernyataan itu. Tapi, setidaknya, asumsi itu benar adanya, dan telah berlaku pula pada saya, yang sementara berakhir pekan di tanah kelahiran.
Mulailah saya mengamati situasi sekitar warkop ini. Satu persatu, orang mampir. Memesan kopi yang diminati. Saya sendiri memesan kopi susu. Sebuah pesanan yang keluar dari pakem saya, kopi hitam pekat, tanpa pemanis. Saya membatin, saya tidak ingin dikenali sebagai maniak kopi. Lagian mau bersosialisasi, biar tak berjarak dengan peminum kopi lainnya. Menunjukkan diri berbeda dengan mereka, sama saja menggali parit keberjarakan. Padahal, tujuan utama saya adalah membaurkan diri. Entahlah kunjungan berikutnya, mungkin sudah harus unjuk kopi asli.
Warkop yang saya setubuhi ini, adalah termasuk kedai kopi tua. Warkop H. Dullah namanya. Pastilah pematen mereknya H. Dullah. Kini H. Dullah sudah damai di keabadian. Di waktu kiwari ini, anaknyalah yang melanjutkan. Sekadar mempertegas ketuaan warkop ini, bahwa sudah ada sejak saya sekolah di sekolah dasar. Saya ingat betul. Karena saya orang pasar. Profesi orang tua saya adalah penjual pakaian jadi di Pasar Sentral Bantaeng, tahun 70-an. Jadi, hitung sendiri masa yang telah dimangsa oleh warkop ini. Di Bantaeng, pun masih ada warkop tua lainnya, meski usianya lebih muda, setidaknya, Warkop Toko Bone, Warkop Daeng Nai, dan Warkop Daeng Pai.
Warkop-warkop tersebut, mempunyai segmentasi pelanggan masing-masing. Mulai dari para peminum kopi dengan latar belakang sosial ekonomi yang beragam, sampai topik-topik perbincangan yang sering diumbar, kala berkopi ria. Namun ada kesamaannya, warkop-warkop tersebut tidak menyediakan fasilitas internet. Cukup televisi. Orang-orang yang datang, pastilah generasi baby boomers, generasi X, sekaum generasi yang diteorikan sebagai gelombang generasi yang lahir dan bertumbuh, sebelum teknologi komputer dan internet ada. Walakin, kaum ini, tetap saja meramahi merek gawai sampai generasi terbaru.
Tidak sedikit lelaki yang sudah bau tanah, merapatkan diri di warkop-warkop ini. Mereka amat bergairah ketika sudah membaur. Maklum, mereka adalah lelaki-lelaki yang bangga dengan masa silamnya. Mereka bertemu untuk merapatkan barisan, dengan kenangan-kenangan yang melilitinya. Kenangan ibarat ular yang menjerat para lelaki berumur, yang mencari jalan, agar gairah hidup tetap menyala. Bersua dengan sesama di warkop-warkop, hasrat hidup moncer bertubi-tubi. Pun, saya yang telah memakan waktu separuh abad, ikut menikmati kemonceran hidup itu. Di sini dan di kekinian, kenagan terawat amat awet.
Mungkin apa yang dibeberkan oleh Makbul Daeng Bulu, benar adanya. Tapi, bagi saya, lebih dari itu. Inilah salah satu medium yang merawat ranah publik, yang terwjud pada ruang publik. Sepenggal momen untuk merawat kenangan, sebentuk kebersamaan, biar umur terasa lebih panjang tempuhannya. Bukankah generasi X, yang menambatkan diri di warkop-warkop semacam ini, akan selalu bergairah di sisa jatah usianya, yang dicicil dari detik ke detik? Kaum tua, atau yang jelang tua, di kedai kopi tua, akan tetap mengada. Sebab apa? Karena mereka setia pada kenangan. Mereka adalah orang-orang yang merawat kenangan. Adakah begitu adanya, Daeng Bulu?