Saya seoalah kembali ke dalam ingatan masa lalu. Juga soal gerimis yang hanya berlalu begitu saja dan kenapa ia tersisa dalam ingatan. Aku pikir karena ada kejadian masa lampau yang belum usai soal gerimis,yang layak terbenam dalam memori. Atau bisa jadi sebaliknya, gerimislah yang mengikuti memori ingatan. Bisa jadi, catatan akan terhimpun menjadi sejarah. Tetapi tidak semua yang terhimpun dalam catatan sejarah, meski berada pada lembarannya. Ada hal yang tidak sekadar menjadi peristiwa di dalam catatan sejarah, juga dalam ingatan memori. Tidak semua daun digugurkan oleh angin, nyanyian seorang bisu dan perbincangan. Semua ini tentang gerimis yang terekam jelas dalam memori ingatan.
Sepertinya, setiap kali aku sedang menerima gerimis dari langit yang jenuh, setiap kali pula aku harus kembali pada sebuah titik awal, soal ingatan. Karena tidak lama setelah itu akan menyusul sebuah kesedihan yang memberikan kesunyian yang temaram. Menatap jendela dengan lama, melihat bagaimana langit masih gelap dan penuh dengan kesunyian. Seolah-olah gerimis ini, mengundang kita untuk saling beradu dengan dinginnya hembusan angin yang masuk, lewat ventilasi jendela. Setelah ingatan yang mengembalikan himpitan masa lampau, yang dengan beban luar biasa, bahkan bila kita tidak mau. Apalagi jauh-jauh hari kamu sudah enggan, tidak kuasa lagi untuk berjuang bersama. Aku tahu, kamu ingin hidup dengan segalanya terpenuhi, tanpa kesusahan.
Aku coba lagi menanyakan soal kejelasan kepadamu, menyakinkan lebih tepatnya. Di kehidupan yang dijalani kebanyakan manusia, selain gerimis dan waktu yang tergulung dengan begitu cepat. Kepiluan hati pun banyak yang menimpa manusia, apalagi yang berpasangan. Tidak semua selamat, memang. Tapi beberapa, ya. Selamat. Setelah terjangan yang menghancurkan itu mampu dilewati, bukankah itu semua butuh perjuangan, untuk merasakan nafas lega.
Tapi itu hanya narasi yang belum pasti soal kebenaran ceritanya, bisa jadi juga itu adalah benar adanya. Tidak juga, kawan, saudaraku. Beberapa pernah mengalaminya. Aku tahu, ketika mereka curhat kepadaku, lebih menyesakkan dari ini, lebih perih dari ini. Aku pikir seperti itu.
Bebicara selamat, soal ini agak sulit rasanya, seperti halnya yang hanya sekadar cerita. Lagi, bisa jadi lebih banyak yang mengalami nasib naas. Karena ini hal yang tidak mudah untuk dilalui, apalagi untuk ditangguhkan, begitu saja, pikirku. Dan kita aku pikir akan selamat.
Lihat aku sekali lagi kekasihku, tatap kedua bola mata ini, dengan waktu yang lama. Atau, sudah tidak kah, seperti dulu?
Ia memalingkan wajahnya, bahasa tubuhnya sedang, seperti menolak untuk melihatku. Sepertinya, ini memperjelas, bahwa sudah tidak ada lagi aku di dalam ingatannya, kalaupun ada, mungkin hanya seperti gerimis yang begitu cepat untuk berlalu. Semua berakhir, semenjak kata yang belum sempat terucap, tetapi hanya sebuah bahasa tubuh yang memperjelas segalanya.
Senja dan gerimis, tentu di waktu sore. Sungguh hanya sebentar keduanya begitu cepat berlalu, seperti perbincangan-perbincangan yang sangat singkat. Lalu termenung, mencari tempat untuk sendiri, mungkin meratapi kesunyian. Dan di sudut entah mana, aku dan kamu akan merasakan gerimis kembali. Di sore hari dengan waktu yang berbeda.
Lalu impian itu datang, aku dan kamu bertemu kembali, pada waktu sore; saat senja mulai nampak. Kali ini, gerimis tidak turun, hanya ingatan senja, yang menggores kembali memori di masa lampau. Tempat bertemunya pun, di sebuah warung makan. Bisa jadi, ia rindu, aku coba tebak dan aku tahu itu.
