Pagi-pagi buta di kota kaum urban, saya terbangun bukan karena alarm atau suara ayam, tapi bunyi-bunyian klakson. Selepas salat subuh – kira-kira pukul tujuh lewat sekian menit – saya nyambi di samping kiri rumah kos. Selain riuh jalanan, saya ditemani Si hitam manis, dari tanah Toraja dan Si Hegemoni Quraisy. Lama kami berdialog, sebelum akhirnya saya memutuskan untuk bergegas menyusuri lorong sunyi peradaban. Jalan yang penuh semak belukar karena jarang orang melintas. Semua memilih jalan lain yang penuh fantasi dan hiburan yang menggoda.
Sebelum melanjutkan sekuel jalan sunyi, saya ingin sejenak bercerita tentang Qushayi, teman yang datang dari padang pasir, sebagaimana yang ada dalam buku Hegemoni Quraisy itu . Dia buah cinta dari pasangan Kilab bin Murrah dan Fatimah binti Sa’ad bin Sail. Qushayi berasal dari suku yang terbuang, tetapi mampu menjadi orang berpengaruh di kemudian hari. Qushayi bin Kilab merupakan pendiri suku Quraisy. Qushayi adalah buyut dari Muhammad bin Abdullah SAW. Turunan dari Hasyim, Abdi Manaf, ke Abdul Muthalib kakek Rasulullah SAW.
Penting diketahui dalam menanamkan pengaruhnya di Mekkah, Qushayi menggunakan beberapa strategi ekonomi dan politik. Yakni penyatuan suku-suku yang bercerai-berai di sekitar Mekkah. Qushayi pun memahami bagaimana sirkuit kebudayaan masyarakat Arab saat itu, sehingga melakukan pendekatan agama dalam melangsungkan hegemoni kekuasaannya. Melalui strategi politik buka keran, siasat politik yang memberikan kebutuhan hidup sebanyak-banyaknya bagi orang-orang. Begitulah Qushayi memberikan persediaan air bagi peziarah, atau orang-orang yang melakukan ritual haji kala itu. Sekolompok orang hari ini pun mencoba melakukan hal serupa, memainkan agama sebagai jalan meraih kedudukan politik. Tetapi, pendekatan yang dilakukan Qushayi bin Kilab jauh lebih beradab, tinimbang yang dilakukan manusia now. Maniak politik kiwari ini banyak menjual ayat-ayat untuk meligitimasi kekuasaannya, atau untuk merebut simpati masyarakat.
Kembali ke era now, saya menautkan jiwa raga di kelas etnografi yang digelar LAPAR dan Jaringan Gusdurian Makassar. Kelas-kelas seperti ini, sama saja dengan kelas-kelas lain seperti menulis, biasanya sepi peminat. Etnografi, menurut Syamsul Rijal Adhan, peneliti Litbang Makassar, merupakan penelitian yang berkontemplasi pada bagaimana memahami kebudayaan suatu etnis, suku, atau kelompok masyarakat berdasarkan sudut pandang masyarakat tersebut atau emik. Maka menjadi penting memahami bagaimana sirkuit kebudayaan diproduksi sebagaimana Qushayi, agar kita mampu merumuskan siasat-siasat perlawanan. Sebab, hari ini suatu kelompok masyarakat marginal, bahkan kita semua banyak didefinisikan oleh the other, sesuatu yang berada di luar diri kita. Olehnya, wordview the other harus berganti menjadi the self.
Ya! Kita harus mulai membicarakan diri kita sendiri. Agar tidak terjebak dalam klasifikasi-klasifikasi yang cenderung memarginalkan. Misalnya saja, bagaimana doktrin Barat yang direpresentasikan sebagai pusat peradaban yang beradab atau modern. Sedang Timur, digambarkan sebagai tempatnya manusia-manusia terbelakang, kolot, mesum, dan sebagainya. Makanya, harus diperadabkan. Inilah yang kemudian hari ditafsirkan Barat sebagai legitimasi melakukan ekspansi dan kolonialisasi terhadap Timur.
