Kendaraan Politik dan Politik Kendaraan

 

“Sekadar urita. Bila saja ada calon bupati atau calon gubernur, yang belum punya kedaraan untuk maju di Pilkada serentak periode ini, sila hubungi saya. Ada motor saya. Nanti saya bonceng motor ke tujuan. “

Di tempat saya mengais nafkah, toko buku saya bertetangga dengan usaha rental kendaraan, penyewaan mobil. Aneka oto yang disiapkan. Bergantung pada selera penyewa. Bahkan, kalau tidak cukup, karena banyaknya permintaan, semisal menghadapi hari raya, masih bisa diladeni, dengan cara meminta pada mitranya. Ada semacam konsorsium rental kendaraan di antara mereka. Istilah kerennya, punya koalisi. Jenis mobil yang tersedia, rupa-rupa mereknya. Pun, kapasitas muatnya. Ada yang empat kursi, enam kursi, dan tentu bisa pula ganjil hitungannya. Mirip-miriplah jumlah kursi partai politik di parlemen.

Saban waktu, jika masing-masing tak ada orderan, saya sering terlibat percakapan mendalam, tentang seluk beluk usaha penyewaan kendaraan. Mulai dari kemampuan si penyewa, selera oto yang disukai, jenis strata sosial ekonomi penumpang, momentum perhelatan yang bakal dihadapi, jumlah kursi yang dimuat, apa sopir ikut atau tidak, dan sederet perjanjian yang mesti disepakati. Perjanjian pemakaian kendaraan mesti dikongkritkan, sebab bisa saja, selama penyewaan, atau setelah pemakaian, timbul perkara. Terkadang ada penyewa yang ingkar, bahkan ada pula yang bawa lari kendaraan. Ada pula penyewa, kemudian membeli kendaraan yang awalnya hanya menyewa. Pokoknya, macam-macamlah suka duka usaha rental kendaraan ini.

Kini, tetangga toko saya ini beralih usaha. Ditinggalkannya usaha penyewaan kendaraan ini, lalu beralih ke usaha percetakan. Peralihan usaha ini, karena mungkin trauma dengan para penyewa, yang kadang selalu bermasalah di ujung persepakatan. Apatah lagi, satu unit mobilnya sudah dibawa lari oleh perental. Hingga tulisan ini saya bikin, oto itu belum balik jua. Duit sudah banyak keluar guna mencarinya, tapi nihil hasilnya. Usaha percetakan yang digarap, tidak tanggung-tanggung, berbasis digital printing. Produk yang ditawarkan bermacam-macam. Mulai dari bikin stempel, undangan perhelatan, sampai baliho aneka ukuran.

Nah, dari sinilah makin menarik bagi saya. Pasalnya, nyaris setiap saat ada baliho untuk calon gubernur dan bupati dicetak. Mungkin bagi si tetangga pemilik percetakan tidak melihat hubung kait, antara jenis usaha sebelumnya, rental kendaraan, dengan cetakan baliho para calon gubernur dan bupati, di tahun perhelatan politik ini. Mungkin tetangga saya ini sudah lupa pada suka duka usaha penyewaan kendaraan sebelumnya. Sebab, kini, sepertinya sudah mulai panen cetakan baliho politik dari para politisi yang berhasrat mau jadi pemimpin. Entah itu gubernur atawa bupati. Saya berani menduga, bahwa tetangga toko saya ini, tidak peduli dengan para calon yang dicetak balihonya. Bahwa tak kalah susahnya dengan para politisi yang butuh kendaraan politik, guna mengangkut mereka sampai pada tujuan politiknya tercapai. Seperti susahnya mencari rental mobil kala musim pemakian mobil tiba.

Artinya, para calon bupati dan gubernur, ibarat penyewa yang butuh kendaraan politik. Dan, partai politiklah sebagai kendaraannya. Maka tidak heran, jikalau sejak beberapa waktu lalu, pengurus partai politik sudah pasang kuda-kuda buat menyewakan partainya untuk dikendarai. Maklum, lagi musim pemakaian kendaraan politik. Para calon membutuhkan partai politik sebagai kendaraannya. Sebab, nyaris inilah cara yang paling efektif untuk sampai ke tujuan. Boleh juga tidak pakai partai politik, lewat mekanisme perseorangan, yang berarti menyiapkan sendiri kendaraannya, serupa kendaraan pribadi, tapi harus beli berlaksa KTP sebagai syaratnya. Ongkos belinya, bisa lebih besar dari sekadar menyewa partai politik sebagai kendaraan.

Saya pada akhirnya, lebih mudah memahami masalah kebutuhan kendaraan politik, bagi para calon gubernur dan bupati, berkat seringnya bercakap-cakap dengan pengusaha rental mobil, tetangga toko saya itu. Persis masalahnya. Mulai dari harga, berapa kursi yang dibutuhkan, butuh sopir atau tidak, mau koalisi jika belum cukup kendaraan. Itu dari sisi penyewa kendaraan politik. Dari sisi penyedia jasa kendaraan, pun pastilah punya strategi tersendiri, agar kendaraannya dipakai dengan harga yang sepadan. Bahkan, jika kepepet, mobil seadanya pun masih bisa ditawarkan, kalau memang itu baru mencukupi kursi yang dibutuhkan. Satu kursi, atau sepuluh kursi, sama nilainya bila belum cukup. Sama-sama tidak bisa berangkat ke tujuan. Itulah politik kendaraan.

Jadi, kendaraan politik dan politik kendaraan, harus bertemu pada satu titik perjanjian. Ada persepakatan. Mulai dari harga sewa kendaraan, jumlah kursi yang disiapkan, kualitas kendaraan, daya tarik kendaraan, sopir kendaraan, dan citra kendaraan di mata masyarakat. Fungsi perjanjian ini menjadi sangat penting, karena amat menentukan sampai tidaknya di tujuan. Tatkala sudah mencapai tujuan, biasanya perjanjian pun berakhir. Bisa karena batal demi hukum, boleh karena sudah tidak saling butuh, tapi tak menutup kemungkinan memperbaharui pernjanjian untuk tujuan-tujuan politik selanjutnya.

Ehem…, lalu di mana nilai tawarnya motor saya itu? Yang telah saya tawarkan, bila ada calon gubernur dan bupati, tidak mendapatkan kendaraan politik untuk disewa, agar bisa ikut bertarung di Pilkada? Jujur, saya nyatakan, itu hanya gurauan. Upaya meretas kebuntuan, kala berdiskusi dengan sekaum penyokong calon gubernur dan bupati, belum mendapatkan partai politik sebagai kendaraannya. Saya bermaksud melucu, tapi pasti kisanak tidak merasa lucu. Buktinya? Terkekeh pun tidak. Ini semua gara-gara saya keseringan nonton sinetron, di salah satu chanel TV swasta, judulnya Dunia Terbalik. Saya jatuh hati pada seorang tokohnya, namanya Idoi, yang karakternya, agak pintar tapi bodoh, kadang jua bodoh tapi pintar. Semirip Abu Nawas. Ia kadang memutus logika perbincangan, tapi bisa juga menyambung alur perbincangan yang putus. Dan, semua penonton, eh… pembaca terkekeh.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *