In Memoriam Syamsuri Ismail

Lelaki itu telah menunggu di tempat acara satu jam lalu. Acara baru dimulai setelah para pengurus HMI Cabang Ujung Pandang yang menyelenggarakan diskusi telah berkumpul. Memang hari itu masih mendung. Baru saja hujan deras mengguyur kota Ujung Pandang (sekarang Makassar). Itu sudah cukup menjadi alasan pengurus untuk datang terlambat tapi tidak untuknya. Lelaki ini sudah bersama saya ketika gedung itu masih sepi. Saya senang saja sambil berbincang menimba ilmu dan pengalamannya.

Satu per-satu senior yang masuk ke arena kegiatan memberi penghormatan kepada sosok sederhana ini. Saya hanya tahu beliau aktif di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat ternama di kota Makassar. Selebihnya, masih remang bagi saya. Ia adalah pengurus KAHMI Wilayah Sulsel. Hanya itu.

Acara sudah mulai. Narasumber telah menyampaikan paparannya. Kini giliran penanya. Lelaki ini mengacungkan tangan lebih dahulu. Ia berdiri memperkenalkan diri. “Saya Syamsuri Ismail dari KAHMI Sulsel!” begitu ia memulai. Tiba-tiba ia terisak. Sejenak tak sanggup melanjutkan pembicaraannya. Setelah hening beberapa saat. Ia lanjut bercerita bahwa saat berdiri menyanyikan Hymne HMI, ia merinding dan bergetar. Ia menangis dalam nyanyian itu. Ingatannya terbang ke dua puluh lima tahun lalu. Saat ia menjadi aktivis di HMI Cabang Makassar (1970-an). “Dua puluh tahun baru saya dengar lagi lagu ini di tengah rekan-rekan akrivis cabang,” katanya dengan suara pelan dan tersedu.

Ia menyeka air matanya dengan sapu tangan. Lalu ia melanjutkan bahwa HMI amat dinanti tanggung jawabnya dalam kelanjutan perjalanan bangsa ini. Ia memberi motivasi hampir sepuluh menit.

***

Saya bertemu dengan beliau saat menjadi Sekretaris Umum HMI Cabang Ujung Pandang (1995). Adalah Herman Pabau, Ketua HMI Cabang Ujung Pandang (1993-1994) yang memperkenalkan saya dengan beliau. Sang Mentor yang amat rajin silaturrahim ini mengajak saya ke kediaman Kak Suri (begitu aktivis HMI memanggil namanya). Ia amat berbinar ketika kami sudah tiba di depan pintu rumahnya. Walau sudah rapi siap berangkat, biasanya beliau duduk lagi melayani kami. Memberi inspirasi tentang pembelaan terhadap rakyat kecil. Meski tak jarang ia mengkritik para pemalas yang berasal dari kalangan proletar itu, namun ia tak lepas dari pembicaraan soal pengembangan komunitas yang isinya kaum terlemahkan. Kak Suri tidak segan-segan mengkritik rekan-rekannya yang telah memegang otoritas namun tidak berefek kepada masyarakat kecil.

Hidupnya mewujud dalam laku para kaum bawah. Mungkin ini karena di dalam mentalnya hanya diisi dengan kepedulian terhadap si lemah. Seakan membenarkan konsep “tajassumul a’mal”, Kak Suri kadang terlihat seperti orang papa. Konon, ketika Kak Suri menghadapi Sidang Ujian Skripsi, memakai sandal jepit sahaja. “Saya mewakili rakyat jelata!” begitu alasannya kepada tim penguji.

Perhatiannya kepada HMI amat besar. Tatkala HMI terbelah, ia masih tetap berkomunikasi dengan keduanya dalam posisi yang seimbang. Walau KAHMI lebih memihak HMI Dipo, ia tetap apresiatif terhadap HMI MPO. Maklum, ia adalah pelaku sejarah “terusirnya” cabang-cabang besar HMI dalam Simposium Tafsir Azas HMI di Mataram, 1985. Forum yang berakhir deadlock di bawah intervensi aparat Orde Baru itu menjadi salah satu awal pendorong munculnya Kongres Istimewa HMI di Yogyakarta, 1986, yang hasilnya sering dikenal dengan HMI MPO. Menolak Azas Tunggal Pancasila itulah biang keladinya. Ia turut dalam penolakan itu. Ia apresiatif kepada HMI yang tetap melawan Orde Baru. Meski begitu, apresisasinya terhadap HMI MPO tidak membuatnya mengabaikan HMI Dipo.

Saat aktif memimpin HMI Cabang Ujung Pandang, di antara puluhan senior yang saya kunjungi rumahnya secara rutin adalah Kanda Syamsuri Ismail, SH. Kini tubuh lelaki tegar itu sudah tak sanggup membawa ruhaninya sebab jasadnya yang lain sudah membalut ruh Tuhan itu untuk kembali ke “rumpunnya”, Allah Tabaraka wa Ta’ala.

Selamat jalan, Kak Suri!

  • Entah pendengarannya seorang kisanak kurang jelas, atau kata-kata saya tak tangkas, sehingga ajakan saya ke satu hajatan disalah-pahami. Betapa tidak, Gusdurian menghelat haul Gus Dur, dia tangkap sebagai acara makan durian, terlebih lagi bakal minum jus durian. Mungkin kata Gusdurian menjadi biangnya. Apalagi sudah masuk musim durian. Sesarinya, hajatan haul Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid,…

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221