Aku memesan kopi hitam, ia hanya memesan es teh. Sembari menunggu senja untuk berlalu, agar tumpangan segera tiba. Untuk pulang ke rumah. Ia masih seperti setahun yang lalu, hanya agak sedikit berisi. Kupikir lamat-lamat, mecoba berdoa dalam hati “agar senja sedikit lebih lama untuk berlalu” itu doaku. Tetapi, aku tidak yakin soal doaku, senja ini akan lama. Namun, satu hal yang pasti senja selalu, punya maksud pada setiap pertemuan.
Aku berisi ya.., Aku mengatakan “ya” . Percakapan ini tidak sebagaimana lazimnya. Ia agak kaku, dan ingin segera mengatakan-seperti kisah yang dulu-dulu: aku mencintaimu. Sesuatu yang tidak mungkin, untuk terucap kembali. Aku yakin sekarang semua butuh strategi dan berpikir lebih cermat. Juga, untuk kata-kata yang akan terucap oleh nada kejujuran.
Senja berlalu, kami berpisah. Betul sekali, tidak ada kepastian. Tapi aku tidak ingin lagi berharap soal pertemuan selanjutnya dengannya. Tidak lagi, aku berharap pada senja dan gerimis yang akan, memberi ingatan, apalagi pertemuan untuk kedua kalinya. Akhirnya, entah kenapa, kami bertemu kembali untuk kali kedua. Di kotanya, ia tidak secerah dulu, lebih agak redup. Dalam benakku, bergumam: “Ingin kurapatkan tubuhku padanya, sambil berbisik sesedih apakah kamu.” Tetapi tidak aku lakukan. Tanpa aku sadar, kami kedatangan dua anak-anak yang dari jauh, sudah berteriak dengan girang. Imut-imut. Dan kamu berubah sekejap, tertawa lepas begitu riang dan menyambut anak-anak itu dengan pelukan hangat. Tiba-tiba dari arah yang sama, datanglah pula seorang laki-laki menghampirimu.
Seketika ekspresiku berubah, lebih terkejut, dengan raut muka yang tidak seperti sebelumnya. Tidak mungkin, baru setahun yang lalu bukan? Tetapi bisa jadi, suamimu adalah orang sebelumnya berkeluarga, misalnya. Ini pita dan nia, keponakanku, dan ini kakakku. Pertemuan itu, berlalu begitu saja seperti ruang hampa angkasa raya.
Tetapi kepastian itu datang jua menghampiriku. Akhinya, telah aku terima undangan pernikahan dengan bertuliskan namamu di sana. Beberapa minggu yang lalu, di dalam kamar, aku sedang melihat jendela untuk menatap langit jenuh, diiringi gerimis. Di waktu yang tidak tepat karena senja tidak nampak di sore hari itu. Ingatan kembali muncul, soal kenangan masa lampau. Tetapi sudahlah, pertemuan terakhir kali telah menutup dan memperjelas semuanya.
Sekarang semuanya sudah jelas, seperti senja yang dihalangi oleh gerimis, seketika langit lebih cepat menjadi hitam pekat, padahal aku sedang menanti senja. Bukan gerimis, yang akan mengembalikan soal kenangan masa lampau. Pertanyaan muncul dalam benak. Kamu di mana, dan sedang apa sekarang? Kamu sedang bahagia, tetapi tidak dengan aku. Aku mulai merasa gelisah dan resah, tetiba aku mengambil pena berikut sebuah buku catatan. Menjadi sebuah kebiasaan, ketika sedang mengalami kegalauan. Menulis adalah sebuah kebiasaan yang aku lakukan. Tetapi kali ini, berbeda yang biasanya menulis sebuah puisi. Karena tekad ingin membuat buku tentang kumpulan puisi. Tetapi, tidak kulaksanakan, malah: aku sedang merobek catatan sebelumnya dan hanya menulis nama saya seorang yang pernah singgah (di hati), di sana. Sudah cukup bagiku, kali ini. Karena semua berakhir, ketika bahasa tubuh yang pernah kamu siratkan ke padaku.
Tidak lama kemudian, gerimis berubah menjadi hujan yang begitu deras. Tiba-tiba, terdengar suara nada dering handphone berbunyi. Keluar dari dalam kamar, untuk melihat siapa gerangan yang menelepon. Kulihat namamu, entah aku harus bahagia atau sedih. Karena, untuk apalagi: kita sudah berbeda tujuan, namamu telah tertulis pada undangan pernikahan. Sebenarnya tidak ingin peduli dengan telepon itu lagi, apalagi ini dari kamu. Kubiarkan saja, sampai beberapa kali, engkau terus saja menelepon. Aku putuskan untuk menerima panggilan telpon darimu: halo,iya ada apa? Engkau hanya bilang “aku kangen” lagi, dalam hidupku penuh dengan kebimbangan menderaku. Kubiarkan saja, aku tidak ingin menjawab itu.
Lama terjadi perbincangan saat langit makin bersedih, dengan ditandai hujan makin deras. Ia berucap, “bolehkah aku minta tolong?” Aku mengatakan, “iya.” Meski dalam benakku, apakah ia ingin kabur denganku. Betapa bodoh, aku punya pikiran itu. Tidak mungkinlah. Lanjut, ia berucap tetapi janji jangan bertanya soal pernikahanku. Tidak, sebab apapun jawabanmu tidak akan menyelamatkan apapun lagi, harapan itu sudah pupus. Seperti kayu yang menjadi arang ataukah nasi yang terlanjur menjadi bubur.
Suaramu, menjadi parau, sepertinya suara menangis. Diam dan menyimak adalah posisi yang harus kulakukan, karena kita sudah bersepakat untuk tidak membahas soal tentangmu saat ini.
Dari jendela ruang tamu, tempat menerima teleponmu, kulihat sepintas kalau malam telah tiba, lampu-lampu mulai memberikan sinarnya. Kamu bertanya soal diriku: tentang kesehatan, makan, dan buku-bukuku. Tidak lupa menanyakan soal jam tangan yang pernah engkau berikan padaku. Harusnya banyak hal yang ingin ku tanyakan padamu. Tetapi, aku tidak ingin jadi bulan-bulanan kenangan yang akan menghampiriku.
Meski jujur, aku mengalaminya. Sampai beberapa waktu yang lalu. Benjol dan babak belur dihancurkan kenangan dan dicincangnya. Terutama jika sedang menatap jendela, di kala gerimis dan senja bersamaan menghampiriku, ingatan tentangmu begitu kuat. Menyeruak mengisi kembali kenangan di masa lalu.
Kamu berhenti menangis, tidak lagi. Padahal hampir saja aku ikut terharu. Setelah itu, lanjut, sudah dulu yah, saya ada janjian makan malam. Berakhirlah suara yang menghiasi malamku kali ini.
Malam ini aku habiskan seorang diri dengan beberapa buku untuk kulahap habis. Setelah itu, kucoba mengecek bebrapa film yang belum kut onton. Sampai subuh kuhabiskan dengan film dengan sesekali kamu main dalam beberapa adegan didalamnya. Selebihnya, film itu bermain sendiri dan aku juga bermain sendiri, bersamamu dalam bayanganku. Pagi ini, aku tidur, tidak lelap. Terbangun karena nada dering telpon, sangat mengganggu. Aku bangkit dengan badan sakit, bisa jadi karena posisi yang kurang baik waktu tidur tadi. Ternyata Kamu yang menelepon, ku angkatnya. Tanpa rasa bersalah, kamu mengucapkan selamat pagi dengan suara yang sepertinya sangat bahagia.
Aku tidak terlalu peduli lagi, kusimpan handphone itu, masuk ke dalam kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi, lanjut untuk membuat kopi untuk pagi ini. Rasanya, ngantuk sekali dan mata terasa berat sekali. Tidak lama, setelah itu, kamu menelepon lagi, ucapmu, “aku minta maaf, mungkin ini terakhir kali untuk bisa mendengar suaraku.” Kuingin bilang, “memangnya mau ke mana?” Kuurungkan kata-kata itu. Dengan sisa kekejaman yang kumiliki, “ Oh iya, baguslah, semoga bahagia yah. Sampaikan salamku untuk keluargamu.” Padahal aku tahu, kamu berharap agar aku bilang mau ke mana? Atau mengatakan hal yang lebih untuk, seolah-olah menahan kepergianmu.
Lalu beberapa menit, menjadi senyap, begitu sepi rasanya. Dengan hampa menjalar sampai ke otakku. Itu yang kurasa saat ini, tidak ada masalah, sebuah perpisahan yang sangat indah, bukan?
Aku membuka kulkas, untuk mencari minuman segar, sepertinya kopi panas saat ini, tidak mengena soal suasana. karena hati mulai panas. Butuh untuk didinginkan. Lalu sebuah catatan tertempel pada pintu kulkas, yang bertuliskan “ ingat untuk mengangkat jemuran”.