Aktivis-aktivis mahasiswa jangan bikin malu yah, koar-koar di jalanan bakar ban tapi pas ujian skripsi terbujur kaku menghadapi pertanyaan dosen. Jika berani membantai kekuasaan melalui orasi sangar, janganlah bikin malu dengan merelakan diri dibantai di ujian skripsi. (Status Muhajir MA)
Pada umumnya, Jangankan di ujian meja, ujian mata kuliah saja kadang banyak keteteran. Banyak ‘orator’, maaf sy tidak menyebutnya ‘aktivis’ itu sangat mulia bahkan saya pun tidak pantas menyandangnya, dikala jamanya juga, ketika pernah sedikit nakal di usia belia ‘masa kemahasiswaan’.
Saya sering berinteraksi dengan mahasiswa-mahasiswa tipe seperti di atas. Mereka protes tentang proses perkuliahan tapi mereka sendiri jarang masuk kuliah. Pun, kalau tidak masuk kuliah Its Okelah. Thats your Right. Tapi kalian ngapaian malam hari sampai ngga bisa bangun pagi, akhirnya tidak bisa masuk kuliah. Kalau ngga masuk kuliah lalu banyak baca buku, its better than join to the class. Apalagi kelasnya membosankan, materi dan pengajarnya juga tidak menginspirasi dan memprovokasi adrenalin belajar dan berorganisasi.
Mau jadi suri tauladan apa? Malam harinya dihabiskan diskusi 10-30 menit, selebihnya main game on line, sisa waktu lainnya ngomongin cewek paling seksi dan manis nan rupawan, termasuk keseksian calon-calon bupati atau gubernur yang dengan telanjang mengekspose gombalan-gombalan pro rakyat dan bla..bla..bla… La..la.. la….
Ini hanyalah sebahagian kecil cerminan ‘aktivis’ jaman now. Mereka kadang menganggap hanya di jalanlah ruang2 perjuangannya, dan bahkan yang tidak se-ide dan se-strategi pun, kadang dianggapnya belum masuk dalam barisan perjuangan rakyat, front perjuangan melawan pasar bebas dan totalitarianisme. Hellowwww wake up, bro, ini sudah 2017. Setahu saya sejak tahun 2000-an gerakan melawan totalitarianisme, monopoli, dll sudah massif dilakukan para aktivis LINUX dan varian-varian gerakan open source lainnya. Kini strategi kolaborasi mereka banyak diimitasi oleh gerakan-gerakan organisasi non-profit bahkan yang profit sekalipun. Atau jangan-jangan kalian juga telah menderita ‘si mata satu kuda’ yang merasa diri paling benar. Sebagaimana yang diderita kaum-kaum pemuja kemujudan, kedunguan, dan anti-nalar kritis. Kaum yang merasa hanya dia pejuang dan penjaga keMahaan Tuhan. Kedua kelompok ini biasa disebut kelompok ekstrim kiri dan ekstrim kanan. Yang kiri berjuang ‘atas nama rakyat’ di bumi penindasan. Satunya berkoar-koar membela Tuhan pada kemuliaan Tuhan yang tertinggi. Kesamaan keduanya memiliki militansi ‘kaum muda’ yang sama-sama jago koar-koar, bahkan tak jarang menghalalkan segala cara, melalui hoax.
Massifikasi its ok, tapi tanpa internalisasi dan eksteriorisasi gagasan dan praktik transformatif, ngapain. Internalisasi, sejenis tahapan membangun kesadaran internal diri, pergulatan-pergulatan kesadaran batin, tahap selanjutnya mengekplorasi ke daerah sekitar dimana kita berada.
Tanpa kedua hal di atas gerakan koar-koar hanyalah sejenis letupan-letupan meriam bambu, yang hanya mengganggu gendang telinga dan polusi udara yang sifatnya sesaat. Tak lebih dari sekadar pedis-pedis cabe. Tapi itu masih lebih baik dibanding koar-koar yang pra bayar dan pasca bayar.
Kreatifitas dan inovasi adalah sunnatullah dalam gerakan apa pun, tanpanya, ibarat hidup di dunia maya tak seru tanpa lelucon, tanpa celaan, dan tanpa benturan. Saya sering bilang kalau masih takut dengan ancaman nilai Error, maka bertobatlah dari sekarang, lebih baik merintis jalan akdemisi tulen, sejenis mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang) daripada tumbuh menjadi benalu yang hanya akan berakhir pada istilah 86, mereka yang tumbuh menjadi anak muda karbitan yang serba nanggung. Kuliah nanggung, organisasi juga nanggung. Akhirnya, lahirlah gen-gen ‘aktivisme’ labil.
Kalian (mahasiswa) hanya punya waktu maksimal tujuh tahun di kampus, optimalkanlah. Itupun kalau masih kuat menahan gempuran pertanyaan dari berbagai arah. Maksimalkan dan optimalkan untuk membekali diri dengan berbagai persenjataan ‘analisis’ dan ‘keterampilan’. Toh, kalaupun selesai, setidaknya kita mempunyai berbagai perangkat persenjataan, minimal bisa tahan godaan untuk sekadar menjadi ‘kacung’ karakter dan praktik politisi busuk yang pernah dikritik.
Duhai anak muda, silakan mengkritik segala hal di luar dirimu, tapi jangan lupa untuk melihat cermin diri. Sehatkan fisik dengan latihan, asah pikir dengan pergulatan berbagai pemikiran, matangkan emosi melalui belajar aktif dari pengalaman emosi diri sendiri dan pengalaman orang lain. Sejatinya ‘koar-koar’ anak muda adalah ekspresi pikiran-pikiran nakal dan emosi yang meluap-luap. Luapkanlah asal tetap berpijak pada realitas. Karena mungkin di ruang kelas, realitas kadang diabaikan.
Moo, salah satu komika pernah berujar, masalah materi dan delivery mudah di atasi tapi kalau masalah EMOSI, butuh perhatian khusus. Kampus adalah salah satu wadah untuk mematangkan akal, emosi dan mungkin juga pergulatan spiritual. Gelutilah pergulatan anak muda, sebagaimana sebenar-benarnya anak muda, yang ditugaskan untuk memberantas kaum tua yang mengacau (adaptasi Gie). Kaum tua tidak sekadar dilihat dari usia kalender, tapi siapa pun yang ‘anti kritik’ dan ‘anti perubahan’. Karena sungguh banyak anak muda belia meneriakkan demokrasi dan keadilan, tetapi mereka sendiri kadangkala memasung kebebasan berpendapat
yunior-yuniornya di kampus. Bahkan tak jarang mereka berlagak layaknya ‘tiran’ dengan segala petuahnya harus diamini para yunior. Yang lebih menjengkelkan lagi dari tingkah laku senior-senior urakan dan kurang bergaul itu adalah, mereka merasa sudah tidak perlu membaca buku, atau sudah malas baca buku. Jika demikian adanya, sudah bisa diprediksi kualitas koar-koarnya seperti apa dan bagaimana. Kegenitannya pasti tidak genit-genit amat.