Ada beberapa catatan penting lain terkait literasi selama mengikuti kelas etnografi. Badauni yang pernah menjadi wartawan Tempo Makassar, dan kini menjadi editor media Seputar Sulawesi, banyak membincang perbedaan essai dan opini, serta kiat-kiat menulis. “Apa yang susah dari menulis?” Kira-kira begitu pertanyaan pemateri kepada peserta kelas etnografi siang itu. “Memulai menulis”, jawab peserta berbadan gempal di sudut ruangan secara spontan. Sontak pemateri dan beberapa peserta tertawa kecil, memecah suasana kaku dan panas ruang kelas. Memang, perkara paling sulit dalam kepenulisan adalah mulai menulis. Ide dan kata-kata yang menumpuk di kepala saat hendak dituliskan, biasanya langsung menguap begitu saja.
Pikiran manusia masih memiliki keterbatasan, sehingga saat ide muncul, harus segera dituliskan atau dikerjakan. Rentannya pikiran manusia dalam menyimpan ide, sering digambarkan dalam film Tom and Jerry. Sering kita lihat di atas kepala Tom muncul lampu yang bersinar sebagai penanda bahwa Tom memiliki ide. Tapi idenya kerap hilang, karena Jerry si tikus datang mengambil lampu gagasan tersebut. Maka perlu bagi Tom menyelamatkan lampu itu sebelum hilang. Begitulah sifat ide manusia, harus segera dituliskan. Karena “sebagaimana membaca, menulis adalah kata kerja”, tutur Badauni. Jadi memahamai bahwa membaca dan menulis merupakan kata kerja, menjadi kunci jawaban persoalan susah menulis atau malas membaca.
Senada dengan Badauni, Anwar Jimpe Rahman, peneliti dari Ininawa mengatakan bahwa kegagalan orang-orang dalam menulis adalah karena menghakimi dirinya sendiri sebelum tulisannya dibaca oleh orang lain. Mengatakan “tulisanku jelek” adalah salah satu bentuk menghukumi diri sendiri, apalagi dengan menyerah dan tidak mau mempubikasikannya. Menurut Anwar Jimpe, yang harus dilakukan jika terlanjur menghukumi diri adalah membuktikan kepada orang-orang bahwa tulisan kita jelek. Biarlah orang-orang yang memberikan interpretasi bahwa tulisan kita jelek atau bagus.
Yang menarik dari pembahasan Anwar Jimpe bagi saya adalah soal metode praktik sebelum teori. Al-Quran menjadi landasan dari rumusan tersebut. Praktik langsung di lapangan dan melakukan penelitian lebih efektif, daripada berkutat pada metodologi terlebih dahulu. Keberadaan metode cenderung memenjarakan kreatifitas peneliti di lapangan. Karena dibatasi oleh ketentuan-ketentuan metodologis yang kaku dan harus. Jadi menurutnya, metode paling ampuh dalam penelitian adalah tidak ada. Kita hanya butuh alat seperti recorder, pulpen, buku, dan lisan. Saat itulah, saya cengar-cengir sendiri. “Ahh.., kamu ketawa berarti masuk di akalmu”, tuduh salah satu kakak berkumis tipis yang hadir saat itu, sembari tertawa.
Yang membuat saya cengar-cengir adalah terbersitnya kesadaran bahwa perjalanan menyusuri kelas etnografi mirip perjalan Sun Go Kong dan Kungfu Panda. Antara Saya dengan kelas etnografi, Sun Go Kong dengan perjalanan mencari kitab suci di barat, dan Kungfu Panda dengan gulungan naganya, sama-sama menemukan kekosongan. Inilah yang coba kami urai dalam proses selanjutnya di lapangan, menyisir padang pasir yang penuh fatamorgana. Mencari makna-makna dan bagaimana sirkuit kebudayaan suatu masyarakat. Maka menjadi penting percaya pada diri sendiri. Sabar dalam menghadapi segala proses yang ada. Penghapusan ego pun sangat dibutuhkan, agar data emik yang didapatkan tidak bias oleh subjektivitas atau tercemar sudut pandang the other.
Lahir di Bantaeng, 24 oktober 1994. Pelajar di Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar. Aktivis MEC RAKUS Makassar, dan Peserta Kelas Literasi Paradigma yang mencintai kopi dan buku terutama novel sejarah.