Siapa bilang gambar anak-anak tidak mengandung makna? Siapa bilang anak-anak yang suka menggambar hanya membuang-buang waktu saja? Dan siapa di antara kita yang masih suka menilai gambar anak dengan satu kata saja, “bagus”? Saatnya mengubah pemahaman dan cara pandang tersebut. Bahwa dalam kegiatan menggambar beragam makna bisa terungkap di sana.
Prof. Dr. H. Primadi Tabrani, sang penemu konsep Limas Citra Manusia dan Bahasa Rupa yang telah berjasa menyebarluaskan temuannya kepada warga dunia. Temuan yang masih orisinal dan belum ada dalam khazanah perbendaharaan ilmu Barat. Kemarin, Sabtu, 21 Oktober 2017 adalah momen yang sangat menguntungkan karena putri beliau, bu Luna Setiati mau meluangkan waktu untuk berbagi pengetahuan dengan sebagian kecil orangtua yang menaruh minat besar pada pertumbuhan putra-putri mereka.
Jika muncul pertanyaan, mana yang lebih ingin kita utamakan dalam hidup ini sekaligus dalam mengawal pertumbuhan anak-anak kita, rasio atau kreativitas? Maka saya yakin sebagian besar orangtua atau orang dewasa akan menjawab “rasio”. Tercermin dari animo orangtua yang lebih bangga jika anaknya ada yang meraih juara di bidang sains, juara olimpiade mata pelajaran, atau juara dalam adu kecerdasan yang bersifat kognitif. Bahkan tak sedikit orangtua yang menginginkan anaknya cepat bisa membaca tinimbang mendorong si anak dalam menggali kreativitasnya lewat kegiatan menggambar.
Mengapa? Karena anak yang bisa membaca lebih cepat, kecerdasannya lebih terukur dan tampak jelas, berbeda dengan anak yang senang menggambar. Yah, balik lagi ke pernyataan awal di atas, betapa banyak di antara kita yang masih menganggap dunia gambar bagi anak hanyalah sebatas hobi dan bakat saja. Tak lebih dari itu. Padahal menurut penjelasan Luna Setiati yang akrab disapa bu El, yang juga mengacu pada buku Prof. Primadi, “Proses Kreasi—Gambar Anak—Proses Belajar” dituliskan dalam pernyataan berikut ini.
Menggambar, sebagai salah satu sarana untuk mengekspresikan kreativitas manusia, sudah dilakukan anak sejak usia 1-2 tahun. Coba diingat, setiap anak berusia 1-2 tahun, bila diberi pensil, mereka selalu melakukan coret-coretan. Coretan merupakan ekspresi kreativitas yang bersifat awal. Semakin lama, sejalan dengan bertambah uisia, coretan akan bekembang menjadi bentuk yang semakin jelas dan variatif. Melalui gambar, anak dapat mengungkapkan sesuatu yang dirasakan, dipikirkan, dan bahkan yang dialaminya. Begitu mengagumkannya ekspresi kreativitas anak melalui gambar.
Sayang sekali masih banyak di antara kita yang tidak menganggap penting kegiatan menggambar pada anak. Bahkan yang umum kita lakukan adalah menyuruh anak mewarnai gambar yang sudah jadi. Sering kali ditambahi embel-embel pesan, “Jangan keluar garis ya”, “Ingat, daunnya harus berwarna hijau”, “langit biru”, “rumput hijau”, dan sederet rambu-rambu yang sesungguhnya justru membatasi kreativitas anak. Anak jadi tidak bebas bereksplorasi dengan ide-idenya, dengan imajinasinya, atau dengan keinginannya sendiri.
Padahal, sesungguhnya dalam kegiatan menggambar—masih menurut Primadi Tabrani, terkandung banyak dimensi perkembangan dan pertumbuhan anak, di antaranya, tumbuh-kembangnya jadi matang, terjadi keseimbangan pada otak kiri dan otak kanan anak, bertumbuh dan berkembangnya imaji anak. Bila pendidikan benar, akan terjadi integrasi fisik – kreatif – rasio, dan terbentuklah intuisi. Kekeliruan selama ini, kita mengira aktivitas fisik lebih untuk bayi, kreativitas hanya untuk anak, dan orang dewasa sebaiknya rasional. Akibatnya, kreativitas mundur, padahal ia penting untuk masa depan bangsa.
Jika berbicara soal pendidikan anak baik di sekolah maupun di rumah, masih akan berderet agenda persoalan yang menunggu untuk dibenahi. Sistem pendidikan yang sementara berlaku di sekolah-sekolah belum banyak mengakomodasi keinginan anak serta hakikat pendidikan yang sebenarnya. Dunia pendidikan formal masih melaju pada rel yang masih menekankan kecerdasan kognitif, mengabaikan karakter, kendati pendidikan karakter masih terus-menerus didengungkan lewat jargon-jargon dan seruan-seruan dari tahun ke tahun.
Mengetahui dan menyadari ada jalur kreativitas yang bisa diasah dengan mudah, seharusnya mampu membuka mata dan cakrawala berpikir orang dewasa. Berikan ruang yang cukup untuk anak-anak usia dini mengekspresikan diri serta mengasah kecerdasannya lewat media gambar. Apa yang perlu dilakukan orangtua, cukup menyediakan fasilitas dan pendampingan pada anak, alih-alih mengajari mereka menggambar. Karena justru dengan mengajari mereka “bagaimana cara menggambar” akan mengungkung daya kreatif mereka.
Pegiat literasi dan parenting di Paradigma Institute. Telah menulis buku “Dari Rumah untuk Dunia” (2013) dan “Metamorfosis Ibu” (2018).
Termksh kak tulisannya, ada contoh satu gambar anak, dan analisanya sepertia apa ya kak?? Mksh