Peringatan hari jadi Sulawesi Selatan yang ke-348 tahun telah lewat sudah. Pesta meriah untuk merayakannya pun sudah usai—baik gerak jalan santai, panggung hiburan di CPI, dst. Kenduri yang digelar tiap tahun di rumah jabatan Gubernur Sulawesi Selatan—dengan mengundang khayalak—pun telah berlalu, meninggalkan kenangan yang tersemai di sanubari masyarakat—baik guru-guru, pegawai negeri sipil, aparatur birokrasi, masyarakat umum, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, sampai yang punya toko bahan bangunan.
Tidak hanya di jagad nyata, perayaan hari jadi Sulawesi Selatan juga dirayakan di dunia maya. Masyakat Sulawesi Selatan zaman now beramai-ramai mengunggah status ucapan selamat di sosial media. Pun tak ketinggalan memasang foto profile di facebook dengan bingkai hari jadi Sulawesi Selatan yang sendu-mendu nan unyu-unyu. Melihat itu semua ada satu keharuan yang menerpa sanubariku—walaupun keharuan itu tidak menebalkan dompet saya.
Meskipun demikian, ada satu syakwasangka yang terlintas di kepala saya—sebuah praduga yang dibidikkan bagi masyarakat Sulawesi Selatan yang merayakan hari jadi provinsinya—kira-kira begini : “Tauwwa, banyak orang yang merayakan hari jadi Sulawesi Selatan, tapi… natauji itu-kah ngura’ Sulawesi Selatan berumur 348 tahun? Nataujika apa yang terjadi di Sulawesi Selatan 348 tahun lalu silam?”
***
Untuk menjawab praduga yang diejawantahkan dalam bentuk pertanyaan—itu, maka seyogyanya kita harus mentadaburi koleksi Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Cobalah buka koleksi lembaran negara, cumbuilah lembar demi lembar hingga Tuan, Puan, Ambo, Indo, Mangge, Daeng, dan Anri’ sekalian menemukan sebuah regulasi bernama : Peraturan Daerah No. 10 Tahun 1995.
Aturan itulah yang mendasari hari jadi Sulawesi Selatan. Dalam peraturan daerah tersebut ditetapkan hari jadi Sulawesi Selatan jatuh pada 19 Oktober 1669. Penetapan hari jadi ini tentu melewati perdebatan yang sangat panjang, dialektika keilmuan yang begitu kompleks—melihat dari dimensi sejarah, budaya, sosial, dan politik. Setidaknya, ada tiga penjelasan yang mendasari ditetapkannya tanggal 19, bulan Oktober, tahun 1669.
Pertama, urusan tanggal. Angka 19 dipilih berdasarkan peristiwa yang terjadi di masa awal kemerdekaan. Tepatnya peristiwa sejarah yang terjadi pada 19 Agustus 1945. Pada tanggal, bulan, dan tahun tersebut, di Jakarta para pendiri bangsa melalui sidang PPKI menetapkan pembagian wilayah daerah dalam lingkup Republik Indonesia, di mana salah satunya wilayah bernama Propinsi Sulawesi.
Kedua, urusan bulan. Dipilihnya bulan Oktober mengacu pada satu peristiwa sejarah di Sulawesi Selatan yang terjadi di bulan Oktober 1945. Peristiwa itu dikenal sebagai Deklarasi Djongaya 15 Oktober 1945, yaitu kesepakatan sejumlah raja-raja di Sulawesi Selatan untuk menyatakan diri berada di belakang kekuasaan Republik Indonesia.[1] Dalam bagian ‘penjelasan’ peraturan daerah tersebut, diterangkan pula tentang alasan lain memilih bulan Oktober, yakni momentum kesepakatan para raja-raja di Sulawesi Selatan untuk menyatakan diri sedarah dan seketurunan pada 11 Oktober 1674. Kejadian-kejadian itulah yang merumuskan bulan Oktober sebagai “bulan-nya Sulawesi Selatan”.
