Fitrah manusia tidak akan menerima jika kebencian dianggap sebagai hakikat sebab fitrah manusia mengajak kepada keindahan, kebenaran, keadilan, dan segala bentuk kebaikan-kebaikan. Tapi jika kita menengok keluar dan melihat apa yang terjadi di luar sana, di sekeliling kita, dan melihat dengan jujur apa yang sedang melanda dunia hari ini, sangat mudah untuk mengatakan bahwa kebencian adalah bagian dari hakikat. Perlombaan di dalam kebaikan-kebaikan jika bersandar kepada kebencian akan berubah menjadi kesirnaan dan keburukan sebab satu-satunya tujuan perlombaan adalah mengalahkan dan mendominasi yang lain.
Namun bagaimana menggambarkan kebencian sebagai bagian dari hakikat? Sekali lagi cobalah tengok dan lihat bagaimana dunia sekitar kita yang sangat ‘sulit menerima’ yang lain. Kita sulit menerima jika orang lain berbeda dengan diri kita. Kita akan lebih senang jika orang lain seperti diri kita. Mengikuti cara kita memandang dan memaknai kehidupan ini. Mengapa? karena kita selalu berpikir, hanya kita saja yang telah menemukan mata air kebenaran. Kita telah meneguknya dan merasakan kebahagiaan mata air tersebut. Saking bahagianya sehingga menganggap mereka yang tak merasakan mata air kebenaran yang kita teguk sebagai orang-orang yang tersesat dalam menjalani kehidupan ini. Dan hingga akhirnya serta secara perlahan-lahan menganggap cara pandang kita sebagai satu-satunya neraca kebenaran. Kita adalah kebenaran dan selain kita adalah kesesatan.
Pada saat itulah, kita akan heran melihat orang lain. Heran mengapa mereka memililih jalan yang tak sesuai dengan cara pandang kita. Bahkan boleh jadi kita jijik saat melihat mereka melakukan ritual yang berbeda dengan ritual kita. Dan akhirnya kita tak mau lagi melihat mereka. Kita lebih asyik bersama dengan kelompok kita sendiri. Kita akan menutup pintu rumah kita rapat-rapat agar tak lagi terlihat ritual yang mereka lakukan. Saat kita membuka pintu itu kembali, perasaan kita kepada orang lain bukan hanya jijik, tapi kita mulai membenci mereka. Kita memilih memutuskan silaturrahim. Memutuskan pertemanan kita di FB. Meng-unfollow mereka di twitter dan instagram. Memblock Whatsapp mereka.
Sekarang pertanyaannya, ada berapakah cara pandang orang di dunia ini? Mungkin kita akan menjawabnya, jumlahnya sebanding dengan aliran pemikiran yang ada di dunia ini. Namun jika ingin menjawabnya secara lebih detail, sebenarnya jumlahnya sebandingan dengan jumlah manusia. Sebab meskipun kita berada dalam satu aliran tapi kita punya penafsiran dan pemahaman sendiri. Nah sekarang bayangkan jika setiap orang melakukan hal yang sama, menganggap pandangannya sebagai satu-satunya neraca kebenaran dan membenci pandangan orang lain yang berbeda dengan kita. Tentu kita akan mulai saling memangsa. Benar kata Hobbes, saat itu manusia adalah serigala.
Mungkin kita terlalu lama asyik dengan rumah kita sendiri. Tak punya kesempatan mendengarkan dan memahami orang lain. Tak mau tahu mengapa orang lain memiliki cara pandang yang berbeda dengan kita. Kita lupa bahwa setiap orang berproses menjadi diri mereka sendiri. Mereka juga punya nalar sendiri sebagaimana kita menggunakan nalar kita sendiri. Orang lain juga membangun neraca kehidupannya sendiri sebagaimana kita membangun neraca kehidupan kita sendiri.
Sebab itu jangan sampai kita berubah menjadi zombie. Manusia tanpa nalar yang hanya siap memangsa karena keinginannya hanya memangsa. Manusia zombie adalah manusia yang berjalan dengan tanpa kesadaran dengan langkah yang tertatih-tatih dengan mulut penuh darah akibat memangsa.
Karena jika kita berubah menjadi manusia Zombie, maka benar apa yang dikatakan oleh Charles Bukowsky, “kebencian adalah bagian dari hakikat sedangkan keindahan hanya ilusi semata”.
sumber gambar: theunboundedspirit.com
Muhammad Nur Jabir, lahir di Makassar, 21 April 1975 Pendidikan terakhir: S2 ICAS – PARAMADINA. Jabatan saat ini: Direktur Rumi Institute Jakarta. Telah menulis buku berjudul, Wahdah Al-Wujud Ibn ‘Arabi dan Filsafat Wujud Mulla Shadra.