Ketiga, urusan tahun, dipilihnya tahun 1669 tak bisa dilepaskan dari berakhirnya Perang Makassar, suatu perang yang memperhadapkan Sultan Hasanuddin dengan sekutunya dan Speelman dengan sekutunya. Di mana akhir dari perang ini ditandai dengan penghancuran Benteng Somba Opu dan bercokolnya V.O.C sebagai kekuatan baru di Jazirah Sulawesi.[2]
Lalu, apa pesan atau makna yang coba disampaikan dari “tanggal” , “bulan” , dan “tahun” tersebut? Secara sederhana—tanggal 19 dan bulan Oktober dapat diartikan sebagai makna simbolik dari semangat nasionalisme, patriotisme, persatuan, dan kesatuan. Peristiwa seputaran tanggal 19 dan bulan Oktober tersebut memberikan gambaran bahwa para pendahulu kita melepaskan atawa menanggalkan ego-ego kedaerahannya demi satu tujuan, persatuan dan kesatuan yang tercermin dalam semangat nasionalisme-patriotisme. Sedangkan makna simbolik di balik tahun 1669 sesungguhnya memberikan pesan perdamaian, cinta kasih, dan introspeksi. Bahwa, konflik saudara yang pernah terjadi di masa itu, sekiranya tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Bahwa luka yang pernah tertoreh dalam hati leluhur kita cukup berhenti pada mereka. Bukankah pasca Perang Makassar, Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka menunjukkan kebesaran jiwanya?! Mengubur luka masa lalu dan kembali merajut tali persaudaraan dengan menikahkan I Mariama Karaeng Patukanga (anak dari Mappadulung Sultan Abdul Jalil Tumenanga ri Lakiung Somba ri Gowa—cucu Sultan Hasanuddin) dengan La Patau Matanna Tikka Sultan Alimuddin Idris Matinroe ri Naga Uleng Mangkau ri Bone (yang merupakan kemenakan / keponakan tersayang Arung Palakka).[3]
***
Jadi! Dari penjelasan singkat di atas para handai tauladan sudah tahukan mengapa kita merayakan hari jadi Sulawesi Selatan yang ke-348 tahun?! Semoga kiranya tulisan sederhana ini membawa faedah untuk kita semua. Yah minimal kalau natanyaki ana’ta nanti bisa dijawab… Ok! Wassalam….
—
[1] Informasi ini bisa pula didapatkan dalam bukunya Anak Agung Gde Agung, Dari Negara Indonesia Timur ke Negara Indonesia Serikat. (Yogyakarta : Gadjah Mada Press, 1985) dan atau tesis dari Najamuddin, Sulawesi Selatan : Pergumulan Antara Negara Federal dan Negara Kesatuan. Tesis (Jakarta : FIB UI, 2000)
[2] Urusan angka 1669 sebagai pilihan tahun “hari jadi Sulawesi Selatan” pernah diulas dalam artikel Pedoman Rakyat edisi 19 Oktober 2003 berjudul Inilah yang Terjadi 334 Tahun Silam.
[3] Untuk mengetahui silsilah kekerabatan Raja-Raja di Sulawesi Selatan dapat dibaca karyanya Suriadi Mappanggara, dkk. Atawa bisa langsung dilihat silsilahnya di Perpustakaan Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar, Jalan Sultan Alauddin Km.7
Ilyas Ibrahim Husain adalah nama pena dari Adil Akbar. Alumni S1 dan S2 Pendidikan Sejarah UNM. Pernah menjadi guru di SMAN 1 GOWA dan SMAN 3 MAKASSAR. Pun mengajar di SMAN 2 MAKASSAR dan SMKN 10 MAKASSAR
Lebih baik kita merdeka dari indonesia dan mendirikan negara kerajaan federal sulawesi selatan
Dengan kepala negara raja.kepala pemerintahan perdana menteri serta mata uang dollar sulawesi selatan.
Lebih baik kita merdeka dari indonesia dan mendirikan negara kerajaan federal sulawesi selatan
Dengan kepala negara raja.kepala pemerintahan perdana menteri serta mata uang dollar sulawesi selatan.
Lebih baik kita merdeka dari indonesia d